Klik Like !
×

Lord Buddha

Jika Mampu, Tolong dan Bantulah Orang Lain. Jika Tidak, Setidaknya jangan mencelakan orang lain.

Altar Vihara Giri Ratana Puja

Agama saya sangat sederhana. Agama saya adalah Kebajikan.

Lord Buddha

Kita tidak akan pernah mendapatkan kedamaian diluar diri kita sendiri sampai kita damai dengan diri kita sendiri.

Lord Buddha

Jika kamu takut akan rasa sakit atau penderitaan, kamu seharusnya cari cara, apa yang dapat kamu lakukan untuk mengatasinya.

Lord Buddha

Ingat !!! Tidak mendapatkan apa yang kamu inginkan, kadang2 adalah sebuah berkah.

Friday 13 May 2016

Pelombaan Moment Waisak 2560 BE

Gema Waisak – Momen Waisak selalu menjadi moment yang dinanti-nantikan oleh umat Buddha di seluruh belahan dunia. Tak terkecuali umat Buddha yang ada di Dusun Panasan Daya, Desa Tegal Maja, Tanjung. Meskipun berlokasi di daerah pedesaan, lebih tepatnya di daerah perbukitan nan jauh dari keramaian dan mewahnya kehidupan perkotaan, tapi umat di Vihara Giri Ratana Puja yang ada di Dusun Panasan Daya, selalu memiliki cara tersendiri dalam mengungkapkan kebahagian saat menyongsong peringatan Waisak tahun ini. Salah satunya yakni dengan mengadakan perlombaan-perlombaan yang dikuti oleh umat. 
Kegiatan perlombaan ini dilaksanakan selama satu minggu dalam rangka memeriahkan moment Waisak 2560 Tahun 2016. Banyak kegiatan-kegiatan perlombaan diadakan, diantaranya yakni: Lomba Cerdas Cermat, Lomba Masukan Paku dalam Botol, Lombo Makan Kerupuk, Lomba Bawa Lilin, Lomba Tarik Tambang, Lomba Memasukkan Air dalam Botol, dan Lomba Mengambil Uang dalam Jeruk.

Meskipun dilaksanakan dengan penuh kesederhanaan lantas tidak berarti hal tersebut merampas senyuman, tawa bahagia yang Kami rasakan. Melihat antusiasme warga yang ikut terlibat baik sebagai peserta maupun sebagai penonton, tak luput menjadi rangkaian cerita tersendiri yang begitu luar biasa untuk dikenang dikemudian hari. Selama kegiatan perlombaan berlangsung, diantara sekian perlombaan yang dilaksanakan perlombaan mengambil uang dalam jeruk merupakan perlombaan yang paling seru diantara yang lainnya. Bagaimana tidak, muka lucu dari peserta yang belepotan terkena arang yang begitu hitam pekat yang ada pada jeruk menghadirkan gelak tawa dan teriakan penuh kegembiraan dari penonton. Terlebih ketika yang menjadi peserta adalah anak-anak PAUD, yang dengan lucunya dan penuh semangat saling bersaing dan berusaha untuk menjadi pemenang. 

Menang ataupun kalah dalam suatu perlombaan adalah hal yang biasa, tapi dalam perlombaan ini terdapat cerita yang sedikit berbeda, yakni ada beberapa anak-anak PAUD yang tidak terima dirinya kalah tak luput dari derai air mata, mereka menangis sejadi-jadinya. Tapi hal ini justru menjadi pelajaran bagi anak-anak, ketika di usia dini mereka telah dapat merasakan sebagai seseorang yang pernah kalah dalam persaingan, kelak ketika mereka dewasa, mereka akan paham bahwa dalam sebuah kompitisi pasti akan ada yang menang dan kalah. Yang menang belajar untuk bersyukur tanpa kesombongan, sedangkan yang kalah harus belajar menerima kekalahan dan kehilangan semangat. 
Meskipun dalam perlombaan ini, hadiah yang akan didapatkan mungkin tidak seberapa, tidak bernilai tinggi, tetapi yang terpenting adalah semangat kebersamaan dalam moment waisak tahun ini, begitu luar biasa telah ditunjukkan oleh umat Vihara Giri Ratana Puja. Semoga tawa dan senyum bahagia ini, tak lantas berlalu begitu saja. Apapun kondisi yang terjadi, mari kita sama-sama menjadikan moment Waisak sebagai moment yang penuh kebahagiaan untuk kita semua.
Semoga Semua Makhluk Berbahagia
Sadhu – Sadhu - Sadhu

Friday 7 August 2015

Download Kumpulan Ebook Dhamma

Ebook Dhamma berikut diperoleh dari berbagai sumber. Silahkan didownload dengan KLIK link Berikut!
1.  Arca Buddha
2.  Alasan Bhikkhu Uttamo Memilih Agama Buddha 
3.  Ananda Penjaga Dhamma
4.  Bagaimana Cara Melepaskan Diri dari Yi Kuan Tao
5.  Bhikkhu Tissa Bertemu dengan Orang Skeptik 
6.  Brahmajala Sutta  
7.  Cara Bermeditasi
8.  Dewasa Dalam Dhamma

Apannaka Jataka

Kisah ini  disampaikan oleh  Sang Guru saat Beliau berdiam di sebuah arama di Jetawana (Jetavana), di dekat Kota Sawatthi mengenai  lima  ratus  orang  teman  dari seorang hartawan dan juga merupakan murid dari penganut ajaran sesat3.
Suatu hari, Anāthapiṇḍika, sang hartawan, mengajak teman-temannya, kelima ratus murid dari kelompok lain ke Jetawana, ia membawa untaian kalung bunga, wewangian dan obat-obatan dalam jumlah banyak, di samping itu, terdapat juga minyak, madu, sari gula, kain dan jubah. Setelah memberikan penghormatan kepada Sang Guru, ia mempersembahkan untaian kalung bunga dan sejenisnya kepada Beliau, menyerahkan obat- obatan, barang-barang lainnya, beserta kain kepada Bhikkhu Sanggha (Saṅgha).

Setelah itu, ia duduk di satu sisi agar tidak melanggar enam tata cara dalam memilih tempat duduk. Demikian juga kelima ratus murid dari kelompok lain itu, setelah memberikan penghormatan kepada Buddha, mereka mengambil tempat duduk di dekat Anāthapiṇḍika, menatap ketenangan wajah Sang Buddha, yang bersinar laksana cahaya purnama; keberadaan Beliau  diliputi  tanda-tanda Kebuddhaan,  gemilang bagai cahaya yang menerangi hingga jarak satu depa jauhnya; kecemerlangan agung yang menandai seorang Buddha, laksana untaian bunga yang muncul sepasang demi sepasang.

Kemudian, walaupun dengan nada gemuruh laksana deram singa muda di Lembah Merah, seperti awan badai di musim hujan yang turun bagai Sungai Gangga dari surga5 [96] dan terlihat seperti untaian batu permata; namun ketika menyuarakan    delapan    tingkatan    kesucian    yang    sangat memukau, Beliau membabarkan Dhamma dengan sangat merdu dan dengan berbagai keindahan yang cemerlang kepada mereka.

Setelah mendengarkan Dhamma yang dibabarkan oleh Sang Buddha,   mereka   bangkit   dengan   niat   untuk   mengubah keyakinan mereka. Dengan memberi penghormatan kepada Yang   Maha tahu,   mereka   meninggalkan   keyakinan   mereka sebelumnya dan berlindung kepada Buddha. Sejak itu, dengan tanpa henti mereka selalu pergi bersama Anāthapiṇḍika, membawa wewangian, untaian bunga dan sejenisnya di tangan mereka; mendengarkan Dhamma di wihara; mereka melatih kemurahan hati, menjaga sila dan menjalankan puasa pada hari- hari uposatha.

Kemudian Sang Buddha meninggalkan Sawatthi untuk kembali ke Rājagaha. Segera setelah Beliau pergi, mereka pun meninggalkan   perlindungan   terhadap   Buddha   dan   kembali berlindung pada ajaran yang semula mereka anut.

Setelah menetap di Rājagaha selama tujuh hingga delapan bulan lamanya, Sang Buddha kembali ke Jetawana. Sekali lagi Anāthapiṇḍika bersama teman-temannya mengunjungi Sang Guru, memberikan penghormatan, mempersembahkan wewangian dan sejenisnya, dan mengambil tempat duduk di satu sisi. Teman-temannya juga memberikan penghormatan kepada Beliau dan mengambil tempat duduk dengan cara yang sama. Kemudian Anāthapiṇḍika memberitahukan kepada Sang Buddha bagaimana teman-temannya meninggalkan perlindungan kepada-Nya, kembali menganut keyakinan mereka yang lama pada saat Buddha melakukan perjalanan pindapata (piṇḍapāta, menerima derma makanan).

Setelah membuka mulut-Nya yang bagaikan seroja, laksana peti harta karun, diliputi semerbak aroma bunga yang amat wangi dan diliputi oleh harumnya kebajikan yang telah Beliau perbuat selama berkalpa-kalpa6 lamanya, dengan suara yang merdu Sang Buddha bertanya, “Benarkah kalian, para Siswa- Ku, meninggalkan Tiga Perlindungan 7 untuk berlindung pada ajaran yang lain?”
Karena sudah tidak dapat menutupi kenyataan tersebut, mereka pun mengakuinya dan berkata, “Hal itu benar adanya, Sang Buddha.” Mendengar hal tersebut, Sang Guru berkata, “Para Siswa, kemuliaan yang timbul dari menjalankan sila dan melaksanakan perbuatan baik lainnya, bukan di antara batasan neraka8 terendah dan surga tertinggi, bukan pula di semua alam tanpa batas yang membentang ke kanan maupun ke kiri, melainkan yang setara, atau sedikit berkurang kemuliaannya dalam hal keunggulan seorang Buddha.”

Lalu Beliau menyampaikan keunggulan dari Tiga Permata sebagaimana telah tercantum dalam kitab suci kepada mereka. Beberapa diantaranya adalah : “Wahai Bhikkhu, semua makhluk, yang tidak berkaki, dan seterusnya, di antara semuanya Buddhalah yang menjadi pemimpin.”; “Kekayaan apapun yang ada, baik di alam ini maupun di alam lainnya dan seterusnya.”;  dan  “Sesungguhnya pemimpin  dari  orang  yang berkeyakinan dan seterusnya.”

Beliau berkata lebih lanjut, “Tidak ada siswa, baik pria maupun wanita, yang berlindung pada Tiga Permata yang diberkahi dengan keunggulan tiada taranya, yang akan dilahirkan kembali di alam neraka maupun alam sejenis lainnya; melainkan mereka akan terbebaskan dari kelahiran di alam yang menderita, terlahir di alam dewa dan menikmati kejayaan di sana. Karena itulah, jika meninggalkan perlindungan demikian untuk mengikuti ajaran lain, maka kalian telah berjalan ke arah yang salah.”

Berikut adalah kutipan dari kitab suci yang perlu dilantunkan untuk menjelaskan bahwa tiada seorang pun yang mencari pembebasan dan kebahagiaan tertinggi, akan terlahir kembali di alam yang menderita setelah berlindung pada Tiga Permata :

Mereka yang berlindung pada Buddha, tidak akan terlahir ke alam yang menderita; segera setelah mereka meninggalkan alam manusia, wujud Deva kan didapatkannya. 

Mereka yang berlindung pada Dhamma, tidak akan terlahir ke alam yang menderita; segera setelah mereka meninggalkan alam manusia, wujud Deva akan didapatkannya. 

Mereka yang berlindung pada Sangha, tidak akan terlahir ke alam yang menderita; segera setelah mereka meninggalkan alam manusia, wujud Deva akan didapatkannya. 

Berbagai perlindungan yang dicari oleh manusia, 
Puncak gunung, keheningan hutan, (dan seterusnya hingga ) 
Ketika perlindungan demikian telah ia cari dan temukan, ia akan terbebaskan dari segala penderitaan.)

Namun Sang Guru tidak mengakhiri khotbah-Nya sampai di sini. Beliau menambahkan, “Wahai Bhikkhu, meditasi dengan objek renungan terhadap Buddha, Dhamma ataupun Sanggha, akan membawa kita mencapai tingkat kesucian Jalan maupun Buah dari Sotāpanna, Sakadāgāmi, Anāgāmi, dan Arahat .” Setelah selesai membabarkan Dhamma kepada mereka dengan menggunakan berbagai cara, Beliau berkata lebih lanjut, “Jika meninggalkan perlindungan demikian, maka kalian telah berjalan ke arah yang salah.”

Beberapa tingkatan kesucian yang dapat dicapai melalui meditasi dengan objek perenungan Buddha, dan seterusnya; diperjelas lagi melalui beberapa kitab, seperti :  “Wahai Bhikkhu, ada satu hal yang pasti, jika dipraktikkan dan dikembangkan akan menimbulkan rasa tidak suka terhadap kesenangan duniawi, berhentinya nafsu, berakhirnya proses kelahiran,  ketenangan,  menuju  pandangan  terang,  mencapai penerangan sempurna, nibbana. Apakah satu hal itu? —Meditasi  dengan menggunakan objek perenungan terhadap Buddha.”) Ketika Beliau memberikan nasihat kepada para bhikkhu,

Sang Buddha berkata, “Wahai Bhikkhu, di masa lampau, mereka yang berkesimpulan salah, berpandangan bahwa dengan tidak berlindung merupakan perlindungan yang sesungguhnya, akan menjadi  mangsa  dan  dibinasakan  oleh  yaksa  buas  di  hutan belantara berpenghuni siluman; sementara itu, mereka yang yakin terhadap kebenaran sejati tanpa keraguan, mampu bertahan di hutan belantara itu.” Setelah mengucapkan ini, Beliau berdiam diri.

Lalu sambil bangkit dan memberikan hormat kepada Sang Buddha, Upasaka Anāthapiṇḍika mengutarakan pujian, dengan kedua tangan dirangkupkan dengan penuh penghormatan hingga ke dahinya, ia berucap, “Jelas bagi kami, Sang Guru, bahwa saat ini para bhikkhu berjalan ke arah yang salah dengan meninggalkan perlindungan tertinggi. Namun kehancuran yang sudah terjadi bagi mereka yang berpendirian keras di hutan belantara berpenghuni siluman, dan keberhasilan dari mereka yang yakin akan kebenaran, tidak diketahui oleh kami dan hanya diketahui oleh Sang Guru.Semoga Sang Buddha, laksana menerbitkan purnama ke langit, menjelaskan hal ini kepada kami.”

Kemudian Sang Buddha bertutur, “Semata-mata untuk mengatasi persoalan-persoalan       keduniawian, dengan  melaksanakan Sepuluh Kesempurnaan (Dasa Parami) selama berkalpa-kalpa, segala pengetahuan menjadi jelas bagi-Ku. Simak dan dengarkanlah, secermat seperti kalian mengisi sumsum seekor singa ke dalam tabung emas.”

Setelah mendapatkan perhatian penuh dari hartawan, Sang Buddha menjelaskan hal yang selama ini tidak mereka ketahui dikarenakan kelahiran kembali, seolah-olah  Beliau membebaskan purnama dari udara bebas yang tinggi, tempat terbentuknya salju.

Suatu ketika di masa lampau Brahmadatta terlahir sebagai seorang raja di Benares, negeri Kāsi, Bodhisatta terlahir dalam sebuah keluarga saudagar. Setelah dewasa, ia senantiasa melakukan perjalanan untuk berdagang dengan membawa lima ratus buah gerobak, menempuh perjalanan dari timur ke barat dan sebaliknya. Di Kota Benares juga terdapat seorang saudagar muda lainnya yang dungu dan pendek akal.

Kembali ke kisah ketika Bodhisatta yang siap untuk memulai perjalanannya setelah mengisi kelima ratus buah gerobaknya dengan barang-barang bernilai tinggi yang dihasilkan oleh penduduk Benares. Sama halnya dengan saudagar muda yang dungu itu. Saat itu Bodhisatta berpikir, “Jika si dungu ini berjalan bersamaku sepanjang perjalanan, akan ada seribu gerobak yang beriringan di jalan yang sama. Jalanan akan penuh sesak oleh iringan gerobak. Sulit untuk mendapatkan baik kayu, air dan lainnya yang cukup untuk semua orang, maupun rumput untuk sapi-sapi. “Salah seorang dari kami harus berangkat terlebih dahulu.” Bodhisatta mendatangi dan menyampaikan pandangannya kepada saudagar dungu itu, dengan berkata, “Kita tidak dapat berangkat bersamaan; kamu memilih berangkat terlebih dahulu atau belakangan?”

Saudagar dungu itu berpikir, “Akan ada banyak keuntungan yang bisa saya peroleh dengan berangkat terlebih dahulu. Jalanan masih bagus dan sapi-sapi akan mendapatkan rumput yang cukup. Para pelayanku akan mendapatkan rempah-rempah untuk kari, air yang masih jernih, dan yang terakhir, sayalah yang menentukan harga saat tukar menukar barang dilakukan.” Maka ia menjawab, “Saya akan berangkat terlebih dahulu, Saudaraku.”

Di sisi lain, Bodhisatta melihat banyak keuntungan dengan berangkat belakangan, Bodhisatta berkata pada dirinya sendiri, “Mereka yang berangkat terlebih dahulu akan meratakan jalan yang berpermukaan tidak rata, barulah saya akan menempuh jalan yang telah mereka lewati; sapi mereka akan memakan rumput tua yang kasar, barulah sapi-sapi saya dapat menikmati rumput muda yang baru tumbuh di sepanjang jalan; para pengikut saya akan mendapatkan rempah-rempah segar yang baru tumbuh setelah tanaman tua dipetik oleh mereka; jika tidak ada sumber air, mereka harus menggali sumur untuk mendapatkan air dan kami dapat minum air dari sumur yang telah ada. Tawar menawar adalah pekerjaan yang sangat melelahkan, dengan berangkat belakangan, saya dapat menukar barang bawaan saya dengan harga yang telah mereka sepakati sebelumnya.”   Dengan   pertimbangan   tersebut,  ia   berkata, “Engkau dapat berangkat terlebih dahulu, Saudaraku.”

“Baiklah, saya akan segera berangkat,” jawab saudagar dungu itu. Ia mempersiapkan gerobak sapinya dan segera memulai perjalanan. Setelah berjalan beberapa saat, ia telah meninggalkan daerah tempat tinggal manusia dan mencapai daerah pinggiran hutan. (Hutan di sini terbagi menjadi lima jenis : —Hutan Perampok, Hutan Binatang Buas, Hutan Tandus, Hutan Siluman dan Hutan Kelaparan.
Jenis hutan yang pertama adalah hutan yang di sepanjang jalannya ditunggui oleh para perampok;
Jenis yang kedua adalah hutan yang dihuni oleh singa dan binatang buas lainnya; yang ketiga adalah hutan yang tidak terdapat air untuk mandi maupun minum barang setetes pun; yang keempat adalah hutan yang dihuni oleh siluman di sepanjang jalannya; dan jenis yang kelima adalah hutan dimana akar tanaman maupun makanan lainnya tidak dapat ditemukan.

Dari kelima jenis hutan di atas, dua jenis yang menjadi masalah besar adalah Hutan Tandus dan Hutan Siluman). Karena itulah si saudagar muda membawa banyak kendi air besar di gerobaknya. Setelah kendi-kendi itu diisi penuh dengan air, ia mulai bergerak melintasi padang tandus selebar enam puluh yojana yang terbentang di hadapannya. Saat ia mencapai jantung hutan, yaksa yang menghuni hutan itu berkata kepada dirinya sendiri, “Saya akan membuat orang-orang ini membuang persediaan air mereka, dan melahap mereka semua saat mereka jatuh pingsan.” Maka  dengan menggunakan kekuatan sihirnya ia menciptakan sebuah kereta megah yang ditarik oleh sapi jantan muda berwarna putih bersih. Yaksa itu bergerak menuju tempat saudagar dungu berada, bersama rombongan yang terdiri dari sekitar sepuluh hingga dua belas yaksa lainnya yang menyandang busur dan tempat anak panah serta membawa pedang dan perisai.

Ia bertingkah seakan-akan ia adalah seorang raja yang sangat berkuasa di kereta itu, dengan untaian seroja biru dan teratai putih melingkari kepalanya, pakaian dan rambut yang basah, serta roda kereta yang berlepotan lumpur. Para pengawalnya, yang berada di barisan depan dan belakang, juga berada dalam keadaan pakaian dan rambut yang basah, dengan untaian seroja biru dan teratai putih di kepala mereka, membawa rangkaian teratai putih di tangan mereka sambil mengunyah batang bunga segar yang masih berteteskan air dan lumpur. Pemimpin kereta ini mempunyai kebiasaan sebagai berikut: Ketika angin bertiup ke arah mereka, mereka mengendarai kereta di depan dengan para pengawal mengelilingi mereka agar terhindar dari debu; saat angin bertiup searah mereka, mereka berpindah ke bagian belakang jalur. Saat itu, angin berhembus berlawanan arah dengan mereka, dan saudagar dungu itu mengendarai di depan. Yaksa yang telah mengetahui kedatangan saudagar muda tersebut, mendekatkan keretanya ke samping gerobak saudagar itu dan menyapanya dengan ramah sambil bertanya kemana saudagar itu akan pergi. Saudagar dungu membiarkan rombongan gerobak yang lain melewatinya terlebih dahulu, sementara dia menghentikan gerobaknya dan menjawab, “Kami baru saja meninggalkan Benares, Tuan. Saya melihat ada seroja dan teratai di kepala dan tangan Anda, para pengawal Anda juga mengunyah batangan bunga. Selain itu, Anda semuanya berlepotan lumpur dan basah kuyup. Apakah hujan turun selama perjalanan Anda, atau Anda baru saja keluar dari kolam yang dipenuhi oleh seroja dan teratai?”

Yaksa  itu  berseru,  “  Apa  maksudmu  dengan  berkata demikian?  Oh,  di  sebelah  sana,  di  bagian  hutan  yang  agak dalam, air berlimpah-limpah. Di sana, hujan turun sepanjang waktu, sehingga kolam-kolam meluap; dan setiap sudut kolam dipenuhi oleh seroja dan teratai.”

Setelah rombongan kereta melewati mereka, yaksa itu menanyakan tujuan saudagar itu.   “Ke tempat   seperti   itu,”   jawabnya.   “Apa   saja   barang bawaanmu di gerobak-gerobak itu?” “Ini dan itu.” “Apa yang engkau muat di gerobak terakhir ini karena kelihatannya gerobakmu membawa muatan yang berat sekali?” “Oh, gerobak ini berisi air” “Engkau memang perlu membawa air di sepanjang jalan yang telah engkau lalui. Namun, untuk sisa perjalanan yang belum engkau tempuh, tidak perlu melakukan hal itu lagi, ada persediaan air yang berlimpah di depan sana. Karena itu, pecahkan dan buang saja kendi air itu agar engkau bisa bergerak lebih cepat.”

Kemudian yaksa itu menambahkan, “Kita telah berhenti cukup lama, sekarang lanjutkanlah perjalananmu.” Setelah  itu,  ia  bergerak  maju  secara  perlahan,  hingga  tidak kelihatan lagi, kemudian kembali ke perkampungan para yaksa, tempat dimana ia tinggal.

Saudagar dungu tersebut benar-benar melakukan apa yang dikatakan oleh yaksa itu, ia memecahkan dan membuang kendi-kendi air itu tanpa menyisakan air setetes pun. Setelah selesai, ia memerintahkan gerobaknya untuk segera melanjutkan perjalanan.  Tidak  setetes  air  pun  yang  mereka  temukan  di
sepanjang  jalan  yang  mereka  lalui,  sementara  itu,  rasa  haus yang teramat sangat mendera, melelahkan mereka. Mereka berjalan terus hingga matahari terbenam. Saat senja tiba, mereka melepaskan sapi dari gerobak, membentuk formasi gerobak untuk membentengi mereka dan menambatkan sapi- sapi itu pada roda gerobak.

Sapi-sapi tidak mendapatkan air untuk minum, demikian pula saudagar serta para pengikutnya tidak dapat menanak nasi karena tidak ada air; para rombongan yang telah kelelahan itu akhirnya tersungkur ke tanah dan tertidur. Begitu malam tiba, para yaksa muncul dan memangsa mereka semuanya, baik manusia maupun sapi. Setelah melahap habis semua daging hingga yang tersisa hanyalah tulang belulang, para yaksa segera meninggalkan tempat itu. Demikian kedunguan saudagar muda itu menjadi satu-satunya penyebab binasanya rombongan tersebut, sedangkan kelima ratus gerobaknya tak tersentuh di sana.

Enam minggu setelah keberangkatan saudagar dungu itu, Bodhisatta memulai perjalanan-Nya. Ia meninggalkan kota bersama kelima ratus gerobaknya dan dalam sekejap ia telah tiba di pinggir hutan. Sebelum memasuki hutan, ia mengisi kendi- kendi airnya hingga penuh, kemudian dengan bunyi genderang ia mengumpulkan semua pengikutnya di perkemahan itu, ia berkata kepada mereka semuanya, “Jangan sampai ada penggunaan air setetes pun tanpa persetujuan saya. Ada beragam tanaman beracun di hutan ini, jadi jangan ada satu orang pun yang memakan baik daun, bunga maupun buah yang belum pernah dimakan sebelumnya, tanpa menanyakan terlebih dahulu kepada saya.” Setelah menyampaikan hal tersebut, ia masuk ke dalam hutan bersama kelima ratus buah gerobaknya.

Saat ia mencapai jantung hutan, yaksa itu muncul di jalan yang dilalui oleh Bodhisatta dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Namun segera setelah Beliau menyadari keberadaan yaksa itu, Bodhisatta mengetahui maksud yaksa tersebut; karenanya beliau menimbang, “Tidak ada setetes air pun di sini, di Hutan Tandus ini. Orang yang bermata merah dan bersikap agresif ini tidak memantulkan bayangan.

Besar kemungkinan ia telah membujuk saudagar dungu yang berangkat sebelum saya untuk membuang persediaan airnya, menunggu hingga mereka kelelahan, lalu memangsa mereka semuanya. Ia tidak tahu kalau saya lebih pintar dan lebih cerdik darinya.” Ia menghardik yaksa itu, “Pergilah! Kami ini pedagang, kami tidak akan membuang persediaan air kami sebelum kami melihat sendiri sumber air yang kamu katakan itu. Jika sumber air itu telah terlihat, mungkin kami mau membuang persediaan air untuk meringankan beban gerobak kami.”

Yaksa itu bergerak maju hingga tidak kelihatan lagi, kemudian kembali ke perkampungan para yaksa, tempat dimana ia tinggal. Setelah yaksa itu pergi, para pengikut Bodhisatta berkata, “Tuanku, kami dengar dari rombongan itu bahwa di depan sana hujan selalu turun. Mereka memakai untaian seroja dan teratai di kepala mereka, mengunyah batangan bunga yang masih segar, dan pakaian serta rambut mereka basah kuyup dengan air yang masih menetes. Mari kita buang persediaan air kita dan bergerak lebih cepat dengan gerobak yang lebih ringan.” Mendengar kata-kata itu, Bodhisatta meminta mereka untuk berhenti dan mengumpulkan mereka semuanya lagi. “Katakan padaku,” ia berkata, “sebelum hari ini adakah di antara kalian yang pernah mendengar adanya kolam atau danau di Hutan Tandus ini?” “Tidak, Tuanku,” jawab para pengikutnya. Bodhisatta berkata lagi, “Itulah sebabnya hutan ini dikenal dengan sebutan Hutan Tandus.”

“Kita baru saja diberitahukan oleh orang-orang bahwa hujan baru saja turun di depan sana, di jalur besar hutan; seberapa jauhkah angin dapat membawa hujan?” “Sekitar satu yojana, Tuan.” “Adakah di antara kalian yang terkena hujan?” “Tidak, Tuan” “Seberapa jauhkah puncak awan topan dapat terlihat?” “Sekitar satu yojana, Tuan.” “Adakah di antara kalian, orang yang melihat adanya puncak awan topan dari sini?” “Tidak, Tuan.” “Seberapa jauhkah kilatan halilintar dapat terlihat?” “Sekitar empat sampai lima yojana, Tuan.” “Apakah ada orang yang melihat kilatan halilintar walaupun hanya seberkas dari sini?” “Tidak, Tuan.” “Seberapa jauhkah gemuruh  petir dapat terdengar?” “Antara dua atau tiga yojana, Tuan.” “Adakah di antara kalian yang mendengar gemuruh petir dari sini?” “Tidak, Tuan.” “Mereka bukanlah manusia, melainkan yaksa. Mereka akan kembali lagi dengan harapan untuk memangsa kita saat kita lemah dan pingsan setelah persediaan air kita buang sesuai dengan bujukan mereka. Karena saudagar muda yang berangkat terlebih dahulu bukanlah orang yang pintar, besar kemungkinan ia telah ditipu untuk membuang persediaan air mereka dan telah dimangsa saat keletihan melanda mereka. Kita mungkin bisa menemukan lima ratus buah gerobak milik saudagar itu di tempat mereka  ditinggalkan  pada  hari  ini  juga.  Mari  kita  teruskan perjalanan  ini  secepat  mungkin,  tanpa  kehilangan  setetes  air pun.”

Dengan menyemangati orang-orangnya dengan kata- kata tersebut, ia meneruskan perjalanan hingga tiba di tempat kelima ratus gerobak yang masih sarat muatan berada, dengan tulang belulang manusia dan sapi tergeletak bertebaran di segala penjuru. Ia melepaskan sapi dari gerobaknya, kemudian menbentuk formasi besar gerobak untuk membentengi mereka; setelah mereka menikmati makan malam mereka, sapi-sapi ditempatkan di tengah lingkaran dengan para pengikutnya mengelilingi sapi-sapi itu; ia sendiri bersama dengan pemimpin rombongannya berdiri berjaga-jaga, dengan pedang di tangan, melewati tiga waktu jaga sampai hari menjelang fajar.

Keesokan dini hari, setelah sapi-sapi diberi makan dan semua kebutuhan lainnya telah terpenuhi, ia menukar gerobaknya yang telah usang dengan gerobak yang lebih kuat, menukar barang-barangnya dengan barang-barang yang lebih berharga dari gerobak yang telah ditinggalkan itu. Setelah selesai, ia segera meneruskan perjalanan hingga tiba di tempat tujuannya, menukarkan barang- barang muatannya dengan nilai yang berlipat ganda, kemudian pulang kembali ke Benares tanpa kehilangan satu orang pengikut pun.

Saat kisah ini berakhir, Guru berkata, “Wahai Siswa, demikianlah yang  terjadi di kelahiran lampau, ia yang penuh kedunguan menyebabkan terjadinya kebinasaan, sementara ia yang yakin pada kebenaran, lolos dari genggaman yaksa, mencapai tujuannya dengan selamat dan pulang kembali ke rumah mereka.”
Buddha kemudian mempertautkan kedua kisah itu, lalu mengucapkan syair Dhamma berikut ini
Saat satu-satunya kebenaran yang tiada bandingnya dibabarkan, mereka yang berpandangan salah akan berbicara sebaliknya.
Ia yang bijak mendapat hikmah dari yang didengarnya, menggenggam satu-satunya kebenaran yang tiada taranya.

Demikianlah tuturan Dhamma tentang Kebenaran yang diajarkan oleh Sang Buddha. Beliau berkata lebih lanjut, “Yang disebut hidup sesuai Dhamma tidak hanya diberkahi tiga alam kebahagiaan, enam Alam Kāmaloka, dan alam brahma yang lebih tinggi, namun mencapai tingkat kesucian Arahat [106]; sedangkan hidup tidak sesuai Dhamma menyebabkan kelahiran kembali di empat alam neraka atau lahir menjadi manusia dengan kasta yang paling rendah.” Sang Buddha kemudian menguraikan lebih terperinci mengenai enam belas jalan tentang Empat Kebenaran Mulia13, pada akhir khotbah kelima ratus siswa tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpatti-Phala14.
Setelah    Dhamma selesai dibabarkan,Sang Buddha menjelaskan pertautan kedua kisah kelahiran tersebut, “Devadatta adalah saudagar muda yang dungu itu, para pengikut saudagar dungu itu merupakan pengikutnya; pengikut saudagar yang cerdik itu adalah pengikut Buddha, dan saudagar yang cerdik itu adalah Saya sendiri.”

Vannupatha Jataka

Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru mengenai seorang bhikkhu yang menyerah dalam daya upaya pelatihan dirinya.
Suatu waktu, saat Buddha menetap di Sawatthi, datanglah seorang keturunan keluarga Sawatthi ke Jetawana. Sewaktu mendengarkan khotbah Sang Buddha, ia menyadari bahwa nafsu keinginan merupakan sumber penderitaan, jadi ia memutuskan untuk menjadi seorang samanera. Selama lima tahun lamanya ia mempersiapkan diri untuk menjadi seorang bhikkhu  , ia mempelajari dua rangkuman dan melatih diri dengan menggunakan metode Vipassana, ia mendapatkan petunjuk dari Guru mengenai objek meditasi yang sesuai untuknya. Ia pun masuk ke dalam hutan untuk melatih diri, melewati musim hujan di hutan itu.

Namun setelah berupaya dalam latihan selama tiga bulan, ia tidak memperoleh kemajuan apapun. Keraguan  menyerangnya,  “Guru  berkata  ada  empat jenis manusia di dunia ini, saya pasti jenis terendah dari semuanya. Tidak akan ada hasil yang dapat saya capai, baik tingkat kesucian Jalan maupun Buah dari Sotāpanna dalam kelahiran kali ini. Apa gunanya saya tinggal di hutan? Saya akan kembali ke sisi Guru untuk menyaksikan keagungan Beliau dan mendengarkan Dhamma-Nya yang indah.” Maka ia pun kembali ke Jetawana.

Semua teman dan kerabatnya berkata, “Awuso (Āvuso), bukankah  engkau  telah  mendapatkan objek  pelatihan  yang diberikan oleh Guru dan telah pergi untuk berlatih dalam penyepian diri sebagai orang bijak? Sekarang engkau kembali untuk bergabung bersama para bhikkhu lainnya. Apakah engkau telah berhasil mencapai tingkat kesucian Arahat dan tidak akan mengalami kelahiran kembali lagi?”

“Awuso, saya tidak berhasil mencapai apa pun, baik tingkat kesucian Jalan maupun Buah dari Sotāpanna, saya merasa telah gagal, jadi saya memutuskan untuk menyerah dan kembali lagi ke tempat ini.”

“Awuso, engkau telah melakukan kesalahan, berputus asa di saat engkau telah bertekad untuk melaksanakan ajaran dari seorang Sang Guru. Mari, kami akan membawamu menemui Sang Guru untuk meminta petunjuk-Nya.” Lantas mereka membawanya menemui Sang Guru.

Saat Sang Guru mengetahui kedatangan mereka, Beliau berkata, “Wahai Bhikkhu, kalian membawa seorang bhikkhu yang datang bukan atas kehendaknya. Apa yang telah ia lakukan?”

“Bhante, setelah bertekad melaksanakan ajaran kebenaran  sejati,  bhikkhu  ini  menyerah  dalam  daya  upaya melatih diri hidup menyepi sebagai orang bijak, dan telah kembali ke sini.”

Sang Guru bertanya kepadanya, “Apakah benar, sebagaimana yang mereka katakan, engkau menyerah berdaya upaya dalam pelatihanmu?”
“Hal itu benar adanya, Bhante.”
“Bagaimana hal itu dapat terjadi? Setelah engkau bertekad melaksanakan ajaran ini, mengapa engkau tidak menunjukkan pada dirimu sendiri bahwa engkau adalah orang dengan sedikit keinginan, penuh rasa puas, hidup dalam penyepian dan penuh tekad, melainkan menjadi orang yang kurang berdaya upaya? Bukankah engkau begitu berani di kehidupan lampau? Bukankah berkat kegigihanmu, engkau seorang diri, saat berada di padang pasir bersama para pengikut dan sapi-sapi dari lima ratus buah gerobak, berhasil mendapatkan air dan menerima sorakan kegembiraan? Bagaimana mungkin engkau menyerah sekarang?” Ucapan Guru menyentuh hati bhikkhu itu.

Mendengar perkataan itu, para bhikkhu bertanya pada Sang Buddha, “Bhante, kami tahu jelas keputusasaan bhikkhu pada saat ini; namun kami tidak mengetahui bagaimana berkat kegigihan satu orang, para pengikut dan sapi-sapi mendapatkan air di padang pasir dan akhirnya ia menerima sorakan kegembiraan. Hal ini hanya diketahui oleh Sang Guru, Yang Mahatahu; berkenanlah untuk menceritakan kejadian itu kepada kami.”

“Wahai Bhikkhu, dengarkanlah” tutur Sang Buddha, setelah mereka bersemangat dalam perhatian penuh, Beliau menyampaikan hal yang selama ini tidak mereka ketahui dikarenakan kelahiran kembali.

Suatu ketika di masa lampau, Brahmadatta terlahir sebagai seorang raja di Benares, Negeri Kāsi, Bodhisatta terlahir dalam sebuah keluarga saudagar. Setelah dewasa, ia selalu melakukan perjalanan untuk berdagang dengan lima ratus buah gerobaknya. Pada suatu kesempatan, ia tiba di sebuah padang pasir yang terbentang sepanjang enam puluh yojana, pasir yang demikian halus, sehingga saat digenggam, mereka dapat melewati sela-sela jari yang paling rapat sekalipun. Sesaat setelah matahari terbit, bentangan pasir itu menjadi  sepanas bara arang yang terbakar, tidak ada seorang pun yang mampu berjalan melintasinya.

Dengan demikian, gerobak-gerobak yang membawa kayu bakar, air, minyak, beras dan sebagainya melintasi dan hanya dapat menempuh perjalanan di kala malam hari. Saat fajar tiba, mereka menyusun gerobak-gerobak dengan membentuk formasi di sekeliling sebagai benteng, memasang tenda di atasnya. Setelah menikmati santapan pagi, mereka senantiasa duduk di bawah tenda sepanjang hari.

Saat matahari terbenam, mereka menikmati santapan malam dan segera setelah permukaan pasirnya lebih dingin, mereka segera mempersiapkan gerobak dan bergerak melintasi padang pasir itu. Menempuh perjalanan di padang pasir seperti itu sama halnya dengan berlayar mengarungi laut; seorang ‘pemandu- gurun’, begitu ia disebut, harus mengiringi mereka dengan cara melihat posisi bintang. Dengan cara demikian juga saudagar kita melintasi padang pasir tersebut.

Saat berada sekitar tujuh mil atau lebih dari padang pasir tersebut, ia berpikir, “Malam ini kami akan keluar dari padang pasir ini.” Jadi setelah selesai menikmati santapan malam, ia memerintahkan para pengikutnya untuk membuang persediaan air dan kayu mereka, mempersiapkan gerobak dan segera memulai perjalanan. Di barisan gerobak terdepan, duduk seorang pemandu, melihat posisi bintang di langit dan memberikan petunjuk arah sesuai dengan pengamatannya.

Namun, karena telah lama tidak tidur, pemandu itu kelelahan dan jatuh tertidur, akibatnya ia tidak mengetahui bahwa sapi telah berjalan memutar arah dan menapaki arah dari mana mereka datang. Sepanjang malam sapi-sapi itu berjalan. Saat fajar, pemandu itu terbangun dan mengamati posisi bintang di atas, kemudian berteriak, “Putar arah gerobaknya! Putar arah gerobaknya!” Saat gerobak-gerobak diputar dan kembali berbaris, hari sudah pagi. “Ini adalah tempat dimana kita berkemah semalam,” teriak orang-orang dalam rombongan itu. “Tidak ada air dan kayu lagi. Kita telah tersesat.”

Selesai berkata, mereka melepaskan sapi dari gerobak, menyusun gerobak dengan membentuk formasi membentengi sekeliling dan memasang tenda di atasnya; kemudian dengan keputusasaan, mereka menghempaskan diri di bawah gerobak masing-masing.

Bodhisatta berpikir, “Jika saya menyerah saat ini, maka semua orang akan kehilangan nyawa.” Ia berjalan ke sana kemari saat hari masih pagi dan permukaan pasir masih dingin, akhirnya ia menemukan serumpun rumput kusa. “Rumput ini,” pikirnya, “hanya bisa tumbuh jika ada air di bawah permukaannya.” Ia memerintahkan mereka mengambil sekop dan menggali sebuah lubang di tempat itu. Setelah menggali hingga mencapai kedalaman enam puluh hasta, sekop berantuk dengan bebatuan; mereka kembali  kehilangan  harapan.

Namun  Bodhisatta  yang merasa yakin akan adanya aliran air di bawah bebatuan, turun masuk ke dalam lubang dan berdiri di atas bebatuan itu. Ia menunduk ke bawah, menempelkan telinganya ke bebatuan dan mendengarkan dengan teliti. Saat telinganya mendengar bunyi aliran air di bawah batu, ia keluar dan berkata  kepada pelayannya yang masih muda, “Anakku, jika engkau menyerah saat ini, kita semua akan kehilangan nyawa. Tunjukkan keyakinan dan keberanianmu. Turunlah ke dalam lubang dengan membawa palu besi besar ini dan hancurkan bebatuan itu.”

Karena patuh pada perintah tuannya, anak laki-laki itu berbulat tekad turun ke dasar sumur dan mulai menghancurkan bebatuan itu, sementara yang lain telah patah semangat. Batu yang membendungi aliran air itu hancur dan jatuh ke dalam lubang. Air menyembur dari lubang itu hingga setinggi pohon lontar. Setiap orang minum dan mandi. Setelah membelah poros roda cadangan gerobak, kayu tengkuk sapi dan perlengkapan lain yang berlebih, mereka menanak nasi dan menghabiskan makanan kemudian memberi makan sapi-sapi.

Begitu matahari terbenam, mereka menancapkan bendera di salah satu sisi sumur dan melanjutkan perjalanan mereka. Sesampai di tempat tujuan, mereka menukar barang-barang muatan mereka dua hingga empat kali lipat dari harga semula. Dengan membawa hasil penukaran itu, mereka pulang ke rumah, tempat dimana mereka menghabiskan sisa hidup mereka dan setelah meninggal, mereka terlahir kembali di alam yang sesuai dengan perbuatan mereka. Demikian juga halnya dengan Bodhisatta, setelah menghabiskan hidupnya dengan kemurahan hati dan perbuatan baik lainnya, ia terlahir kembali di alam sesuai dengan apa yang telah ia perbuat.

Setelah menyampaikan kisah ini, Buddha,  Yang Maha tahu mengucapkan syair berikut ini:
Tanpa mengenal lelah, semakin dalam mereka menggali di tempat berpasir;
sekop demi sekop, sampai akhirnya air ditemukan. Semoga orang bijak, tekun dalam daya upaya; tidak kehilangan semangat maupun merasa letih, hingga kedamaian ditemukan.
Di akhir uraian ini,  Beliau membabarkan Empat Kebenaran Mulia. Pada akhir khotbah, bhikkhu yang putus asa itu mencapai tingkat kesucian tertinggi, Arahat.

Setelah menceritakan kedua kisah itu, Sang Buddha menjelaskan pertautan keduanya dan memperkenalkan kisah kelahiran itu dengan mengucapkan : — “Bhikkhu yang putus asa ini adalah pelayan muda di masa itu, yang dengan segala daya upaya menghancurkan batu dan mempersembahkan air kepada mereka; para pengikut Buddha adalah anggota rombongan lainnya; Saya sendiri adalah pemimpin mereka.”

Kalama Sutta


Demikianla telah kudengar:
1.  Suatu ketika Yang Dirahmati (Sang Buddha) mengembara di negara Kosala dengan rombongan besar bhikkhu dan memasuki kota Kesaputta.
Suku Kalama, yang menjadi penduduk kota Kesaputta mendengar bahwa Pertapa Gotama, seorang putra dari suku Sakya yang pergi bertapa, sekarang telah tiba di Kesaputta.
Berita yang tersiar luas tentang Pertapa Gotama yang sekarang menjadi Buddha, mengatakan:
“Beliau adalah Arahat, Yang memperoleh Penerangan Agung, Sempurna Dalam Pengetahuan dan Pelaksanaannya, Yang Terbahagia, Pembimbing Manusia Yang Tiada Taranya, Guru Para Dewa dan Manusia, Sang Buddha, Yang Dirahmati. Beliau memberitahukan dunia ini, bersama-sama dengan alam para dewa, mara, dan brahma, disertai para pertapa, brahmana, para dewa, dan manusia, sesuatu yang Beliau sendiri telah mengerti melalui pengetahuan yang luar biasa. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pada akhirnya, baik dalam teori maupun dalam pelaksanaannya. Secara sempurna Beliau menerangkan tentang penghidupan suci yang benar-benar bersih. Sungguh berharga sekali dapat melihat Arahat tersebut!”
Karena itu, maka suku Kalama dari Kesaputta datang mengunjungi Sang Buddha. Tiba di sana, ada yang memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada dan kemudian duduk di satu sisi; ada juga yang memberi hormat dengan berlutut, ada yang memberi hormat hanya dengan ucapan; ada yang menyembah; ada yang memberitahukan nama dan nama keluarganya; dan ada juga yang terus duduk tanpa mengucapkan kata apa pun.
 
2. Setelah mereka semua duduk, kemudian seorang berkata, “Yang Mulia, banyak pertapa dan brahmana yang berkunjung ke Kesaputta. Mereka menerangkan dan membahas dengan panjang lebar ajaran mereka sendiri, tetapi mencaci maki, menghina, merendahkan, dan mencela habis-habisan ajaran orang lain. Lalu datang pula pertapa dan brahmana lain ke Kesaputta. Dan mereka ini juga menerangkan dan membahas dengan panjang lebar ajaran mereka sendiri, dan mencaci-maki, menghina, merendahkan, dan mencela habis-habisan ajaran orang lain. Kami yang mendengar merasa ragu-ragu dan bingung, siapa diantara para pertapa dan brahmana yang berbicara benar dan siapa yang berdusta.”
 
3. “Benar, warga suku Kalama, sudah sewajarnyalah kamu ragu-ragu, sudah sewajarnyalah kamu bingung. Dalam hal yang meragukan memang akan menimbulkan kebingungan. Oleh karena itu, warga suku Kalama, janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu, atau oleh karena sesuatu yang sudah merupakan tradisi, atau sesuatu yang didesas-desuskan. Janganlah percaya begitu saja apa yang tertulis di dalam kitab-kitab suci; juga apa yang dikatakan sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka; juga apa yang katanya telah direnungkan dengan seksama; juga apa yang kelihatannya cocok dengan pandanganmu; atau karena ingin menghormat seorang pertapa yang menjadi gurumu.
Tetapi, warga suku Kalama, kalau setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui, ‘Hal ini tidak berguna, hal ini tercela, hal ini tidak dibenarkan oleh para Bijaksana, hal ini kalau terus dilakukan akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan, maka sudah selayaknya kamu menolak hal-hal tersebut.”

4. “Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Kalau keserakahan (lobha) timbul dalam diri seorang manusia, apakah itu membawa keuntungan atau kerugian?”
“Akan membawa kerugian, Yang Mulia.”
“Sekarang, warga suku Kalama, seseorang yang serakah dicengkeram oleh keserakahan dan tidak dapat mengendalikan dirinya lagi; apakah orang itu tidak mungkin akan membunuh makhluk hidup, mengambil sesuatu yang tidak diberikan, melakukan perzinahan, mengucapkan kata-kata yang tidak benar, dan juga menyebabkan orang lain berbuat demikian; bukankah hal itu akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”
“Memang demikian, Yang Mulia.”

5. “Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Kalau kebencian (dosa) timbul dalam diri seorang manusia, apakah itu akan membawa keuntungan atau kerugian?”
“Akan membawa kerugian, Yang Mulia.”
“Sekarang, warga suku Kalama, seseorang yang membenci, dicengkeram oleh kebencian dan tidak dapat mengendalikan dirinya lagi; apakah orang itu tidak mungkin akan membunuh makhluk hidup, mengambil sesuatu yang tidak diberikan, melakukan perzinahan, mengucapkan kata-kata yang tidak benar, dan juga menyebabkan orang lain berbuat demikian; bukankah hal itu akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”
“Memang demikian, Yang Mulia.”

6. “Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Kalau kegelapan batin (moha) timbul dalam diri seorang manusia, apakah itu akan membawa keuntungan atau kerugian?”
“Akan membawa kerugian, Yang Mulia.”
“Sekarang, warga suku Kalama, seseorang yang diliputi kegelapan batin (moha), dicengkeram oleh kegelapan batin dan tidak dapat mengendalikan dirinya lagi; apakah orang itu tidak mungkin akan membunuh makhluk hidup, mengambil sesuatu yang tidak diberikan, melakukan perzinahan, mengucapkan kata-kata yang tidak benar, dan juga menyebabkan orang lain berbuat demikian; bukankah hal itu akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”
“Memang demikian, Yang Mulia.”

7. “Kalau begitu, warga suku Kalama, bagaimana pendapatmu? Apakah hal-hal tersebut baik atau tidak baik?”
“Tidak baik, Yang Mulia.”
“Apakah hal-hal tersebut tercela atau tidak tercela?”
“Tercela, Yang Mulia.”
“Apakah hal-hal tersebut dibenarkan atau tidak dibenarkan oleh para Bijaksana?”
“Tidak dibenarkan, Yang Mulia.”
“Kalau terus dilakukan, apakah itu akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan?”
“Akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan, Yang Mulia. Demikianlah pendapat kami.”

8. “Karena itu, warga suku Kalama, itulah yang Kumaksud dengan mengatakan, ‘Janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu; atau oleh karena sesuatu yang merupakan tradisi; atau sesuatu yang didesas-desuskan. Janganlah percaya begitu saja apa yang dikatakan di dalam kitab-kitab suci; juga apa yang katanya sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka; juga apa yang katanya merupakan hasil dari suatu penelitian; juga apa yang katanya telah direnungkan dengan seksama; juga apa yang terlihat cocok dengan pandanganmu; atau karena ingin menghormat seorang pertapa yang menjadi gurumu.’
Tetapi, warga suku Kalama, kalau setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui, ‘Hal ini tidak berguna, hal ini tercela, hal ini tidak dibenarkan oleh para Bijaksana; hal ini kalau terus dilakukan akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan,’ maka sudah selayaknya kamu menolak hal-hal tersebut.”

9. “Kesimpulannya, warga suku Kalama, ‘Janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu; atau oleh karena sesuatu yang merupakan tradisi; atau sesuatu yang didesas-desuskan. Janganlah percaya begitu saja apa yang dikatakan di dalam kitab-kitab suci; juga apa yang katanya sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka; juga apa yang katanya merupakan hasil dari suatu penelitian; juga apa yang katanya telah direnungkan dengan seksama; juga apa yang terlihat cocok dengan pandanganmu; atau karena ingin menghormat seorang pertapa yang menjadi gurumu.’ Tetapi, setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui, ‘Hal ini berguna; hal ini tidak tercela; hal ini dibenarkan oleh para Bijaksana; hal ini kalau terus dilakukan akan membawa keberuntungan dan kebahagiaan,’ maka sudah selayaknya kamu menerima dan hidup sesuai dengan hal-hal tersebut.”

10. “Bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Apabila seseorang telah terbebas dari keserakahan (lobha), apakah hal ini merupakan keuntungan atau kerugian?”
“Keuntungan, Yang Mulia.”
“Bukankah orang ini, yang telah terbebas dari keserakahan dan tidak lagi dicengkeram oleh keserakahan, dan oleh karena ia dapat mengendalikan dirinya dengan baik, akan berhenti membunuh makhluk hidup, berhenti mengambil sesuatu yang tidak diberikan (mencuri), berhenti melakukan perzinahan berhenti mengucapkan kata-kata yang tidak benar, berhenti menjadi penyebab yang menyesatkan orang lain, tidak akan mendapatkan kerugian dan penderitaan untuk waktu yang lama?”
“Memang demikian halnya, Yang Mulia.”

11. “Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Apabila seseorang telah terbebas dari kebencian (dosa), apakah hal ini merupakan keuntungan atau kerugian?”
“Keuntungan, Yang Mulia.”
“Bukankah orang ini, yang telah terbebas dari kebencian tidak lagi dicengkeram oleh kebencian….., berhenti menjadi penyebab yang menyesatkan orang lain, tidak akan mendapatkan kerugian dan penderitaan untuk waktu yang lama?”
“Memang demikian halnya, Yang Mulia.”

12. “Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Apabila seseorang telah terbebas dari kegelapan batin (moha), apakah hal ini merupakan keuntungan atau kerugian?”
“Keuntungan, Yang Mulia.”
“Bukankah orang ini, yang telah terbebas dari kegelapan batin dan tidak lagi dicengkeram oleh kegelapan batin ….., berhenti menjadi penyebab yang menyesatkan orang lain, tidak akan mendapat kerugian dan penderitaan untuk waktu yang lama?”
“Memang demikian halnya, Yang Mulia.”

13. “Kalau begitu, warga suku Kalama, bagaimana pendapatmu? Apakah hal-hal tersebut menguntungkan atau tidak menguntungkan?”
“Menguntungkan, Yang Mulia.”
“Apakah hal-hal tersebut tercela atau tidak tercela?”
“Tidak tercela, Yang Mulia.”
“Apakah hal-hal tersebut dibenarkan atau tidak dibenarkan oleh para Bijaksana?”
“Dibenarkan, Yang Mulia.”
“Kalau terus dilakukan, apakah akan membawa kebahagiaan atau tidak?”
“Tentu akan membawa kebahagiaan. Demikianlah pendapat kami.”

14. “Demikianlah, warga suku Kalama, itulah yang Kumaksud dengan mengatakan, ‘Janganlah percaya begitu saja….., Tetapi apabila setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui hal ini berguna; hal ini tidak tercela; hal ini dibenarkan oleh para Bijaksana; hal ini kalau terus dilakukan akan membawa keberuntungan dan kebahagiaan, maka sudah selayaknya kamu menerima dan hidup sesuai dengan hal-hal tersebut.’ Itulah sebabnya, mengapa Aku mengucapkan kata-kata tersebut.”

15. “Sekarang, warga suku Kalama, seorang siswa Yang Ariya telah terbebas dari keserakahan dan kebencian, dan tidak lagi bingung tetapi dapat mengendalikan dirinya dengan baik dan pikirannya terpusat, sedangkan batinnya dipenuhi oleh kasih, belas kasih, simpati, dan keseimbangan batin yang berkembang terus tanpa batas, terbebas dari permusuhan dan perasaan tertekan; orang itu diumpamakan seperti diam di seperempat alam, kemudian di setengah alam, kemudian di tiga per empat alam dan akhirnya di seluruh alam. Dan dengan cara yang sama ke atas, ke bawah, ke samping, ke segenap penjuru, kepada semua makhluk, ia diam dengan batin penuh cinta kasih, belas kasih, simpati, dan keseimbangan batin yang ditujukan ke segenap penjuru alam, berkembang terus tanpa batas, terbebas dari permusuhan dan perasaan tertekan. Siswa yang demikian itu, yang hatinya terbebas dari permusuhan, terbebas dari perasaan tertekan, tidak ternoda dan beersih, orang itu dalam kehidupan ini juga akan memperoleh berkah yang menyenangkan, yaitu :

16. Kalau sekiranya ada alam lain setelah meninggal dunia, ada akibat dari perbuatan baik dan jahat; saat badan jasmaninya hancur setelah mati, ia akan bertumimbal lahir di alam surga. Ini adalah berkah pertama yang diperolehnya. Kalau sekiranya tidak ada alam lain setelah meninggal dunia, tidak ada akibat dari perbuatan baik dan jahat; namun kehidupan ini ia telah terbebas dari perasaan bermusuhan dan tertekan. Ini adalah berkah kedua yang diperolehnya.
Kalau sekiranya bencana menimpa yang berbuat jahat; namun aku sama sekali tidak bermaksud berbuat jahat terhadap siapa pun juga. Mana mungkin bencana dapat menimpa diriku yang tidak berbuat jahat? Ini adalah berkah ketiga yang diperolehnya. Kalau sekiranya tidak ada bencana menimpa yang berbuat jahat, maka aku tahu bahwa diriku bersih dari kedua segi. Ini adalah berkah keempat yang diperolehnya.
Dengan demikian, warga suku Kalama, siswa Ariya tersebut yang hatinya terbebas dari permusuhan dan perasaan tertekan, tak ternoda dan bersih, maka dalam kehidupan ini memperoleh empat berkah.”

17. “Memang demikianlah halnya, Yang Dirahmati. Memang demikianlah, Yang Terbahagia. Siswa Ariya tersebut dalam kehidupan ini akan memperoleh empat berkah (dengan mengulang apa yang diucapkan Sang Buddha).
Sungguh indah, Yang Mulia! Dengan ini kami menyatakan kami berlindung kepada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Semoga Yang Mulia berkenan menerima kami sebagai upasaka dan upasika, mulai hari ini sampai seumur hidup kami.”

Hari-Hari Terakhir Sang Buddha

Ayasma Maha Kassapa bercerita kepada para bhikkhu :
“Pada suatu waktu aku bersama-sama dengan kira-kira lima ratus bhikkhu sedang berada dalam perjalanan dari Pava menuju Kusinara. Kemudian aku berhenti di pinggir jalan dan mencari tempat duduk di bawah pohon yang rindang.”
Pada waktu itu lewat di depanku seorang pertapa “tak berpakaian” dengan membawa bunga Pohon Karang, yaitu semacam bunga yang hanya dapat ditemukan, bila terjadi peristiwa penting. Lalu aku menyapa pertapa tersebut, “Apakah Anda kenal Guru kami?” Ia menjawab, “Benar, aku mengenal Guru Anda, tetapi Beliau telah mangkat seminggu yang lalu. Oleh karena itulah aku dapat memperoleh bunga Mandarava (Pohon Karang) ini.”
Mendengar berita tersebut, maka para bhikkhu yang masih belum terbebas dari hawa nafsu, mengangkat tangan mereka dan menangis tersedu-sedu; beberapa orang lagi berguling-gulingan di atas tanah dan menangis sambil meratap, “Terlalu cepat Sang Bhagava memasuki parinibbana! Terlalu cepat Yang Terbahagia memasuki parinibbana! Terlalu cepat Sang Mata Dunia lenyap dari pandangan kami!”
Tetapi para bhikkhu yang telah terbebas dari hawa nafsu, dengan penuh kesadaran dan pikiran terpusat, merenung, “Segala sesuatu yang terdiri dari paduan unsur-unsur adalah tidak kekal. Mana mungkin hal ini tak akan terjadi?”
Tetapi aku berkata, “Cukup, Avuso, janganlah bersedih, janganlah meratap! Bukankah sejak semula Sang Bhagava menerangkan bahwa segala sesuatu yang disenangi dan dicintai suatu ketika pasti akan berubah dan akan berpisah darimu? Apa yang timbul karena suatu sebab, menjadi seorang makhluk, terdiri dari paduan unsur-unsur dan dikodratkan akan lapuk, bagaimana engkau masih menginginkan, ‘Semoga itu tak akan berubah dan hancur kembali!”
Pada waktu itu hadir pula seorang bhikkhu bernama Subhadda, yang telah ditahbiskan pada usia lanjut. Subhadda kemudian turut bicara, “Cukup, Avuso, janganlah bersedih, janganlah meratap! Sekarang kita telah terbebas dari Pertapa Tua itu. Sudah terlalu lama, Avuso, kita telah dikekang oleh Beliau dengan mengatakan, ‘Ini boleh kamu lakukan, itu tidak boleh kamu lakukan!’ Sekarang kita dapat berbuat sesuka hati kita dan kita tidak usah melakukan hal-hal yang kita tidak senangi.”
Lalu aku berkata, “Mari, Avuso, kita akan membacakan Dhamma dan Vinaya, sebelum apa yang “bukan Dhamma” mendapat angin dan berkembang, dan Dhamma akan terdesak; sebelum apa yang “bukan Vinaya” mendapat angin dan berkembang, dan Vinaya akan terdesak; sebelum mereka yang berbicara tentang yang “bukan Dhamma” menjadi kuat dan mereka yang berbicara tentang Dhamma menjadi lemah; sebelum mereka yang berbicara tentang yang “bukan Vinaya” menjadi kuat dan mereka yang berbicara tentang Vinaya menjadi lemah.”
Kemudian dijawab, “Kalau demikian halnya, harap Bhante memilih bhikkhu-bhikkhu yang akan membacakannya.”
Kemudian Ayasma Maha Kassapa memilih 499 orang bhikkhu, yang semuanya telah mencapai tingkat Arahat.
Setelah itu seorang bhikkhu berkata, “Bhante, meskipun Bhikkhu Ananda masih seorang siswa, tetapi ia sudah tidak mungkin lagi melakukan hal-hal yang salah karena dorongan keinginan rendah, kebencian, nafsu-nafsu yang menggelapkan batin dan ketakutan. Selain itu Bhikkhu Ananda memahami Dhamma dan Vinaya dengan seksama di bawah asuhan langsung Sang Bhagava. Karena itu aku mengusulkan agar Bhikkhu Ananda pun diikutsertakan.” Dengan demikian Bhikkhu Ananda pun terpilih.
Setelah itu timbul pertanyaan, “Di manakah akan diadakan pembacaan Dhamma dan Vinaya?”
Kemudian diusulkan oleh beberapa orang bhikkhu “Di Rajagaha terdapat banyak umat yang bersedia memberikan makanan dan tempat penginapan pun jumlahnya berlebih-lebihan. Bagaimana kalau waktu bervassa di Rajagaha kita membacakan Dhamma dan Vinaya, dan bhikkhu-bhikkhu lain selama vassa (musim hujan), tidak diperkenankan untuk berada di Rajagaha?”
Ayasma Maha Kassapa lalu berkata kepada Sangha, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik maka Sangha dapat memberi persetujuan agar kelima ratus bhikkhu ini membacakan Dhamma dan Vinaya pada waktu mereka bervassa di Rajagaha. Dan selama vassa itu jangan ada bhikkhu lain yang bervassa di Rajagaha.
Inilah usulku. Para Bhante yang terhormat, Sangha sedang mempertimbangkan untuk menyetujui kelima ratus bhikkhu ini membicarakan Dhamma dan Vinaya sewaktu mereka bervassa di Rajagaha. Kalau sekiranya Sangha menyetujui, pada waktu kelima ratus bhikkhu tersebut membacakan Dhamma dan Vinaya di Rajagaha agar jangan ada bhikkhu lain yang bervassa di Rajagaha. Kalau Sangha menyetujuinya, maka aku harap Sangha diam dan kepada mereka yang berkeberatan aku persilakan untuk bicara.
Kelima ratus bhikkhu tersebut, oleh Sangha telah disetujui untuk membacakan Dhamma dan Vinaya sewaktu mereka bervassa di Rajagaha dan juga telah disetujui agar jangan ada bhikkhu lain yang bervassa di Rajagaha, karena tidak ada yang bicara.
Begitulah apa yang kumengerti.”
Kemudian kelima ratus bhikkhu tersebut berangkat menuju Rajagaha untuk membacakan Dhamma dan Vinaya.
Setibanya di Rajagaha mereka melihat banyak kayu-kayu yang patah serta lapuk di tempat mereka menginap. Mereka berpikir, “Memperbaiki bagian-bagian bangunan yang patah serta lapuk dipujikan oleh Sang Bhagava. Mari, selama bulan pertama kita akan memperbaiki bagian-bagian yang patah serta lapuk dan kemudian baru membacakan Dhamma dan Vinaya.
Kemudian di bulan pertama mereka sibuk memperbaiki bagian-bagian yang rusak dan mengganti kayu-kayu yang patah serta lapuk dengan yang baik.
Besok akan dimulai pembacaan Dhamma dan Vinaya.
Bhikkhu Ananda sedang merenung, “Besok kita akan berkumpul. Sebenarnya, sebagai seorang siswa, aku tidak layak menghadiri pertemuan itu.” Setelah itu Bhikkhu Ananda giat melatih meditasi dengan obyek badan jasmaninya sampai larut malam. Dan setelah merasa amat letih, Bhikkhu Ananda ingin membaringkan dirinya di atas kasur. Ia lalu memiringkan tubuhnya, tetapi sebelum kepalanya menyentuh kasur dan kakinya sudah terangkat dari tanah, pada saat itu dengan tiba-tiba batinnya telah bersih dari kekotoran batin dan Bhikkhu Ananda mencapai tingkat Arahat. Kemudian pertemuan dibuka oleh Ayasma Maha Kassapa, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Bhikkhu Upali mengenai Vinaya.”
Lalu dijawab oleh Bhikkhu Upali, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai Vinaya yang akan diajukan oleh Ayasma Maha Kassapa.”
Kemudian Ayasma Maha Kassapa bertanya,
“Bhikkhu Upali, di manakah ditetapkannya pelanggaran Parajika yang pertama?”
“Di Vesali, Bhante.”
“Mengenai siapa?”
“Mengenai Bhikkhu Sudinna dari Desa Kalandaka.”
“Tentang persoalan apa?”
“Tentang hubungan kelamin.”
Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dan tentang orang-orangnya yang terlibat; selanjutnya ditanyakan tentang apa yang ditetapkan dan apa yang kemudian ditambahkan. Kemudian ditanyakan tentang apa yang dianggap sebagai pelanggaran dan apa yang dianggap sebagai bukan pelanggaran.
“Kemudian, Bhikkhu Upali, di manakah ditetapkannya pelanggaran Parajika yang kedua?”
“Di Rajagaha, Bhante.”
“Mengenai siapa?”
“Mengenai Bhikkhu Dhaniya, anak seorang pembuat jambangan tanah.”
“Tentang persoalan apa?”
“Tentang mengambil sesuatu yang tidak diberikan.”
Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dan tentang orang-orangnya yang terlibat, …
“Kemudian, Bhikkhu Upali, di manakah ditetapkannya pelanggaran Parajika yang ketiga?”
“Di Vesali, Bhante.”
“Mengenai siapa?”
“Mengenai beberapa bhikkhu.”
“Tentang persoalan apa?”
“Tentang manusia.”
Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dam tentang orang-orangnya yang terlibat,…
“Kemudian, Bhikkhu Upali, di manakah ditetapkannya pelanggaran Parajika yang keempat?”
“Di Vesali, Bhante.”
“Mengenai siapa?”
“Mengenai bhikkhu-bhikkhu dari tepi Sungai Vaggumuda.”
“Tentang persoalan apa?”
“Tentang mereka yang menggunakan tipu muslihat dengan mengaku mencapai tingkat kesucian atau memiliki kekuatan-kekuatan gaib.”
Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dan tentang orang-orangnya yang terlibat, selanjutnya ditanyakan tentang apa yang ditetapkan dan apa yang kemudian ditambahkan. Kemudian ditanyakan tentang apa yang dianggap sebagai pelanggaran dan apa yang dianggap sebagai bukan pelanggaran.
Setelah itu ditanyakan tentang peraturan-peraturan yang lain baik yang berlaku untuk para bhikkhu maupun yang berlaku untuk para bhikkhuni. Semua pertanyaan dijawab oleh Bhikkhu Upali dengan terang dan jelas.
Kemudian Ayasma Maha Kassapa berkata, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Bhikkhu Ananda mengenai Dhamma.”
Lalu dijawab oleh Bhikkhu Ananda, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai Dhamma yang akan diajukan oleh Ayasma Maha Kassapa.”
Kemudian Ayasma Maha Kassapa bertanya,
“Bhikkhu Ananda, di manakah Brahmajala-sutta disabdakan?”
“Bhante, di tempat peristirahatan Raja di Ambalatthika antara Rajagaha dan Nalanda.”
“Dengan siapa?”
“Dengan pertapa Suppiya dan seorang Brahmin muda bernama Brahmadatta.”
“Mengenai persoalan apa?”
“Mengenai apa yang terpuji dan apa yang tidak terpuji.”
Kemudian Bhikkhu Ananda ditanya tentang asal mulanya, lalu tentang orang-orangnya.
“Dan di manakah Samaññaphala-sutta disabdakan, Bhikkhu Ananda?”
“Di Rajagaha, Bhante, di taman mangga Jivaka.”
“Dengan siapa?”
“Dengan Ajatasattu, putra dari Videhi.”
Kemudian Bhikkhu Ananda ditanya tentang asal mulanya, lalu tentang orang-orangnya.
Setelah itu Bhikkhu Ananda ditanya tentang lima Nikaya yang semuanya dijawab dengan terang dan jelas.
Kemudian Bhikkhu Ananda memberitahukan para hadirin, “Para Bhante yang terhormat, pada waktu Sang Bhagava hendak mencapai parinibbana, Beliau telah meninggalkan pesan, “Setelah Aku mangkat, Ananda, kalau dikehendaki oleh Sangha, maka peraturan-peraturan yang kecil dan kurang penting dapat ditiadakan.”
“Tetapi apakah ditanyakan kepada Sang Bhagava, apa yang dimaksud dengan peraturan-peraturan yang kecil dan kurang penting?”
“Tidak, Bhante, aku tidak menanyakan apa yang dimaksud dengan peraturan-peraturan yang kecil dan kurang penting.”
Ada hadirin yang mengatakan,
“Selain 4 (empat) peraturan Parajika, semua yang lain termasuk peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”
Ada pula yang mengatakan,
“Selain 4 peraturan Parajika dan 13 peraturan Sanghadisesa, semua peraturan yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”
Ada lagi yang mengatakan,
“Selain 4 peraturan Parajika, 13 peraturan Sanghadisesa dan 2 peraturan Aniyata, semua yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”
Ada pula yang mengatakan,
“Selain 4 peraturan Parajika, 13 peraturan Sanghadisesa, 2 peraturan Aniyata dan 30 peraturan Nissagiya, semua yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”
Ada lagi yang mengatakan,
“Selain 4 peraturan Parajika …..dan 92 peraturan Pacittiya, semua yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”
Ada juga yang mengatakan,
“Selain 4 peraturan Parajika …..dan 4 peraturan Patidesaniya, semua yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”
Kemudian Ayasma Maha Kassapa berkata,
“Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku katakan. Tata tertib para bhikkhu ada juga yang berhubungan dengan umat dan umat pun mengetahui mengenai hal tersebut.
Mereka tahu bahwa ini “diperbolehkan” dan itu pasti “tidak diperbolehkan” untuk para pertapa, putra-putra Sakya.
Kalau kita menghapuskan peraturan-peraturan kecil dan kurang penting, mungkin diantara mereka ada yang berkata, “Pada waktu Buddha Gotama masih hidup, Beliau telah menetapkan tata tertib untuk murid-murid-Nya. Sewaktu Buddha Gotama masih hidup, memang mereka melatih diri dalam tata tertib tersebut, tetapi setelah Buddha Gotama mencapai parinibbana mereka tidak lagi melatih diri dalam tata tertib tersebut.
Kalau Sangha menganggap baik, maka Sangha tidak akan menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan dan tidak akan menghapus sesuatu yang sudah ditetapkan. Segala sesuatu harus berjalan terus sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan. Inilah usulku.
Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan maka Sangha tidak akan menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan dan tidak akan menghapus sesuatu yang sudah ditetapkan. Segala sesuatu harus berjalan terus sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan.
Kalau para Bhante setuju dengan tidak menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan dan tidak akan menghapus sesuatu yang sudah ditetapkan dan segala sesuatu harus berjalan terus sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan, maka Sangha harap diam. Kalau ada yang tidak setuju, diharap bicara.
Sangha tidak akan menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan dan tidak akan menghapus sesuatu yang sudah ditetapkan. Segala sesuatu harus berjalan terus sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan.
Karena Sangha diam, maka Sangha telah setuju.
Begitulah apa yang kumengerti.”
Kemudian para Thera berkata kepada Bhikkhu Ananda “Bhikkhu Ananda, ini merupakan suatu pelanggaran, karena Anda telah lalai untuk menanyakan kepada Sang Bhagava, apa yang dimaksud dengan peraturan-peraturan kecil dan kurang penting. Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaian.”
“Para Bhante yang terhormat, karena kurang waspada aku tidak menanyakan kepada Sang Bhagava, apa yang dimaksud dengan peraturan-peraturan kecil yang kurang penting. Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatan kepada para Bhante, aku mengaku melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaian.”
“Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran karena Anda menjahit jubah musim hujan Sang Bhagava, setelah Anda menginjaknya terlebih dulu. Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yang tidak pantas.”
“Para Bhante yang terhormat, bukan karena rasa kurang hormat aku telah menjahit jubah musim hujan Sang Bhagava, setelah dengan tidak disengaja menginjaknya. Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku kepada para Bhante, aku mengakui telah melakukan pelanggaran berbuat sesuatu yang tidak pantas.”
“Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran karena Anda mengizinkan para wanita memberi penghormat terlebih dulu terhadap jenazah Sang Bhagava, sehingga air mata mereka mengotori jenazah Sang Bhagava. Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yang tidak pantas.”
“Para Bhante yang terhormat, karena aku pikir, lebih baik aku memberikan waktu terlebih dulu kepada para wanita untuk memberi penghormatan terakhir terhadap jenazah Sang Bhagava, sehingga mereka nanti tidak berada dalam waktu yang tidak tepat (kalau para Thera telah berkumpul).
Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku terhadap para Bhante, aku mengaku telah melakukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yang tidak pantas.”
Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran. Karena meskipun diberi isyarat-isyarat dan tanda-tanda yang jelas dapat diraba maksudnya, Anda telah lalai untuk memohon kepada Sang Bhagava, “Semoga Sang Bhagava berkenan untuk hidup terus sampai satu kappa, semoga Sang Sugata berkenan untuk hidup terus demi kesejahteraan orang banyak, demi kebahagiaan orang banyak, demi welas asih-Nya terhadap dunia, demi kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan umat manusia.”
Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaian.
“Para Bhante yang terhormat, karena pada saat itu pikiranku tergoda oleh Mara, maka aku telah lalai tidak memohon kepada Sang Bhagava, “Semoga Sang Bhagava berkenan ……demi kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan umat manusia.”
Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku terhadap para Bhante, aku mengaku telah melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaian.”
“Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran. Karena melakukan usaha dan memohon dengan sangat kepada Sang Bhagava, agar wanita dapat diterima sebagai bhikkhuni.
Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran berbuat sesuatu yang tidak baik.”
“Para Bhante yang terhormat, aku telah melakukan usaha dan memohon dengan sangat kepada Sang Bhagava, agar wanita dapat diterima sebagai bhikkhuni oleh karena aku pikir, “Maha Pajapati adalah bibi Sang Bhagava, ibu tiri-Nya, yang merawat-Nya, yang memberikan air susunya sendiri kepada bayi Siddhattha setelah ibu-Nya meninggal dunia.
Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku terhadap para Bhante, aku mengaku telah melakukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yang tidak baik.”
Beberapa waktu setelah pembacaan Dhamma dan Vinaya selesai, Bhikkhu Ananda menghadap para Thera dan berkata : “Pada waktu Sang Bhagava hendak memasuki parinibbana, Beliau juga telah meninggalkan pesan, “Ananda, bila Sang Tathagata sudah tidak ada lagi, Sangha harus melaksanakan hukuman berat (brahmadanda) terhadap Bhikkhu Channa.”
“Tetapi, Bhikkhu Ananda, apakah Anda menanyakan apa yang dimaksud dengan hukuman berat itu?”
“Aku telah menanyakan kepada Sang Bhagava, apa yang dimaksud dengan hukuman berat itu. Beliau mengatakan, “Ananda, Bhikkhu Channa boleh mengatakan apa saja yang ia suka, tetapi bhikkhu-bhikkhu lain tidak boleh bicara dengannya, tidak boleh menasehatinya dan tidak boleh memberi petunjuk kepadanya.”
“Kalau demikian halnya, laksanakanlah hukuman berat itu terhadap Bhikkhu Channa.”
“Tetapi para Bhante yang terhormat, bagaimana mungkin aku dapat melaksanakan hukuman berat tersebut kepada Bhikkhu Channa karena Bhikkhu Channa orangnya kuat dan kekar badannya.”
“Kalau begitu, Bhikkhu Ananda, pergilah bersama dengan lima ratus bhikkhu lain.”
“Baiklah, Bhante,” jawab Bhikkhu Ananda.
Kemudian berangkatlah Bhikkhu Ananda dengan lima ratus bhikkhu lain. Berselang beberapa hari tibalah mereka di Kosambi, tidak jauh dari taman hiburan Raja Udena.
Di taman itu Raja Udena sedang bersenang-senang dengan para selirnya. Kemudian para selir mendengar bahwa Bhikkhu Ananda telah tiba di dekat taman tersebut dan sedang beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang. Mereka lalu memohon kepada Raja Udena, “Paduka Tuan, telah dikabarkan bahwa Bhikkhu Ananda telah tiba di dekat taman dan sekarang sedang beristirahat di bawah sebuah pohon rindang.
“Perkenankanlah kami menemui Guru Ananda.”
“Pergilah kamu menemui Guru Ananda.”
Pergilah para selir Raja Udena menemui Bhikkhu Ananda. Setelah bertemu, mereka memberi hormat dan mengambil tempat duduk. Bhikkhu Ananda kemudian memberikan wejangan tentang Dhamma yang membuat hati para selir menjadi tenang, gembira dan bahagia. Para selir yang telah tenang hatinya, gembira dan bahagia lalu memberikan lima ratus baju dalam kepada Bhikkhu Ananda dan kemudian mereka kembali ke taman Raja Udena.
Setelah tiba di sana, mereka ditanya oleh Raja Udena, “Apakah kamu telah bertemu dengan Guru Ananda?”
“Kami telah bertemu dengan Guru Ananda.”
“Apakah kamu memberikan sesuatu kepada Guru Ananda?”
“Kami telah memberikan lima ratus pakaian dalam kepada Guru Ananda.”
Mendengar itu, Raja Udena merasa kecewa dan mengecam Bhikkhu Ananda,
“Bagaimana mungkin pertapa Ananda menerima sekian banyak baju dalam.
Apakah pertapa Ananda ingin berdagang pakaian atau apakah ia ingin menawarkannya untuk dijual di toko?”
Setelah itu Raja Udena sendiri pergi menemui Bhikkhu Ananda dan setelah memberi hormat sebagaimana layaknya lalu mengambil tempat duduk.
Raja Udena kemudian bertanya,
“Bhante, apakah para selirku tadi telah datang kemari?”
“Benar, Paduka Tuan.”
“Apakah mereka memberikan sesuatu kepada Bhante?”
“Mereka memberikan lima ratus pakaian dalam kepadaku.”
“Tetapi, apakah yang Bhante ingin lakukan dengan lima ratus pakaian dalam itu?”
“Aku akan membagi-bagikannya kepada para bhikkhu yang jubahnya telah tipis.”
“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan jubah bekas dari para bhikkhu tersebut?”
“Kami akan memakainya sebagai jubah luar.”
“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan jubah luar yang bekas pakai itu?”
“Kami akan menggunakan jubah-jubah bekas itu untuk membuat penutup kasur.”
“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan tutup kasur yang lama?”
“Kami akan memakainya untuk penutup lantai.”
“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan penutup lantai yang lama?”
“Kami akan membuat penyeka-penyeka kaki.”
“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan penyeka kaki yang lama?”
“Kami akan membuat kain-kain untuk menyeka debu.”
“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan kain penyeka debu yang lama?”
“Setelah mencabik-cabiknya dan mengaduknya dengan tanah fiat, kami akan gunakan untuk memplester lantai.”
Setelah itu Raja Udena berpikir, “Pertapa-pertapa, putra-putra Sakya, memakai segala sesuatu dengan cara yang teratur, hemat dan tidak boros.”
Maka oleh karena itu, ia memberikan lagi lima ratus baju dalam kepada Bhikkhu Ananda. Inilah untuk pertama kali Bhikkhu Ananda mendapat hadiah seribu potong baju dalam.
Setelah itu bhikkhu Ananda pergi ke Vihara Ghosita.
Di tempat itu Bhikkhu Channa, yang setelah memberi hormat sebagaimana layaknya, mempersilakan Bhikkhu Ananda mengambil tempat duduk.
Pada waktu itulah Bhikkhu Ananda memberitahukan Bhikkhu Channa, “Bhikkhu Channa, Sangha telah menjatuhkan hukuman berat terhadap diri Anda.”
“Tetapi, Bhante, apakah yang dimaksud dengan hukuman berat itu?”
“Bhikkhu Channa, Anda boleh mengatakan apa saja yang Anda suka, tetapi bhikkhu-bhikkhu lain tidak diperkenankan untuk bicara kepada Anda, tidak diperkenankan untuk menasehati Anda dan tidak diperkenankan untuk memberi petunjuk-petunjuk kepada Anda.”
Bhikkhu Channa lalu menjawab,
“Bhante, hancurlah sudah aku ini, tidak ada bhikkhu yang boleh bicara kepadaku, tidak ada bhikkhu yang boleh memberi nasehat kepadaku dan tidak ada bhikkhu yang boleh memberi petunjuk kepadaku.”
Kemudian ia jatuh pingsan di tempat itu.
Setelah siuman, karena merasa malu, cemas dan muak dikenakan hukuman berat, Bhikkhu Channa lalu pergi mencari tempat yang sunyi. Di tempat itulah ia kemudian dengan giat, tekun dan dengan semangat yang menyala-nyala melatih diri, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama ia mencapai tingkat Arahat “Hancurlah tumimbal lahir, hidup suci telah dilaksanakan, telah dilakukan apa yang harus dilakukan dan tidak ada lagi yang tersisa.”
Dengan demikian Bhikkhu Channa menjadi Arahat.
Setelah itu Bhikkhu Channa mencari Bhikkhu Ananda dan setelah bertemu, Bhikkhu Channa lalu berkata, “Bhante yang terhormat, sekarang cabutlah kembali hukuman berat terhadap diriku.”
Dijawab oleh Bhikkhu Ananda,
“Bhikkhu Channa, pada saat Anda mencapai tingkat Arahat, pada saat itu pulalah hukuman berat terhadap diri Anda telah dicabut kembali.” (Bhikkhu Channa yang dimaksud di sini ialah bekas kusir dari Pangeran Siddhattha Gotama).

Keterangan:
Parajika :
pelanggaran yang membuat seorang bhikkhu/ bhikkhuni dipecat/diusir ke luar Sangha.
Sanghadisesa :
pelanggaran yang harus diselesaikan dalam rapat resmi dari Sangha.
Aniyata :
pelanggaran yang masih belum ditentukan masuk golongan yang mana.
Nissagiya :
pelanggaran yang menyebabkan sesuatu barang disita.
Pacittiya :
pelanggaran yang menyebabkan seseorang harus menjalankan hukuman “penebusan dosa”.

Masa Menyebarkan Dhamma

Mulai Menyebarkan Dhamma
Pada suatu hari, Sang Buddha memanggil berkumpul murid-muridNya yang berjumlah enam puluh orang Arahat dan berkata, “Aku telah terbebas dari semua ikatan-ikatan, oh Bhikkhu, baik yang bersifat batiniah maupun yang bersifat badaniah, demikian pula kamu sekalian. Sekarang kamu harus mengembara guna kesejahteraan dan keselamatan orang banyak. Janganlah pergi berduaan ke tempat yang sama. Khotbahkanlah Dhamma yang mulia pada awalnya, mulia pada pertengahannya, dan mulia pada akhirnya. Umumkanlah tentang kehidupan suci yang benar-benar bersih dan sempurna dalam ungkapan dan dalam hakekatnya. Terdapat makhluk-makhluk yang matanya hanya ditutupi oleh sedikit debu. Kalau tidak mendengar Dhamma, mereka akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh manfaat yang besar. Mereka adalah orang-orang yang dapat mengerti Dhamma dengan sempurna. Aku sendiri akan pergi ke Senanigama di Uruvela untuk mengajar Dhamma.”
Kemudian berangkatlah keenam puluh Arahat itu sendiri-sendiri ke berbagai jurusan dan mengajar Dhamma kepada penduduk yang mereka jumpai. Sewaktu mengajar, mereka kerap kali bertemu dengan orang yang ingin menjadi bhikkhu. Karena mereka sendiri belum bisa mentahbiskannya, maka dengan melakukan perjalanan jauh dan melelahkan mereka membawa orang itu menghadap Sang Buddha. Melihat kesulitan ini maka Sang Buddha memperkenankan para bhikkhu untuk memberikan pentahbisan sendiri.
“Aku perkenankan kamu, oh Bhikkhu, untuk mentahbiskan orang di tempat-tempat yang jauh. Inilah yang harus kamu lakukan. Rambut serta kumisnya harus dicukur, mereka harus memakai jubah Kasaya (jubah yang dicelup dalam air larutan kulit kayu tertentu), bersimpuh, merangkapkan kedua tangannya dalam sikap menghormat dan kemudian berlutut di depan kaki bhikkhu. Selanjutnya kamu harus mengucapkan dan mereka harus mengulang ucapanmu, “Aku berlindung kepada Sang Buddha, aku berlindung kepada Dhamma, aku berlindung kepada Sangha, dan seterusnya.”
Mulai saat itu terdapat dua cara pentahbisan, pertama yang diberikan Sang Buddha sendiri dengan memakai kalimat “ehi bhikkhu” dan yang kedua diberikan oleh murid-muridNya yang dinamakan pentahbisan “Tisaranagamana”.
Dalam perjalanan dari Uruvela ke Benares, pada suatu hari Sang Buddha tiba di perkebunan kapas dan beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang. Tidak jauh dari tempat itu, tiga puluh orang pemuda sedang bermain-main yang diberi nama Bhaddavaggiya. Dua puluh sembilan orang sudah menikah, hanya seorang belum. Ia rnembawa seorang pelacur. Selagi mereka sedang bermain-main dengan asyik, pelacur tersebut menghilang dengan membawa pergi perhiasan yang mereka letakkan di satu tempat tertentu.
Setelah tahu apa yang terjadi, mereka mencari pelacur tersebut. Melihat Sang Buddha duduk di bawah pohon, mereka menanyakan, apakah Sang Buddha melihat seorang wanita lewat di dekat situ. Atas pertanyaan Sang Buddha, mereka menceritakan apa yang telah terjadi. Kemudian Sang Buddha berkata, “Oh, Anak-anak muda, cobalah pikir, yang mana yang lebih penting. Menemukan dirimu sendiri atau menemukan seorang pelacur?” Setelah mereka menjawab bahwa lebih penting menemukan diri mereka sendiri, maka Sang Buddha kemudian berkhotbah tentang Anupubbikatha dan Empat Kesunyataan Mulia. Mereka semua memperoleh Mata Dhamma dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu. Setelah ditahbiskan, mereka dikirim ke tempat-tempat jauh untuk mengajarkan Dhamma.

Kassapa Bersaudara
Di tiga tempat sepanjang Sungai Neranjara, tinggal tiga orang Kassapa bersaudara yang menjadi pemimpin kaum Jatila yang memuja api. Yang tertua disebut Uruvela Kassapa, bertempat tinggal di sebelah hulu sungai dan mempunyai pengikut sebanyak lima ratus orang. Yang kedua disebut Nadi Kassapa, bertempat tinggal di sebelah hilir sungai dan mempunyai pengikut sebanyak tiga ratus orang. Yang ketiga disebut Gaya Kassapa, bertempat tinggal di tempat lebih hilir dari Nadi Kassapa dan mempunyai pengikut sebanyak dua ratus orang.
Pada suatu hari, Sang Buddha tiba di Uruvela dan mengunjungi Uruvela Kassapa. Di tempat ini Sang Buddha harus memperlihatkan kekuatan gaib untuk menundukkan Uruvela Kassapa yang ternyata juga mahir dalam melakukan ilmu-ilmu gaib. Salah satu contoh dapat diceritakan sebagai berikut:
“Kalau Anda tidak keberatan, Kassapa, Aku ingin bermalam di pondokmu.”
“Tentu saja tidak, Gotama Yang Mulia, aku tidak keberatan Anda bermalam di pondokku. Tetapi Anda harus tahu bahwa seekor ular kobra yang besar dan ganas sekali menjaga api suci yang terdapat di pondokku. Tiap malam ular itu keluar dan aku khawatir Anda akan celaka.” jawab Uruvela Kassapa.
“Oh, tidak apa-apa. Kalau Anda tidak keberatan, Aku akan bermalam di pondokmu.”
“Kalau begitu baiklah. Selamat malam dan semoga Anda selamat.”
Sang Buddha juga mengucapkan selamat malam kepada Uruvela Kassapa dan masuk ke dalam pondok. Sang Buddha duduk bermeditasi dan menunggu munculnya ular kobra tersebut.
Waktu tengah malam, benar saja seekor ular kobra besar datang menghampiri Sang Buddha. Ular itu menyemburkan uap beracun dan mencoba menggigit Sang Buddha. Tetapi semburan uap beracun maupun usaha untuk menggigit Sang Buddha ternyata sia-sia saja. Sang Buddha tetap duduk bermeditasi dengan mengembangkan gaya-gaya Metta (cinta kasih) dan badan-Nya seolah-olah dikelilingi oleh semacam perisai yang tidak dapat ditembus.
Esok paginya, Uruvela Kassapa datang menjenguk Sang Buddha dan mengira akan menemukan mayat-Nya. Ia terkejut melihat Sang Buddha sedang duduk bermeditasi.
Uruvela Kassapa bertanya apakah Sang Buddha tidak diganggu oleh ular kobra. “Tidak, ular itu ada di sini.” jawab Sang Buddha dan membuka tutup mangkuk yang biasa dipakai untuk menerima dana makanan.
Keluarlah seekor ular kobra yang mendesis dengan ganas sehingga Uruvela Kassapa cepat-cepat ingin menyingkir. Tetapi Sang Buddha menahannya dan berkata bahwa Beliau mempunyai kemampuan untuk menjinakkan ular kobra.
Pada kesempatan lain sewaktu turun hujan lebat dan semua tempat di daerah itu digenangi air banjir, kembali Sang Buddha memperlihatkan kekuatan gaib-Nya. Di tempat Sang Buddha berdiri atau berjalan, air “membelah” membuka jalan, sehingga kaki dan tubuh Sang Buddha tidak basah kena air.
Akhirnya Uruvela Kassapa dapat diyakinkan bahwa ia bukanlah tandingan Sang Buddha dan ia juga tahu bahwa ia belum mencapai tingkat Arahat sebagaimana dikiranya semula. Ia juga dapat diyakinkan bahwa pemujaan api tidak dapat membawa orang ke Pembebasan Sempurna. Dengan lima ratus orang pengikutnya, ia kemudian membuang semua peralatan yang dipakainya dalam pemujaan api ke dalam sungai dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu.
Pada suatu hari, Nadi Kassapa yang bertempat tinggal di sebelah hilir sungai menjadi terkejut melihat banyak peralatan sembahyang terapung di sungai. Ia mengira bahwa suatu bencana hebat telah menimpa diri kakaknya.
Dengan tergesa-gesa, diikuti tiga ratus orang pengikutnya, Nadi Kassapa pergi ke tempat Uruvela Kassapa.
Setelah tiba, Nadi Kassapa melihat bahwa kakaknya sudah menjadi bhikkhu. Selanjutnya Nadi Kassapa diberi penjelasan tentang sia-sianya memuja api, sehingga akhirnya ia bersama-sama pengikutnya pun menjadi bhikkhu. Hal yang sama juga terjadi pada diri Gaya Kassapa beserta para pengikutnya. Dengan demikian tiga kelompok kaum Jatila yang berjumlah 1.003 orang telah menjadi pengikut Sang Buddha.
Setelah beberapa waktu di Uruvela, Sang Buddha beserta rombongan melanjutkan perjalanan-Nya menuju Gayasisa di tepi Sungai Gaya.
Di tempat itu Sang Buddha mengumpulkan murid-muridNya dan memberikan khotbah yang kemudian dikenal sebagai Adittapariyaya Sutta.
Ringkasan dari khotbah itu adalah sebagai berikut:
“Oh, Bhikkhu, semuanya menyala. Apakah itu yang menyala? Mata, penglihatan, kesadaran mata, kesan-kesan mata dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan mata (Ini adalah kelompok pertama).
Telinga, suara, kesadaran telinga, kesan-kesan telinga dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan telinga (Ini adalah kelompok kedua).
Hidung, bebauan, kesadaran hidung, kesan-kesan hidung dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan hidung (Ini adalah kelompok ketiga).
Lidah, rasa, kesadaran lidah, kesan-kesan lidah dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan lidah (Ini adalah kelompok keempat).
Tubuh, sentuhan, kesadaran tubuh, kesan-kesan tubuh dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan tubuh (Ini adalah kelompok kelima).
Batin, pikiran, kesadaran batin, kesan-kesan batin dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan batin (Ini adalah kelompok keenam).
Semua itu menyala-nyala. Menyala dengan apa? Menyala dengan api dari keserakahan, kebencian dan khayalan yang menyesatkan, menyala dengan api dari kelahiran, usia tua dan kematian, menyala dengan api dari kesedihan, ratap tangis, sakit, duka cita, dan putus asa.
Seorang siswa Yang Ariya, yang melihat keadaan ini akan merasa jemu. Karena merasa jemu, ia akan melepaskan nafsu-nafsu keinginan. Karena melepaskan nafsu-nafsu keinginan, batinnya tidak melekat lagi kepada segala sesuatu.
Karena tidak melekat lagi kepada segala sesuatu akan timbul Pandangan Terang, sehingga ia mengetahui bahwa ia sudah terbebas. Ia tahu bahwa ini adalah kehidupannya yang terakhir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu apa pun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung.”
Setelah Sang Buddha selesai memberikan khotbah, batin bhikkhu-bhikkhu tersebut terbebas seluruhnya dari kemelekatan dan bersih dari kekotoran batin. Mereka semua mencapai tingkat yang tertinggi, yaitu menjadi Arahat.
Maha Kassapa
Dalam perjalanan ke Rajagaha, Sang Buddha tiba di suatu tempat perbatasan antara kota Rajagaha dan Nalanda dan beristirahat di bawah pohon beringin Bahuputtaka.
Pada waktu itu, seorang pertapa bernama Pipphali lewat di tempat itu. Pipphali adalah anak seorang Brahmana dari keluarga Kassapa yang bernama Kapila dengan istrinya yang bernama Sumanadevi dari Desa Mahatittha di negara Magadha.
Ia menghampiri Sang Buddha dan setelah mengetahui bahwa yang diajak bicara adalah seorang Buddha, Pipphali mohon diterima menjadi murid.
Sang Buddha mentahbiskannya dengan cara memberikan tiga buah nasehat, “Oh, Kassapa, engkau harus selalu ingat bahwa pertama, engkau harus hidup sederhana dan patuh kepada para bhikkhu yang tua, yang muda, dan yang setengah tua. Kedua, engkau harus mendengarkan Dhamma dengan baik, memperhatikannya dan merenungkannya. Ketiga, engkau harus selalu menyadari dan memperhatikan tubuhmu dan terus-menerus mengambil tubuhmu sebagai obyek meditasi.”
Setelah ditahbiskan, Kassapa mohon untuk menukar jubahnya yang baru dengan jubah Sang Buddha yang sudah tua. Kemudian Sang Buddha bangkit dan meneruskan perjalanan-Nya menuju Rajagaha.
Bangga karena merasa mendapat kehormatan besar dapat memakai jubah bekas Sang Buddha, Kassapa kemudian dengan tekun melaksanakan latihan Dhutanga. Pada hari kedelapan, ia mencapai tingkat kesucian Arahat.
Maha Kassapa sering dijadikan suri teladan tentang sikap yang baik dari seorang bhikkhu yang berdiam di hutan. Selama menjadi bhikkhu sampai berusia lanjut, Maha Kassapa selalu tinggal di hutan, tiap hari mengumpulkan makanan, selalu memakai baju bekas (pembungkus mayat), sudah puas dengan pemberian yang sedikit (kecil), selalu hidup menjauhi masyarakat ramai dan terkenal rajin sekali.
Menjawab pertanyaan, mengapa Beliau menuntut kehidupan yang demikian keras, Maha Kassapa mengatakan bahwa Beliau berbuat semuanya itu bukan hanya untuk kebahagiaan dirinya sendiri tetapi juga demi kebahagiaan orang lain di kelak kemudian hari. Maha Kassapa dipandang sebagai contoh yang baik sekali untuk orang-orang yang benar-benar ingin melaksanakan hidup suci. Sebagai penghormatan, Beliau diberi nama Maha Kassapa (Kassapa Agung).
Tiga bulan setelah Sang Buddha meninggal dunia, Maha Kassapa mengetuai Sidang Agung (Sangha-Samaya) yang pertama dengan dihadiri oleh 500 orang Arahat di Goa Sattapanni, kota Rajagaha untuk menghimpun semua tata tertib bagi para bhikkhu dan bhikkhuni dan semua khotbah Sang Buddha yang pernah diberikan di tempat-tempat yang berlainan, kepada orang-orang yang berlainan dan pada waktu yang berlainan pula selama 45 tahun.
Maha Kassapa meninggal dunia pada usia 120 tahun.
Raja Bimbisara
Di sebelah Tenggara Jambudipa terdapat sebuah negara besar dan berpengaruh, yaitu negara Magadha yang berpenduduk padat dan kaya raya dan di sebelah Timurnya terletak negara Anga. Raja Bimbisara adalah Maha raja negara Magadha dan Anga tersebut dengan ibukota Rajagaha.
Setelah beberapa lama diam di Gayasisa, Sang Buddha melanjutkan perjalanannya menuju Rajagaha dan berhenti di hutan kecil Latthivana.
Dalam waktu singkat tersiar berita bahwa Pertapa Gotama, putra Sakya, sekarang berada di Rajagaha dan berdiam di hutan kecil Latthivana. Beliau adalah seorang Arahat, seorang yang telah memperoleh Penerangan Agung, dan mengajar Dhamma yang mulia di awalnya, mulia di pertengahannya, dan mulia di akhirnya, yang telah mengumumkan kehidupan suci yang benar-benar bersih dan sempurna dalam ungkapan dan dalam hakekatnya. Melihat seorang Arahat yang demikian itu bermanfaat sekali agar keinginan orang dapat terkabul.
Mendengar berita itu, Raja Bimbisara datang mengunjungi Sang Buddha dengan diikuti pengiringnya. Setelah memberi hormat, Raja kemudian duduk di satu sisi. Tetapi para pengiringnya bersikap macam-macam dan ada yang bersikap acuh tak acuh. Ada yang berlutut, ada yang hanya memberi hormat dengan ucapan, ada yang menyembah, ada yang memberitahukan namanya dan juga nama keluarganya, dan ada yang duduk diam saja.
Sang Buddha, yang melihat sikap acuh tak acuh dan kurang hormat dari pengiring Raja, tahu bahwa mereka masih belum siap untuk menerima ajaran. Karena itu Sang Buddha memandang perlu agar Uruvela Kassapa terlebih dulu memberikan keterangan tentang sia-sianya pemujaan yang dulu ia lakukan. Hal ini perlu untuk menyingkirkan keragu-raguan sebelum mereka siap untuk mendengarkan Dhamma. Karena itu Sang Buddha berkata kepada Uruvela Kassapa, “Oh, Kassapa, kamu sudah lama berdiam di Uruvela dan menjadi pemimpin kaum Jatila yang pandai dalam upacara keagamaan. Apakah sebabnya sehingga kamu berhenti melakukan pemujaan api yang biasa kamu lakukan? Aku bertanya padamu, oh Kassapa, mengapa kamu meninggalkan kebiasaan memuja api?”
Uruvela Kassapa menjawab, “Semua Yañña atau upacara dengan mempersembahkan sesajen bertujuan untuk memperoleh penglihatan, suara, rasa dan wanita yang menggiurkan, yang didambakan manusia. Persembahan sesajen itu menimbulkan harapan bahwa setelah melakukan persembahan tersebut orang akan dapat memperoleh hasil yang diinginkan. Telah kuketahui sekarang bahwa kesenangan-kesenangan indria tersebut merupakan kekotoran batin yang membuat orang dicengkeram oleh nafsu-nafsu. Karena itu aku tidak lagi tertarik melakukan praktek pemujaan api.”
Kemudian Sang Buddha bertanya lagi, “Setelah kini kamu tidak lagi tertarik kepada penglihatan, suara dan rasa yang menjadi obyek bagi kesenangan indria, oh Kassapa, apa sebenarnya yang kamu cari di alam manusia dan alam dewa ini? Coba kamu ceritakan.”
Kassapa menjawab, “Aku telah berhasil mencapai keadaan yang penuh damai, tanpa dikotori oleh nafsu-nafsu yang dapat menimbulkan penderitaan, tanpa keinginan untuk melekat, tanpa kemelekatan kepada alam kesenangan indria, tanpa perubahan, tanpa tergantung pada kekuatan luar dan hanya dapat dipahami oleh pribadi masing-masing. Karena hal-hal yang di atas itulah aku tidak lagi tertarik untuk melakukan praktek pemujaan api yang dulu kulakukan.”
Selesai memberi jawaban, Kassapa bangun dari tempat duduknya. Dengan jubah menutupi satu pundaknya (sebagai sikap menghormat) ia berlutut tiga kali di bawah kaki Sang Buddha dan mengaku bahwa Sang Buddha adalah gurunya dan ia adalah murid-Nya.
Setelah keragu-raguan para hadirin dapat disingkirkan dan batin mereka sudah siap untuk menerima pelajaran, mulailah Sang Buddha memberikan khotbah tentang Anupubbikatha dilanjutkan dengan Empat Kesunyataan Mulia.
Selesai Sang Buddha memberikan khotbah, sebelas dari dua belas orang yang hadir memperoleh Mata Dhamma dan yang lain memperoleh keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Kemudian Raja menceritakan tentang keinginannya semenjak kecil.
“Dulu, sewaktu masih menjadi Putra Mahkota dan belum naik tahta kerajaan, aku mempunyai lima macam keinginan, yaitu pertama, semoga aku kelak naik di tahta kerajaan Magadha. Kedua, semoga seorang Arahat yang memperoleh Penerangan Agung datang di negeriku sewaktu aku masih memerintah. Ketiga, semoga aku memperoleh kesempatan untuk mengunjungi Arahat tersebut. Keempat, semoga Arahat tersebut memberikan khotbah kepadaku. Kelima, semoga aku mengerti apa yang harus dimengerti dari ajaran Arahat tersebut. Sekarang semua keinginanku yang berjumlah lima itu telah terpenuhi.” .
Selanjutnya Raja Bimbisara memuji khotbah Sang Buddha dan menyatakan dirinya sebagai upasaka untuk seumur hidup dan mengundang Sang Buddha beserta para pengikut-Nya untuk datang besok siang mengambil dana (makanan) di istana. Kemudian bangun dari tempat duduknya, jalan memutar dengan Sang Buddha tetap di sebelah kanan dan pulang ke istana. Tiba di istana, Raja memerintahkan untuk menyiapkan hidangan yang lezat-lezat. Keesokan hari, Raja memerintahkan pengawalnya untuk mengundang Sang Buddha dengan pengiring-Nya datang ke istana. Setelah Sang Buddha tiba di istana dan mengambil tempat duduk yang disediakan, Raja sendiri turut melayani memberikan hidangan. Kemudian Raja memikirkan tempat yang layak yang dapat digunakan oleh Sang Buddha sebagai tempat tinggal. Raja teringat kepada Veluvanarama (hutan pohon bambu) yang letaknya tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dengan desa di sekelilingnya. Tempat itu mudah untuk dicapai dan menyenangkan, tidak berisik waktu siang hari dan tenang di malam hari, cocok sekali untuk dipakai sebagai tempat menyepi oleh mereka yang ingin berlatih untuk mendapatkan Pandangan Terang.
Dengan batin yang dipenuhi pikiran tersebut, Raja Bimbisara kemudian menuang air ke lantai dari kendi emas dan menerangkan bahwa Beliau berhasrat menyerahkan Veluvanarama untuk dipakai oleh Sang Buddha beserta pengiring-Nya, sebagai tempat tinggal. Sang Buddha menerima pemberian tersebut dan menggembirakan hati Raja dengan menerangkan tentang keuntungan besar yang dapat diperoleh dari dana tersebut.
Sang Buddha beserta pengiring-Nya pulang dan pindah ke tempat yang baru. Ini merupakan sumbangan tempat tinggal untuk pata bhikkhu yang pertama, mulai hari itu Sang Buddha memperbolehkan para bhikkhu menerima pemberian serupa itu.
 
Sariputta Dan Moggallana
Di Rajagaha, waktu itu hidup dua orang pemuda dari kasta brahmana yang kaya raya, yang sejak kecil bersahabat. Yang satu bernama Upatissa, anak seorang wanita bernama Rupasari, yang lain bernama Kolita, anak seorang wanita bernama Moggalli.
Mereka berdua berguru kepada Sanjaya, seorang pertapa dari golongan Paribbajaka, yang mempunyai dua ratus lima puluh orang murid. Upatissa dan Kolita termasuk dua orang murid yang pandai dan sering mewakili gurunya memberi bimbingan kepada murid-murid yang lain. Meskipun sudah belajar lama dan memiliki seluruh kepandaian gurunya, tetapi mereka berdua masih belum puas. Mereka kemudian berjanji bahwa siapa di antara mereka kelak yang lebih dulu memperoleh ajaran sempurna akan memberitahukan hal itu kepada yang lain.
Pada suatu hari Ayasma Assaji, seorang dari lima orang bhikkhu pertama, kembali ke Rajagaha untuk memberi laporan kepada Sang Buddha tentang perjalanannya ke berbagai tempat untuk mengajar Dhamma.
Sebagaimana biasa, Ayasma Assaji tiap pagi mengumpulkan makanan dan waktu itulah Beliau terlihat oleh Upatissa. Upatissa terkesan sekali melihat sikap Ayasma Assaji yang demikian tenang dan agung. Setiap gerakannya memberi kesan berwibawa dan menuntut penghormatan dari orang yang melihatnya. Baik berjalan ke depan atau bertindak ke belakang, atau membentangkan, atau menekuk tangannya, ia selalu kelihatan penuh keseimbangan dengan kepala agak tunduk sedikit dan mata ditujukan ke arah depan
Pemandangan ini membuat Upatissa terpesona dan membangkitkan perasaan ingin tahu. Seketika itu ia ingin menegur, tetapi kemudian membatalkannya karena ia menganggap waktunya kurang tepat berhubung waktu itu Ayasma Assaji sedang mengumpulkan makanan. Ia menunggu sampai Ayasma Assaji selesai makan dan kemudian mendekati serta memberi hormat, “Saudara, pembawaan Anda luar biasa dan wajah Anda terang sekali. Dengan menjalankan kehidupan suci ini kepada siapakah Anda mengabdi? Siapakah guru Anda? Dan ajaran siapakah yang Anda ikuti?”
Ayasma Assaji menjawab, “Saudara, dengan menjalankan kehidupan suci ini aku mengabdi kepada seorang Pertapa Agung, anak dari suku Sakya, yang telah menjadi bhikkhu dari keluarga Sakya. Pertapa Agung itulah yang menjadi guruku. Dan ajaran-Nya yang aku ikuti.”
“Apakah yang diajar guru Anda, Saudara?”
“Aku seorang pendatang baru. Aku baru saja ditahbiskan. Aku belum berapa lama mengikuti ajaran ini, sehingga aku tidak dapat memberikan pelajaran itu secara terperinci. Tetapi aku akan memberitahukan Anda garis besarnya.”
“Baik sekali, Saudara. Bagi saya sama saja apakah Anda memberitahukan garis besarnya atau secara terperinci. Aku ingin mendengar intisari dari ajaran tersebut, yang lain tidak dapat membantu apa-apa.”
Ayasma Assaji kemudian mengucapkan syair di bawah ini:
“Ye dhamma hetuppabhava,
Tessam hetum Tathagato,
Tesañca yo nirodho ca,
Evam vadi mahasamano.”
Artinya :
“Semua benda yang timbul karena satu ‘sebab’
‘Sebabnya’ telah diberitahukan oleh Sang Tathagata,
Dan juga lenyapnya kembali,
Itulah yang diajarkan Sang Pertapa Agung. “
Mendengar syair tersebut, Upatissa seketika memperoleh Mata Dhamma (Dhammacakkhu) dan berkata dalam hatinya,
“Yankiñci samudayadhammam
Sabbantam nirodha dhammam.”
Artinya:
“Segala sesuatu yang timbul karena satu ‘sebab’
Di dalamnya pun terdapat ‘sebab’ yang membuat ia musnah kembali. “
Kemudian Upatissa menanyakan tempat tinggal Sang Buddha. Setelah diberitahukan bahwa Sang Buddha pada saat itu berdiam di Veluvanarama, Upatissa kemudian mohon diri dari Ayasma Assaji dan berjanji akan datang mengunjungi Sang Buddha bersama sahabatnya yang bernama Kolita.
Upatissa kembali ke tempat gurunya, Sanjaya, dan memberitahukan Kolita peristiwa apa yang baru saja ia alami. Ia mengulang syair yang diucapkan Ayasma Assaji dan seketika itu pula Kolita memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna. Kemudian mereka berdua melaporkan berita ini kepada Sanjaya dan mohon diperkenankan untuk mengunjungi Sang Buddha. Tetapi Sanjaya menolak untuk memberi izin. Akhirnya, tanpa izin, mereka berdua dengan diikuti dua ratus lima puluh orang muridnya pergi juga berkunjung kepada Sang Buddha dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu. Dari kelompok ini dapat diceritakan bahwa mereka semua mencapai tingkat Arahat, bahkan para muridnya terlebih dulu mencapai tingkat kesucian tersebut, kemudian disusul oleh Kolita dan yang terakhir Upatissa.
Tujuh hari setelah ditahbiskan menjadi bhikkhu, Kolita menyepi di Desa Kallavalamuttagama di kota Magadha. Di tempat itu Kolita giat melatih meditasi untuk memperoleh Pandangan Terang. Pada suatu ketika ia merasa ngantuk sekali. Sang Buddha menghampirinya dan memberikan petunjuk untuk menanggulangi perasaan ngantuk,
“Apa pun pencerapanmu pada waktu kamu diserang perasaan mengantuk, Moggallana (Kolita di kemudian hari terkenal dengan nama ini yang berarti : anak Moggalli), kamu harus terus menyadari pencerapan tersebut. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.”
“Kalau cara ini tidak menolong, kamu harus memusatkan pikiranmu kepada Dhamma yang pernah kamu dengar atau pelajari. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.”
“Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus mengulang dengan suara keras Dhamma yang pernah kamu dengar atau pelajari. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.”
“Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus menggosok-gosok kupingmu dengan jeriji dan mengusap-usap tubuhmu dengan tangan. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.”
“Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus bangun dan mencuci matamu dengan air, kemudian memandang ke sekelilingmu dan mengamat-amati bintang di langit. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.”
“Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus memusatkan pikiranmu kepada pencerapan dari cahaya terang, dan pikiranmu selalu membayangkan ‘cahaya siang hari’ baik pada waktu siang hari maupun pada waktu malam hari, membuka batinmu dari selubung yang menutupinya dan mengembangkan batinmu bermandi cahaya terang. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.”
“Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus berbaring dengan ‘sikap seekor singa’, yaitu miring ke kanan dengan kaki kiri di atas kaki kanan, batin dalam keadaan ‘sadar’ dan pikiran terpusat kepada saat kamu ingin bangun. Setelah bangun kamu harus segera bangkit sambil merenung ‘Aku tidak ingin memanjakan diriku dengan berbaring, menyender atau tidur’. Ini Moggallana, yang kamu harus selalu ingat.”
“Selanjutnya, Moggallana, kamu harus selalu ingat ‘aku tidak boleh merasa ingin terlalu dihormat kalau masuk ke rumah seorang umat biasa’. Sebab kalau seorang bhikkhu masuk ke rumah seorang umat biasa dengan perasaan ingin terlalu dihormat dan pada waktu itu mungkin ada urusan rumah tangga yang sangat penting yang harus diselesaikan terlebih dulu sehingga bhikkhu itu ‘terlupakan’, maka akan timbul pikiran dalam batin bhikkhu tersebut, “Siapakah yang menghasut orang ini terhadap diriku? Orang ini kelihatannya sekarang ‘acuh tak acuh’. Karena merasa tak diacuhkan lagi timbul perasaan malu, karena malu pikirannya kacau, karena pikirannya kacau ia tidak dapat mengendalikan dirinya dengan baik, karena tidak dapat mengendalikan diri dengan baik, ia gagal melakukan meditasi.”
“Selain dari itu, Moggallana, kamu harus selalu ingat, ‘aku tidak ingin mengucapkan sesuatu yang dapat menimbulkan pertengkaran atau mencari-cari kesalahan orang lain’. Sebab kalau orang berbicara tentang sesuatu yang dapat menimbulkan pertengkaran atau mencari-cari kesalahan orang lain, maka hal itu mengakibatkan perdebatan yang panjang. Dengan adanya perdebatan yang panjang, ia tak dapat memusatkan pikirannya. Karena tak dapat memusatkan pikirannya, ia tak dapat mengendalikan diri, karena ia tak dapat mengendalikan diri, ia gagal melakukan meditasi.”
“Sekarang, Moggallana, aku tidak selalu memujikan orang berkumpul dan juga aku tidak selalu menolaknya. Aku tidak memujikan berkumpul dengan orang banyak, baik itu bhikkhu atau orang biasa. Tetapi kalau ada tempat sunyi dan tidak terganggu oleh suara berisik dari orang yang lalu lalang, cocok sekali untuk seorang pertapa yang menyukai kesunyian, cocok untuk dipakai sebagai tempat menyepi oleh mereka yang lebih menyukai hidup menyendiri, maka berdiam di tempat demikian itu selalu aku pujikan.”
Setelah diberikan petunjuk di atas, Moggallana menanyakan tentang kesimpulan terakhir bagi orang yang sudah cenderung untuk menyingkirkan nafsu-nafsu keinginan dan sudah siap untuk memperoleh hasil ‘di luar duniawi’. Sang Buddha menjawab,
“Moggallana, seorang bhikkhu yang melaksanakan Dhamma ini, tahu bahwa tidak ada sesuatu pun yang berharga untuk dilekati. Setelah tahu hal tersebut, ia kemudian mengamat-amati benda-benda itu dengan Kebijaksanaan Tinggi, setelah mengamat-amati benda-benda itu dengan Kebijaksanaan Tinggi, ia dapat menyelami hakekat benda-benda tersebut, maka sewaktu mengalami perasaan menyenangkan, tidak menyenangkan atau netral ia memandangnya sebagai sesuatu yang tidak kekal. Jadi, ia memandangnya dengan perasaan jemu untuk kemudian menyingkir dan melepaskan diri dari perasaan tersebut.
Dengan merenung seperti itu, ia tidak melekat lagi kepada apa pun dalam dunia ini, karena tidak lagi melekat, ia tidak dapat lagi diganggu, karena tidak dapat lagi diganggu, ia dapat rnenyingkirkan semua kekotoran batin dan mengetahui bahwa ini adalah kehidupannya yang terakhir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu apa pun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung. Dengan kesimpulan terakhir inilah, Moggallana, seorang bhikkhu dapat dipandang sudah cenderung untuk menyingkirkan nafsu-nafsu keinginannya dan sudah siap untuk memperoleh hasil ‘di luar duniawi’.”
Dengan melaksanakan petunjuk tesebut, Moggallana berhasil mencapai tingkat Arahat hari itu juga.
Lima belas hari setelah ditahbiskan, Upatissa (yang kemudian terkenal sebagai Sariputta, anak Sari), berdiam bersama-sama Sang Buddha di Goa Sukarakhata dari Gunung Gijjhakuta (Puncak Burung Nasar) di kota Rajagaha.
Seorang pertapa golongan Paribbajaka bernama Dighanakha dari keluarga Aggivesana pada suatu hari menghampiri Sang Buddha dan setelah saling mengucapkan kata-kata menghormat, ia berdiri di satu sisi. Ia kemudian memberikan pandangannya dengan mengatakan, “Yang Mulia Gotama, semua benda tidak menyenangkan hatiku. Aku tidak merasa tertarik kepadanya.”
“Kalau begitu, Aggivesana, pandangan yang demikian itu pasti tidak menyenangkan hatimu dan sudah semestinya kamu tidak tertarik lagi kepadanya.”
Setelah itu Sang Buddha menguraikan tentang adanya tiga pandangan mengenai hal tersebut.
“Ada kelompok pertapa dan Brahmana, Aggivesana, yang mempunyai pandangan bahwa semua benda menyenangkan hati mereka, mereka tertarik kepada semua benda.
Ada kelompok lain berpegang teguh kepada pandangan bahwa semua benda tidak menyenangkan hati mereka, mereka tidak tertarik kepada apa pun juga. Kelompok ketiga mempunyai pandangan bahwa ada benda-benda yang menyenangkan hati dan mereka tertarik kepada benda-benda tersebut.
Terhadap benda-benda lain yang tidak menyenangkan hati, mereka tidak tertarik. Pandangan kelompok pertama ialah condong ingin memiliki benda-benda tersebut. Pandangan kelompok kedua condong untuk membenci atau mempunyai pikiran buruk terhadap benda-benda. Pandangan kelompok ketiga ialah condong ingin memiliki beberapa benda-benda dan membenci benda-benda yang lain.
Seorang bijaksana melihat bahwa kalau ia mengambil sikap dan mengatakan bahwa ini yang benar dan yang dua itu salah, ia akan bertentangan pendapat dengan mereka yang mempunyai kedua pandangan yang lain itu.
Dengan adanya pertentangan pendapat akan timbul pertengkaran.
Dengan adanya pertengkaran akan timbul perasaan benci. Dengan adanya perasaan benci akan timbul permusuhan.
Setelah menyelami keadaan ini, seorang bijaksana akan menyingkirkan pandangan itu dan juga tidak menganut pandangan pandangan yang lain. Dengan melakukan ini, ia telah melepaskan ketiga pandangan tersebut.”
Setelah menjelaskan tentang ketiga pandangan salah tersebut, Sang Buddha kemudian memberikan uraian tentang cara bagaimana orang dapat menyingkirkan kemelekatan.
“Tubuh ini, Aggivesana, terdiri atas empat unsur pokok (Mahabhutarupa), yaitu tanah, air, hawa udara, dan api. Ia berasal dari ayah dan ibu, dibesarkan dengan makanan nasi dan sayur-sayuran, selalu memerlukan wangi-wangian dan sabun untuk menutupi bau yang menyerang keluar, dan selalu harus dibersihkan dan digosok (untuk membersihkan kotoran yang melekat di kulit).”
Ia ditakdirkan untuk lapuk dan membusuk. Kamu harus melihatnya sebagai sesuatu yang tidak kekal, penderitaan, sulit untuk dipertahankan, kamu harus melihatnya sebagai penyakit, sebagai bisul yang terkena anak panah dan menimbulkan kepedihan dan kesakitan, kamu harus melihatnya sebagai tanpa aku. Kalau melihat semua ini dengan terang, kamu dapat melepaskan keinginan terhadap kesenangan-kesenangan indria.
“Selain dari itu, perasaan terdiri atas tiga jenis, yaitu yang menyenangkan, tidak menyenangkan, dan yang netral. Kalau perasaan menyenangkan timbul, maka perasaan tidak menyenangkan dan netral tidak bisa muncul.
Kalau perasaan tidak menyenangkan timbul, maka perasaan menyenangkan dan netral tidak bisa muncul. Kalau perasaan netral timbul, maka perasaan menyenangkan dan tidak menyenangkan tidak bisa muncul.
Itulah tiga jenis perasaan yang tidak kekal dan timbul oleh sesuatu sebab dan dilahirkan oleh sebab. Perasaan itu ditakdirkan untuk mati kembali, menyusut, menciut, dan hilang sama sekali.
Siswa Yang Ariya, yang mengetahui hakekat yang sebenarnya, merasa jemu terhadap perasaan yang menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral.
Karena jemu, ia akan melepaskan diri dari nafsu-nafsu keinginan.
Tanpa nafsu-nafsu keinginan, ia akan bebas dari kemelekatan.
Dalam batin yang bebas dari kemelekatan akan timbul pengetahuan bahwa batinnya sekarang benar-benar telah bebas. Siswa Yang Ariya itu tahu bahwa ini adalah kehidupannya yang terakhir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu apa pun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung. Bhikkhu yang demikian itu tidak mungkin akan bertengkar lagi mengenai sesuatu pandangan. Apa pun dalil keduniawian yang dikemukakan orang, ia dapat mengikutinya, tetapi ia tidak menganutnya dan juga tidak melekat kepada salah satu dalil.”
Selama itu Sariputta berdiri di sisi Sang Buddha dengan kipas di tangan dan mengipasi Sang Bhagava. Mendengar khotbah kepada Dighanakha ia berpikir, “Sang Bhagava menganjurkan untuk melepaskan ikatan kepada semua benda melalui Kebijaksanaan Tertinggi.”
Merenungkan arti yang terkandung dalam khotbah tersebut, batinnya terbebas dari semua kekotoran batin dengan jalan menyingkirkan kemelekatan.
Setelah khotbah selesai, Dighanakha memperoleh Mata Dhamma dan.terbebas dari keragu-raguan terhadap keampuhan dan keunggulan Dhamma. Ia memuji khotbah yang baru saja didengar dan menyatakan diri sebagai upasaka.
“Indah, sungguh indah Bhante. Dengan panjang lebar Bhante telah menguraikan Dhamma, menjelaskannya sebagai seorang yang telah menegakkan apa yang telah roboh, atau membuka apa yang tertutup, atau menunjukkan jalan kepada yang tersesat, atau menyalakan api sewaktu keadaan gelap gulita. Aku berlindung kepada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Semoga Sang Bhagava menerima aku sebagai upasaka yang berlindung kepada Sang Ti-Ratana untuk seumur hidup.”
Dengan cara-cara inilah Moggallana dan Sariputta memperoleh Penerangan Agung dan menjadi Arahat.
Sang Buddha sendiri pernah menerangkan di hadapan para bhikkhu dan bhikkhuni bahwa Sariputta adalah murid-Nya yang terpandai dalam kebijaksanaan dan Moggallana yang terpandai dalam kekuatan gaib.
Kalau Sang Buddha dinamakan Dhammaraja (Raja Dhamma) maka Sariputta diberi gelar Dhammasenapati (Jenderal Dhamma).
Pertemuan Besar Para Arahat
Ketika Sang Buddha berada di kota Rajagaha, seribu dua ratus lima puluh orang Arahat datang berkumpul.
Pertemuan para Arahat tersebut dinamakan Caturangasannipata atau Pertemuan Besar Yang Diberkahi dengan Empat Faktor, yaitu:
  1. Mereka berkumpul tanpa pemberitahuan terlebih dulu.
  2. Mereka semuanya Arahat dan memiliki 6 (enam) kekuatan gaib (abhiñña).
  3. Semuanya ditahbiskan dengan memakai ucapan “Ehi bhikkhu”.
  4. Waktu itu Sang Buddha mengucapkan Ovadda Patimokkha.
Tempat mereka berkumpul adalah di Veluvanarama (hutan pohon bambu) dan waktu itu tengah hari pada saat purnama sidhi di bulan Magha.
Ovada Patimokkha yang diucapkan Sang Buddha adalah sebagai berikut (Dhammapada 183;5) :
“Sabba papassa akaranam,
Kusalassa upasampada,
Sacittapariyo dapanam,
Etam Buddhana sasanam.
Khanti paramam tapo titikkha,
Nibbanam paramam vadanti Buddha,
Na hi pabbajjito parupaghati,
Samano hoti param vihethayanto.
Anupavado, anupaghato,
Patimokkhe ca samvaro,
Mattaññuta ca bhattasmim,
Pantham ca sayanasanam,
Adhicitte ca ayogo,
Etam Budhana sasanam. “
Artinya:
“Janganlah berbuat kejahatan,
Perbanyaklah perbuatan baik,
Sucikan hati dan pikiranmu,
Itulah ajaran semua Buddha.
Kesabaran adalah cara bertapa yang paling baik,
Sang Buddha bersabda; Nibbanalah yang tertinggi dari semuanya,
Beliau bukan pertapa yang menindas orang lain,
Beliau bukan pula pertapa yang menyebabkan kesusahan orang lain.
Tidak menghina, tidak melukai,
Mengendalikan diri sesuai dengan tata tertib,
Makanlah secukupnya,
Hidup dengan menyepi,
Dan senantiasa berpikir luhur,
Itulah ajaran semua Buddha.”

Peristiwa yang bersejarah ini hingga kini masih tetap dirayakan sebagai Magha-Puja, terutama oleh para bhikkhu di Muangthai / Thailand.

Kembali Ke Kapilavatthu
Setelah Raja Suddhodana menerima berita bahwa Sang Buddha berada di Rajagaha, ibukota negara Magadha, maka Beliau mengirim berturut-turut sembilan orang utusan untuk mengundang Sang Buddha pulang ke Kapilavatthu. Namun utusan-utusan tersebut ‘lupa’ untuk menyampaikan undangan dari Raja Suddhodana, setelah mereka mendengarkan khotbah Sang Buddha dan mencapai tingkat Arahat.
Akhirnya Raja Suddhodana mengutus Kaludayi untuk mengundang Sang Buddha. Kaludayi adalah kawan bermain Pangeran Siddhattha waktu kecil dan lahir pada hari, bulan, dan tahun yang sama. Kaludayi berangkat menuju Rajagaha. Waktu mendengar Sang Buddha memberikan khotbah, Kaludayi pun mencapai tingkat Arahat. Ia mohon untuk diterima sebagai bhikkhu dan Sang Buddha mentahbiskannya dengan memakai kalimat “ehi bhikkhu”. Kemudian Kaludayi menyampaikan undangan Raja Suddhodana kepada Sang Buddha untuk berkunjung ke Kapilavatthu. Sang Buddha menerima baik undangan tersebut dan setelah Kaludayi berdiam tujuh hari di Rajagaha, berangkatlah Sang Bhagava beserta rombongan dua puluh ribu bhikkhu menuju Kapilavatthu. Perjalanan yang jauhnya enam puluh Yojana (1 Yojana = 16 Km) ditempuh dalam waktu enam puluh hari, yaitu tiap hari ditempuh satu Yojana.
Berita dengan cepat sampai kepada Raja Suddhodana bahwa Sang Buddha dan rombongan sedang menuju ke Kapilavatthu. Beliau memerintahkan agar disiapkan tempat untuk rombongan yang akan tiba. Tempat itu terletak di luar kota dan dikenal dengan nama Nigrodharama (hutan pohon beringin).
Waktu rombongan tiba, Raja Suddhodana berikut pengiring dengan disertai penduduk Kapilavatthu, berduyun-duyun datang ke Nigrodharama.
Mengenai peristiwa penting dan menarik ini, yaitu bertemunya kembali Raja Suddhodana dengan anaknya dapat dituturkan sebagai berikut (Mhvu. III, 114-121).
Waktu rombongan mendekati Nigrodharama, Sang Buddha merenung, “Bangsa Sakya terkenal sebagai bangsa yang tinggi hati. Kalau Aku menyambut mereka dengan tetap duduk di tempat duduk-Ku, mereka mungkin akan mencela sikap-Ku dan mengatakan, ‘Sungguh keterlaluan yang dilakukan Pangeran yang telah meninggalkan tahta, menjadi pertapa dan sekarang telah memperoleh Penerangan Agung dan mengaku sebagai Raja Dhamma, Ia duduk saja dan tidak berdiri untuk menyambut kedatangan ayah-Nya yang sudah tua dan sangat dihormati oleh seluruh rakyat Sakya.’ Tetapi tidak ada makhluk atau kelompok makhluk yang kepalanya tidak dibelah tujuh, kalau sekiranya Sang Tathagata bangun untuk menghormatnya. Lebih baik Aku terbang setinggi orang dewasa dan berjalan-jalan di udara.”
Kemudian Sang Buddha terbang ke udara dan berjalan-jalan setinggi orang dewasa. Dari kejauhan, Raja dapat melihat anaknya sedang berjalan-jalan di udara dan merasa sangat kagum. Tiba di pinggir hutan Nigrodharama, Raja turun dari keretanya dan bersama-sama dengan pengiringnya berjalan kaki menuju ke tempat tinggal Sang Buddha. Sang Buddha yang sedang berjalan-jalan di udara setinggi orang dewasa naik lebih tinggi sedikit dan berdiri setinggi pohon palem, sehingga dapat dilihat oleh segenap yang hadir.
Pada waktu itulah Sang Buddha mempertontonkan kekuatan gaib-Nya yang hanya dapat dilakukan oleh seorang Buddha, yaitu Yamakapatihariya atau Mukjizat Ganda. Api berkobar-kobar di badan sebelah atas dan air dingin melalui lima ratus pancaran turun dari badan sebelah bawah. Setelah itu air memancar dari sebelah atas badan dan api berkobar-kobar dari badan sebelah bawah.
Yang hadir bersorak-sorak gembira melihat kemukjizatan tersebut. Waktu itu hadir juga Yasodhara yang menuntun Mahapajapati. Mahapajapati matanya buta karena sedih dan terlalu banyak menangis sewaktu Pangeran Siddhattha meninggalkan istana dan pergi bertapa di hutan Uruvela.
Mahapajapati mendengar hadirin bersorak-sorak, tetapi karena tidak dapat melihat, maka semua peristiwa yang terjadi harus diceritakan oleh Yasodhara. Yasodhara merasa terharu sekali melihat keadaan Mahapajapati. Dengan penuh kesujudan, Yasodhara menampung dengan kedua tangannya air yang keluar dari badan Sang Buddha sewaktu melakukan Mukjizat Ganda. Dengan air itu Yasodhara membasahi dan mencuci mata Mahapajapati berulang kali disertai doa semoga air itu dapat mengembalikan penglihatan Mahapajapati.
Satu mukjizat telah terjadi. Sedikit demi sedikit Mahapajapati dapat melihat kembali sehingga penglihatannya pulih seluruhnya. Sekarang Mahapajapati dapat menyaksikan sendiri peristiwa yang membuat para hadirin bersorak-sorak, sehingga membuat hatinya gembira sekali.
Setelah melakukan Mukjizat Ganda, Sang Buddha kemudian menghilang. Tiba-tiba di udara muncul seekor banteng besar dengan tengkuk yang bergetar-getar lari dari arah Timur dan lenyap disebelah Barat, kemudian lari dari arah Barat dan lenyap di sebelah Timur.
Kemudian muncul lagi dan lari dari arah Utara dan lenyap di sebelah Selatan, selanjutnya lari dari sebelah Selatan dan lenyap di sebelah Utara.
Setelah pemandangan yang di atas lenyap sama sekali, kemudian Sang Buddha terlihat duduk dengan tenang di tempat duduk-Nya.
Hilang sudah keragu-raguan dan sekarang semua hadirin yakin bahwa Pangeran Siddhattha sesungguhnya telah menjadi Buddha.
Kemudian mereka semua berlutut memberi hormat kepada Sang Buddha. Dengan kedua tangan dirangkapkan di depan dada, Raja Suddhodana menghampiri anaknya dan berkata, “Ini adalah untuk ketiga kalinya aku menundukkan kepalaku di bawah kakimu, oh Yang Maha Tahu, pertama kali waktu seorang pertapa meramalkan bahwa anakku kelak akan menjadi Buddha, kedua kali waktu aku lihat anakku bermeditasi di bawah Pohon jambu dan ini untuk yang ketiga kalinya.
Kemudian menuruti bisikan hatinya, Raja Suddhodana menanyakan apakah sekarang Sang Buddha baik-baik saja. “Dulu anakku selalu memakai sandal terbuat dari kain wol halus yang berjalan di atas permadani yang empuk dan dipayungi dengan payung putih. Tetapi sekarang kaki anakku yang halus dan berwarna tembaga serta penuh garis-garis ajaib itu harus berjalan di atas rumput kasar, duri, dan batu kerikil. Apakah kaki anakku tidak pernah merasa sakit?”
Sang Buddha menjawab,
“Aku adalah Sang Penakluk, Yang Maha Tahu, tak ternoda oleh kekotoran-kekotoran batin di dunia ini. Aku telah melepaskan diri dari semua benda dan telah terbebas dengan musnahnya nafsu-nafsu keinginan. Orang seperti Aku tak dapat lagi diganggu oleh perasaan enak dan tidak enak.”
Raja Suddhodana berkata,
“Dulu para pelayan tiap hari memandikan dan menggosok-gosok badan anakku dengan minyak kayu cendana yang baunya harum semerbak. Tetapi sekarang anakku mengembara di waktu malam yang dingin dari satu hutan ke hutan yang lain. Sekarang siapakah yang memandikan anakku dengan air bersih dan menyegarkan apabila anakku merasa lelah?”
Sang Buddha menjawab,
“Oh, Baginda, murni adalah arus air yang datang dari pantai kebajikan yang tak ternoda dan dipujikan oleh para bijaksana. Dengan mandi dan menyelam dalam air dewata itulah Aku telah tiba di pantai seberang.
Raja Suddhodana berkata,
“Sewaktu anakku masih memakai kain buatan Benares dan memakai baju bersih yang berbau wangi bunga teratai dan cempaka, anakku adalah orang yang paling bercahaya di antara orang-orang dari suku Sakya, sebagaimana dewa Sakka yang paling bercahaya di antara dewa-dewa di langit. Tetapi sekarang anakku memakai pakaian dari kain kasar yang terbuat dari serat kayu merah. Sungguh aneh anakku berbuat seperti ini.”
Sang Buddha menjawab,
“Para Penakluk, oh Baginda, tidak menghiraukan pakaian, tempat tidur atau makanan, dan juga para Penakluk tidak menghiraukan apakah yang diterimanya menyenangkan atau tidak menyenangkan.”
Raja Suddhodana berkata,
“Dulu, kereta yang mahal dan bergemerlapan dengan emas dan tembaga selalu tersedia untuk dipakai dan kemana pun anakku pergi selalu ikut serta sebuah payung putih, sebuah pusaka, sebatang pedang, dan sebuah lambang kerajaan. Lagipula Kanthaka, kuda yang terkenal paling bagus dan paling cepat di seluruh negeri selalu menyertai anakku. Meskipun hingga kini masih tersedia kereta, kereta perang, kuda dan gajah, namun anakku lebih senang berjalan kaki dari satu kerajaan ke kerajaan lain. Coba katakan, apakah anakku tidak lelah?”
Sang Buddha menjawab,
“Kekuatan gaib adalah kereta-Ku. Ketetapan hati, kebijaksanaan dan pikiran yang terpusat adalah sais-Ku. Padhana yang terdiri atas Sanvara (pengekangan diri dari nafsu-nafsu), Pahana (melenyapkan kekotoran batin), Bhavana. (melaksanakan meditasi) dan Anurakkhana (menjaga watak sendiri) adalah kuda-kuda-Ku. Seorang diri Aku mengembara ke tempat-tempat yang jauh.”
Raja Suddhodana berkata,
“Dulu anakku makan dari piring perak dan minum dari mangkuk emas. Selalu tersedia makanan yang lezat-lezat dengan bumbu yang terpilih, sebagaimana layaknya disajikan kepada seorang raja. Tetapi sekarang anakku dengan tanpa perasaan muak, makan hidangan asin atau tidak asin, kasar atau lembut, dengan bumbu atau tanpa bumbu. Sungguh aneh anakku berbuat hal seperti itu.”
Sang Buddha menjawab,
“Seperti juga Buddha-Buddha dari zaman dulu dan Buddha-Buddha di zaman yang akan datang, maka Aku, Sang Tathagata, makan yang lembut dan kasar, yang pakai bumbu atau yang tidak pakai bumbu dengan pikiran yang terkendali guna kepentingan dunia ini.”
Raja Suddhodana berkata,
“Dulu, anakku tidur di dipan tinggi yang dilapisi kulit kambing hutan dengan bantal yang empuk dilapisi sutra halus. Kaki dipan terbuat dari emas dan dibalut dengan untaian bunga yang harum semerbak, sedang lantai ditutup dengan permadani yang terbuat dari bahan wol dan kapas. Sekarang anakku memakai rumput dan daun-daunan sebagai kasur dan tidur di atas tanah yang kasar dan berbatu. Dan rupanya anakku menyukainya. Apakah tubuh Yang Maha Bijaksana tidak merasa sakit?”
Sang Buddha menjawab,
“Oh, Baginda, orang seperti Aku tidak akan tidur dengan tidak nyenyak. Semua duka cita dan kesedihan telah Kutinggalkan. Dengan terbebas dari duka cita dan kesedihan, Aku selalu menjaga batin-Ku agar selalu berbelas-kasih kepada semua makhluk.”
Raja Suddhodana berkata,
“Dulu, anakku tinggal di istana yang kamarnya (di lantai atas) menyerupai tempat kediaman para dewa dan diterangi oleh sekumpulan kunang-kunang, dengan dilengkapi jendela putar yang serasi, dimana pelayan wanita yang memakai perhiasan dan kalungan bunga menunggu dengan sabar kata-kata yang akan keluar dari mulut Tuannya.”
Sang Buddha menjawab,
“Sekarang, oh Baginda, di tempat ini pun yang dihuni oleh manusia terdapat para Brahma dan Dewa Agung yang senantiasa mengikuti petunjuk-petunjuk-Ku dan lagi pula Aku dapat pergi kemana pun yang Kukehendaki.”
Raja Suddhodana berkata,
“Dulu, diiringi musik yang merdu, para penyanyi selalu menyanyikan lagu-lagu yang anakku senangi. Dan anakku adalah orang yang bercahaya di antara orang-orang dari suku Sakya, sebagaimana Dewa Sakka yang paling bercahaya di antara dewa-dewa di langit.”
Sang Buddha menjawab,
“Aku sekarang menyanyikan lagu dengan khotbah dan pembabaran Dhamma dan terbebas karena memperoleh Kebijaksanaan Tertinggi. Aku sekarang bercahaya di antara bhikkhu-bhikkhu seperti Brahma di antara dewa-dewa di langit.”
Raja Suddhodana berkata,
“Dulu, oh Yang Maha Kuat, di istana, kamar anakku yang menyerupai tempat kediaman para dewa, selalu dijaga oleh pengawal bersenjata yang mahir menggunakan pedang. Tetapi sekarang, di hutan anakku seorang diri berada di tengah-tengah teriakan burung hantu dan jeritan anjing-anjing hutan, dimana pada malam hari binatang buas berkeliaran mencari mangsa. Apakah anakku tidak takut? Coba terangkan hal ini kepadaku.”
Sang Buddha menjawab,
“Meskipun semua gerombolan Yakka datang bersama gajah-gajah liar yang mengarungi hutan belantara, tetapi makhluk-makhluk itu tidak akan mengganggu walaupun selembar rambut-Ku karena Aku telah menyingkirkan semua perasaan takut. Justru karena tanpa perasaan takut itulah Aku menang dan berhasil keluar dari lingkaran tumimbal lahir.
Seorang diri Aku berkelana, seorang pertapa yang selalu waspada dan tidak tergoyahkan oleh celaan atau pujian, seperti seekor singa tidak takut kepada suara, seperti angin tidak dapat dijerat oleh jala.
Karena itu, oh Baginda, bagaimana Anda dapat katakan bahwa Sang Penakluk, Pemimpin yang tidak dipimpin oleh siapa pun, dapat merasa takut?”
Raja Suddhodana kembali bertanya,
“Sebenarnya seluruh dunia bisa menjadi tanah milikmu dan seribu orang anak dapat pula menjadi milikmu, kalau saja anakku tidak melepaskan tujuh rupa pusaka (lambang seorang Raja) dan menjadi seorang pertapa.”
Sang Buddha menjawab,
“Sekarang pun seluruh dunia masih tetap menjadi milik-Ku dan Aku tetap masih memiliki ribuan orang anak. Lagipula sekarang Aku memiliki Delapan Mustika yang tidak ada bandingannya di dunia ini.”
Selesai percakapan ini, Raja Suddhodana memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna.
Karena tidak mendapat undangan makan di istana, maka keesokan harinya Sang Buddha bersama-sama dengan pengikutNya memasuki kota Kapilavatthu untuk mengumpulkan makanan. Penduduk kota Kapilavatthu menjadi heboh sekali. Memang sering mereka lihat seorang pertapa atau Brahmana berjalan berkeliling mengumpulkan makanan dari penduduk, tetapi baru sekarang ini mereka menyaksikan seorang dari kasta Khattiya, putra dari seorang Raja yang masih memerintah, berjalan keliling mengumpulkan makanan.
Hal ini segera diberitahukan kepada Raja Suddhodana dan Raja menjadi terkejut dan malu sekali. Dengan tergesa-gesa Raja keluar dari istana dan pergi menemui Sang Buddha.
Raja Suddhodana kemudian menegur,
“Mengapakah anakku melakukan perbuatan yang sangat memalukan ini? Mengapa anakku tidak datang saja ke istana untuk mengambil makanan? Apakah pantas seorang putra Raja minta-minta makanan di kota, tempat dulu ia sering mondar-mandir dengan menggunakan kereta emas? Mengapa anakku membuat malu ayah seperti ini?”
“Aku tidak membuat ayah malu, oh Baginda. Hal ini memang sudah menjadi kebiasaan kami.” jawab Sang Buddha dengan tenang.
“Apa? kebiasaan kita? Bagaimana mungkin?! Tidak pernah seorang anggota keluarga kita minta-minta makanan seperti ini. Dan anakku mengatakan bahwa ini sudah menjadi kebiasaan kita?”
“Oh, Baginda, memang ini bukan merupakann kebiasaan seorang anggota keluarga kerajaan, tetapi ini adalah kebiasaan para Buddha. Semua Buddha di zaman dulu hidup dengan jalan mengumpulkan makanan dari para penduduk.”
Setelah Raja Suddhodana tetap mendesak agar Sang Buddha beserta pengikut-Nya mengambil makanana di istana, maka pergilah Sang Buddha beserta rombongan menuju ke istana

Putri Yasodhara
Setelah Sang Buddha beserta rombongan selesai makan tengah hari, berduyun-duyun orang, yang dulu pernah mengenal Pangeran Siddhattha, datang menemuinya untuk sekedar berbincang-bincang dan memberi hormat. Mereka semua merasa gembira sekali dapat bertemu lagi dengan Sang Pangeran yang dicintai dan kagum melihat Sang Pangeran, yang sekarang sudah menjadi Buddha, dihormat, dicintai, dan dipuja oleh demikian banyak orang.
Tetapi Yasodhara berada di kamarnya dan berpikir. “Pangeran Siddhattha sekarang sudah mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha. Beliau sekarang termasuk golongar Buddha. Apakah pantas bila aku datang menemuinya? Beliau pasti tidak dan juga tidak mungkin membutuhkanku lagi. Karena itu, apakah pantas kalau aku sekarang datang menemuinya? Ak. rasa, lebih baik aku tunggu saja dan lihat apa yang akan terjadi Kalau Beliau datang menemuiku, aku akan memberi Beliau penghormatan yang layak.”
Setelah berbicara dengan para pengunjung-Nya untuk beberapa waktu lamanya, Sang Buddha bertanya, “Di manakah Yasodhara?”
Raja Suddhodana menjawab, “Oh, Yasodhara ada di kamarnya. “
“Kalau begitu, marilah kita pergi menjenguknya.” kata Sang Buddha.
Sang Buddha menyerahkan mangkuk-Nya kepada Raja Suddhodana dan berjalan di muka menuju kamar Putri Yasodhara. kiu tiba di depan kamar, Sang Buddha berpesan kepada ayahNya. “Biarkan saja Yasodhara memberi hormat kepada-Ku sebagaimana yang dikehendaki. Jangan berkata apa-apa atau melarangnya. “
Waktu Putri Yasodhara diberi kabar tentang kedatangan Sang Buddha, Putri segera memerintahkan semua pelayannya memakai baju kuning untuk memberi hormat selamat datang kepada Sang Buddha.
Setelah Sang Buddha memasuki kamar, dengan cepat Putri Yasodhara menyambutnya sambil berlutut dan memegang kaki Sang Buddha. Kemudian Putri Yasodhara melepaskan rasa rindunya dengan meletakkan kepalanya di atas kaki Sang Buddha dan menangis tersedu-sedu sehingga kaki Sang Buddha basah dengan air mata.
Sang Buddha berdiri diam saja dan dengan batin yang waspada memancarkan gaya-gaya kasih sayang dan belas kasih kepada Putri yang sedang menangis memegangi kaki-Nya. Setelah lewat beberapa waktu, Putri yang sedang menangis, membersihkan kaki Sang Buddha yang basah dengan air mata untuk kemudian dengan hormat mempersilakan Sang Buddha dan Raja Suddhodana mengambil tempat duduk masing-masing yang sudah disediakan. Setelah Putri sendiri juga mengambil tempat duduk, Raja Suddhodana berkata kepada Sang Buddha,
“Yang Maha Bijaksana, waktu Putri mendengar bahwa anakku memakai jubah kuning, Putri pun memakai baju kuning, waktu mendengar bahwa anakku makan hanya satu kali sehari, Putri pun makan hanya satu kali sehari, waktu mendengar bahwa anakku tidak tidur di dipan yang tinggi dan mewah, Putri pun tidur di atas dipan yang rendah dan sederhana, waktu Putri mendengar bahwa anakku tidak lagi memakai untaian bunga dan wewangian, Putri pun tidak lagi memakainya, waktu keluarganya mengirim pesan bahwa mereka bersedia menanggung semua keperluan hidupnya, Putri tidak menggubrisnya sama sekali. Sungguh bajik menantuku Yasodhara ini.”
Sang Buddha menjawab,
“Bukan di kehidupan ini saja, oh Baginda, juga dalam kehidupan-kehidupan yang lampau Yasodhara selalu melindungi, berbakti, dan setia kepada-Ku.”
Kemudian Sang Buddha menceritakan Candakinnara Jataka, yaitu kisah tentang kehidupan-Nya yang lampau bersama-sama Yasodhara, seperti di bawah ini:
“Dalam salah satu kehidupan yang lampau, Sang Bodhisatta dilahirkan sebagai seekor Kinnara (burung dengan kepala manusia) bernama Canda, yang hidup di Gunung Himava dengan istrinya yang bernama Canda.
Pada suatu hari mereka sedang bersuka ria di dekat sungai kecil dengan bernyanyi-nyanyi dan menari-nari. Pada waktu itu Raja Benares sedang berburu di hutan dan melihat Canda sedang bernyanyi dan menari. Seketika itu Raja jatuh cinta kepadanya. Raja memanah Canda dan matilah Canda. Istrinya, Canda, memeluk mayat suaminya dan menangis tersedu-sedu. Raja Benares datang menghibur dengan mengatakan, “Engkau tak usah bersedih atas kematian suamimu. Aku mempersembahkan segenap cintaku dan seluruh isi kerajaanku, apabila engkau bersedia menjadi permaisuriku.“
Canda tidak menghiraukan hiburan Raja Benares dan terus meratap dan menangis sambil memprotes kepada para Dewata Agung yang membiarkan suaminya mati dibunuh orang.
Demikian keras protes Canda, sehingga menggerakkan hati Raja Dewa Sakka. Dengan menyamar sebagai seorang Brahmana, Dewa Sakka turun ke dunia dan menghidupkan kembali Canda. Canda ialah yang sekarang dilahirkan sebagai Pangeran Siddhattha dan Canda ialah Putri Yasodhara.
Hari itu Raja Suddhodana mencapai tingkat kesucian Sakadagami dan Putri Pajapati menjadi seorang Sotapanna.
Di buku-buku suci Ti Pitaka (lihat D.P.N hal 741), Yasodhara sewaktu-waktu disebut sebagai Rahulamata, Bhaddakaccana, Bimbadevi, Bimbasundari, dan Bimba.
Agama Buddha aliran Utara lebih menyukai nama Yasodhara, tetapi sering juga menyebutnya sebagai Bimba, Bhaddakacca dan Subhaddaka, dan dianggap sebagai Putri dari Dandapani.

Pangeran Nanda
Pangeran Nanda adalah seorang saudara tiri Pangeran Siddhattha, yaitu anak dari Putri Pajapati, adik dari Ratu Maya. Karena Pangeran Siddhattha, putra mahkota dari Kerajaan Sakya, telah menjadi seorang pertapa, maka Raja Suddhodana ingin menobatkan Pangeran Nanda yang berumur 35 tahun, sebagai putra mahkota menggantikan kedudukan Pangeran Siddhattha. Pada waktu yang sama, Raja Suddhodana ingin pula menikahkan Pangeran Nanda dengan Putri Janapada Kalyani dan memberikan sebuah istana untuk tempat tinggal kedua mempelai.
Pada hari ketiga Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu, Raja Suddhodana mengundang Sang Buddha untuk menghadiri upacara yang penting tersebut dan memberkahi kedua mempelai.
Sang Buddha datang di tempat upacara, makan hidangan yang telah disediakan, memberi berkah kepada semua orang yang hadir dan kemudian pamitan pulang setelah memberi mangkuk-Nya kepada Pangeran Nanda.
Sang Buddha berjalan ke luar istana dengan diikuti Pangeran Nanda yang membawa mangkuk Sang Buddha. Pangeran Nanda berpikir, “Sang Bhagava akan mengambil kembali mangkuk-Nya di pintu istana.” Tetapi Sang Buddha terus berjalan ke luar. Kemudian Pangeran Nanda berpikir, “Sang Buddha akan mengambil kembali mangkuk-Nya di pintu pagar istana.”
Mempelai wanita, Putri Janapada Kalyani, melihat suaminya mengikuti Sang Buddha dan berpikir, “Suami saya mungkin pergi ke vihara dan akan pamitan setelah tiba di sana.” Karena itu Putri berpesan, “Kekasihku, jangan pergi terlalu lama, cepat-cepatlah pulang.”
Tiba di vihara, Pangeran Nanda mengembalikan mangkuk kepada Sang Buddha. Sang Buddha kemudian bertanya, “Nanda, apakah engkau mau menjadi bhikkhu?” Pangeran Nanda menjawab, “Mau, Bhante.” Sang Buddha kemudian mentahbiskannya menjadi bhikkhu.
Setelah ditahbiskan, Nanda merasa menyesal dan menderita sekali karena terus memikirkan istrinya yang cantik. Hal ini dilihat oleh bhikkhu lain yang kemudian menegurnya, “Mengapakah Anda kelihatannya begitu sedih?”
“Saudara, aku sebenarnya menyesal. Aku tidak menyukai kehidupan sebagai bhikkhu. Aku ingin melepaskan jubah dan pulang ke istana.” jawab Nanda. Bhikkhu ini kemudian pergi melaporkan peristiwa tersebut kepada Sang Buddha. Sang Buddha memanggil Nanda dan dengan kekuatan gaib, Beliau menciptakan seekor monyet betina dan beberapa bidadari dan bertanya, “Nanda, coba katakan, manakah yang lebih cantik, istrimu atau monyet betina itu?”
“Bhante, Janapada Kalyani dapat diumpamakan sebagai monyet betina kalau dibandingkan dengan para bidadari.”
“Bergembiralah, Nanda. Aku jamin bahwa engkau akan memiliki bidadari tersebut, bila saja engkau mau bekerja keras.”
“Kalau begitu, dengan segala senang hati aku ingin terus menjadi bhikkhu.” jawab Nanda.
Ia kemudian dengan tekun mengikuti semua petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Sang Buddha dan dalam waktu singkat mencapai tingkat kesucian yang tertinggi dan tidak lagi mempunyai keinginan untuk kembali ke istana.

Pangeran Rahula
Pada hari ketujuh Sang Buddha di Kapilavatthu, Putri Yasodhara mendandani Pangeran Rahula dengan pakaian yang bagus dan mengajaknya ke sebuah jendela. Dari jendela itu mereka dapat melihat Sang Buddha sedang makan siang. Putri Yasodhara kemudian bertanya kepada Rahula, “Anakku sayang, tahukah engkau siapa orang itu?”
“Beliau adalah Buddha, Ibu.” jawab Rahula.
Yasodhara tak dapat lagi menahan air matanya yang menitik keluar dan berkata,
“Sayang, pertapa yang kulitnya kuning emas itu dan kelihatannya sebagai Brahma dikelilingi oleh ribuan murid-Nya adalah ayahmu. Beliau punya banyak harta pusaka. Setelah ayahmu meninggalkan istana, tidak lagi diketahui apa yang terjadi dengan harta tersebut. Pergilah kepadanya dan mintalah hadiah sambil berkata, “Ayah, aku adalah Pangeran Rahula. Kalau aku kelak menjadi Raja, aku akan menjadi raja-di-raja. Aku mohon diberi harta pusaka, karena seorang anak adalah pewaris dari apa yang menjadi milik ayahnya.”
Pangeran Rahula yang masih murni dan belum tahu apa-apa pergi mendekati Sang Buddha dan sambil memegang jari tangan Sang Buddha dan menatap muka-Nya, Rahula mengatakan apa yang tadi dipesankan oleh ibunya. Kemudian ia menambahkan, “Ayah, bahkan bayangan Ayah membuat hatiku senang.”
Selesai makan siang, Sang Buddha meninggalkan istana dan Rahula mengikuti sambil terus merengek-rengek, “Ayah, berikanlah aku harta pusaka, aku kelak akan menjadi raja, aku ingin memiliki harta pusaka, Ayah banyak memiliki harta, Ayah, aku mohon dengan sangat, berikanlah kepadaku warisan.”
Tidak ada orang yang mencoba menghalang-halangi dan Sang Buddha sendiri juga membiarkan saja Rahula merengek-rengek sambil terus mengikuti jalan di samping-Nya. Tiba di taman, Sang Buddha berpikir,
“Rahula minta warisan harta pusaka ayahnya, tetapi semua harta dunia penuh dengan penderitaan. Lebih baik Aku memberinya warisan yang berupa Tujuh Faktor Penerangan Agung yang Aku peroleh di bawah pohon Bodhi. Dengan demikian ia akan mewarisi harta pusaka yang paling mulia.”
Tiba di vihara, Sang Buddha minta kepada Sariputta untuk mentahbiskan Rahula menjadi Samanera.
Mendengar berita bahwa Rahula telah ditahbiskan menjadi samanera, Raja Suddhodana menjadi sedih sekali.
Raja lalu pergi menemui Sang Buddha dan dengan sopan menegur dengan kata-kata,
“Waktu dulu anakku meninggalkan istana membuat aku sedih, sedih dan sakit sekali. Waktu Nanda meninggalkan istana hatiku menjadi hancur dan menderita sekali.
Kemudian aku mencurahkan cinta dan perhatianku kepada cucuku Rahula dan mencintai melebihi cintaku kepada siapa pun juga. Sekarang Rahula dibawa kemari dan ditahbiskan menjadi samanera. Aku sangat menyesal dan tidak senang akan apa yang telah terjadi. Aku mohon dengan sangat agar mulai hari ini tidak lagi ada seorang bhikkhu atau samanera yang ditahbiskan tanpa izin dari orang tuanya.”
Sang Buddha menyetujui permohonan Raja Suddhodana dan mulai hari itu tidak mentahbiskan bhikkhu atau samanera tanpa terlebih dulu mendapat izin dari orang tuanya.
Keesokan harinya, setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, Raja Suddhodana mencapai tingkat kesucian Anagami.

Ananda
Setelah Sang Buddha beberapa lama diam di Kapilavatthu, 80.000 orang telah ditahbiskan menjadi bhikkhu, yaitu satu orang dari setiap keluarga. Kemudian Sang Buddha dengan rombongan berangkat ke Rajagaha.
Sewaktu dalam perjalanan, Sang Buddha berhenti di hutan mangga Anupiya dan di tempat itu Beliau dikunjungi oleh Anuruddha, Bhaddiya, Ananda, Bhagu, Kimbila, Devadatta, dan tukang pangkas rambut mereka yang bernama Upali.
Dikisahkan bahwa lima orang dari mereka dalam waktu singkat mencapai tingkat kesucian Arahat, Ananda mencapai tingkat kesucian Sotapanna dan Devadatta tidak mencapai tingkat kesucian, tetapi memperoleh kekuatan gaib yang luar biasa dan yang tertinggi yang dapat dicapai seorang manusia.
Ananda dilahirkan pada hari, bulan, dan tahun yang sama dengan Sang Buddha dan terkenal sekali karena sumbangannya untuk kemajuan dan perkembangan Buddha Dhamma.
Selama 20 tahun setelah mencapai Penerangan Agung, Sang Buddha belum mempunyai seorang pembantu tetap.
Setiap hari secara bergantian bhikkhu Nagasamala, Nagita, Upavana, Sunakkhata, Sagata, Radha, dan Meghiya, dan samanera Cunda membantu dan melayani Sang Bhagava (Buddha), meskipun tidak teratur.
Pada suatu hari dalam khotbah-Nya di Rajagaha, Sang Bhagava menyinggung tentang perlunya ditunjuk seorang pembantu tetap karena merasa usia-Nya yang sudah meningkat. Semua murid utama-Nya yang terdiri dari delapan puluh Arahat, seperti Sariputta dan Moggallana, menawarkan diri untuk menjadi pembantu tetap. Tetapi semuanya ditolak. Para Arahat kemudian menganjurkan Ananda, yang selama itu diam saja, untuk memohon kepada Sang Bhagava agar dapat diterima menjadi pembantu tetap. Jawaban Ananda dalam hal ini sungguh menarik sekali. Ananda mengatakan, “Kalau Sang Bhagava memang memerlukan Ananda sebagai pembantu tetap, Sang Bhagava boleh mengatakan-Nya.”
Kemudian Sang Buddha berkata, “Ananda, jangan membiarkan orang lain menganjurkan engkau untuk memohon pekerjaan tersebut. Atas kemauan sendiri engkau dapat menjadi pembantu tetap Sang Buddha.”
Baru setelah itulah Ananda menawarkan diri untuk menjadi pembantu tetap asal saja Sang Buddha berkenan meluluskan delapan permintaannya, yaitu untuk menolak empat hal dan meluluskan empat hal lainnya.
Empat hal yang Ananda mohon supaya ditolak adalah:
  1. Apabila Sang Buddha menerima pemberian jubah yang bagus, maka jubah itu tidak boleh diberikan kepada Ananda.
  2. Kalau Sang Buddha menerima hadiah, maka hadiah tersebut tidak boleh diberikan kepada Ananda.
  3. Bahwa Ananda tidak boleh diminta untuk tidur di kamar pribadi Sang Buddha yang harum baunya (Gandhakuti).
  4. Kalau Sang Buddha menerima undangan pribadi, maka undangan itu tidak termasuk untuk dirinya.
Ananda mengatakan kalau Sang Buddha melakukan satu dari empat hal yang tersebut di atas, maka orang akan bercerita bahwa Ananda menjadi pembantu tetap karena ingin mendapat jubah bagus, makanan enak, tempat tinggal yang menyenangkan dan agar bisa ikut serta kalau Sang Buddha mendapat undangan.
Empat hal yang Ananda mohon Sang Buddha menerimanya:
  1. Kalau Ananda menerima sebuah undangan atas nama Sang Buddha, maka Sang Buddha harus memenuhinya.
  2. Kalau ada orang datang dari tempat jauh, supaya ia boleh membawanya menghadap kepada Sang Buddha.
  3. Setiap waktu ia diperbolehkan untuk bertanya kepada Sang Buddha, apabila ia merasa ada sesuatu yang diragu-ragukan.
  4. Apa pun juga yang Sang Buddha khotbahkan sewaktu ia tidak hadir, supaya Sang Buddha bersedia mengulangnya kembali.
Kalau hal ini tidak diperkenankan, orang akan bertanya-tanya, apa sebenarnya faedah dari pengabdian tersebut hanya kalau delapan permohonan ini dikabulkan, ia akan mendapat kepercayaan khalayak ramai dan mereka tahu bahwa Sang Buddha mempunyai kepercayaan besar terhadap dirinya.
Setelah Sang Buddha setuju dan memberikan anugerah (Vara) berupa Delapan Hak Istimewa tersebut, maka mulai hari itu Ananda resmi menjadi Buddha-upatthaka (pembantu tetap Sang Buddha).
Selama 25 tahun lamanya Ananda melayani Sang Buddha, mengikuti-Nya sebagai sebuah bayangan, mengambilkan air, mencuci kaki-Nya, menemani ke manapun Sang Buddha pergi, membersihkan kamar-Nya dan hal-hal lain lagi.
Justru karena hubungan erat inilah, maka Ananda mempunyai kesempatan istimewa untuk mendengarkan semua khotbah Sang Buddha. Dibantu dengan ingatan kuat yang dimilikinya, maka Ananda dapat mengulang semua khotbah Sang Buddha. Karena itu Ananda juga dinamakan Bendahara Dhamma (Dhamma- bhandagarika).
Ananda mencapai tingkat Arahat tiga bulan setelah Sang Buddha mangkat, yaitu pada hari pembukaan Sidang Agung Pertama di Goa Sattapanni, kota Rajagaha yang diketuai oleh Maha Kassapa. Di sidang tersebut, Ananda mengulang khotbah-khotbah (Sutta) Sang Buddha, sedangkan Upali mengulang tata tertib (Vinaya) para bhikkhu dan bhikkhuni.
Patut pula dicatat sebagai jasa Ananda bahwa berkat sokongannya yang kuat, Putri Pajapati berhasil diterima menjadi bhikkhuni oleh Sang Buddha, yang menjadi permulaan berdirinya Sangha Bhikkhuni.
Dan Ananda jugalah, atas perintah Sang Buddha, merancang jubah bhikkhu dengan mengambil contoh sawah-sawah di Magadha.
Ananda meninggal dunia pada usia 120 tahun. Pada hari akan meninggal dunia, Ananda pergi ke tepi Sungai Rohini, yang menjadi perbatasan antara Kapilavatthu dan negara Koliya. Setelah memberikan khotbah kepada para keluarganya yang berkumpul di kedua tepi sungai, Ananda berjalan ke tengah Sungai Rohini dan di situlah dari tubuhnya keluar api yang membakar badan jasmaninya.
Keluarganya di kedua tepi sungai mengumpulkan abu sisa badan jasmaninya, dibagi dua dan kemudian mereka mendirikan dua buah stupa sebagai penghormatan kepada Ananda, satu di Kapilavatthu dan satu lagi di negara Koliya.
Seperti diketahui di halaman muka, Ananda adalah putra tunggal dari Pangeran Sukkodana, adik Raja Suddhodana.

Anathapindika
Anathapindika dilahirkan di Savatthi. Ayahnya seorang jutawan yang bernama Sumana. Nama sebenarnya adalah Sudatta, tetapi karena kedermawanannya dan selalu bersedia menolong orang yang melarat, maka ia diberi nama Anathapindika yang berarti “Pemberi makan orang yang melarat”. Istrinya bernama Punnalakkhana, kakak dari seorang jutawan di Rajagaha dan mempunyai seorang putra bernama Kala, serta tiga orang putri bernama Mahasubhadda, Culasubhadda, dan Sumana.
Pada suatu hari Sang Buddha tiba di hutan Sitavana dalam perjalanan dari Kapilavatthu ke Rajagaha. Di tempat inilah untuk pertama kali Anathapindika bertemu dengan Sang Buddha, waktu Anathapindika berkunjung ke Rajagaha untuk urusan dagang. Di rumah kakak iparnya di Rajagaha, ia melihat bahwa jutawan dari Rajagaha ini sedang sibuk mempersiapkan hidangan untuk Sang Buddha dan para pengikut-Nya. Demikian mewahnya hidangan yang sedang disiapkan, sehingga ia berpikir barangkali ada pesta pernikahan atau mungkin untuk menerima kedatangan seorang Raja. Setelah diberitahu bahwa semua hidangan itu disiapkan untuk menerima kedatangan Sang Buddha, maka timbul hasrat dalam dirinya untuk mengunjungi Sang Buddha.
Ia bermaksud untuk mengunjungi Sang Buddha pagi-pagi sekali keesokan harinya. Memikirkan kunjungan ini membuat Anathapindika demikian tegang, sehingga malam itu ia terbangun sampai tiga kali dari tidurnya. Waktu ia berangkat ke Sitavana, hari masih gelap. Ketika hendak melintasi tanah pekuburan, hatinya merasa takut sekali sehingga ia menggigil. Tetapi kepercayaannya terhadap Sang Buddha demikian kuat, sehingga dari tubuhnya keluar cahaya yang menerangi jalan yang harus dilaluinya. Lagipula seorang makhluk halus (yakkha) bernama Sivaka yang baik hati memberi ia semangat, sehingga akhirnya tibalah Anathapindika di Sitavana. Pada waktu itu Sang Buddha sedang jalan hilir mudik sambil menghirup udara pagi hari yang segar. Sang Buddha menyapanya dengan memanggil nama pribadinya. Kemudian Sang Buddha memberikan uraian Dhamma yang membuat Anathapindika menjadi seorang Sotapanna.
Waktu mau pamitan pulang, Anathapindika mengundang Sang Buddha untuk keesokan harinya makan siang di rumahnya.
Setiba di rumahnya, Anathapindika sibuk mempersiapkan sendiri semua kebutuhan untuk keesokan harinya dan menolak tawaran kakak iparnya dan Raja Bimbisara yang ingin membantunya. Selesai makan siang yang ia layani sendiri, Anathapindika mengundang Sang Buddha untuk ber-vassa (istirahat musim hujan) di Savatthi. Sang Buddha menerimanya dengan mengatakan, “Para Tathagata, oh kepala keluarga, menyukai tempat yang sunyi.”
“Saya mengerti, oh Bhagava, saya mengerti, Sugata.”jawab Anathapindika.
Setelah menyelesaikan urusan dagangnya di Rajagaha, Anathapindika pulang ke Savatthi. Sepanjang jalan dari Rajagaha ke Savatthi, ia meninggalkan pesan kepada sahabat-sahabat dan kenalan-kenalannya agar menyiapkan tempat tinggal, taman-taman, rumah-rumah untuk istirahat dan hadiah-hadiah dalam rangka menyambut kunjungan Sang Buddha ke Savatthi.
Mengetahui bahwa Sang Buddha menerima tawaran untuk ber-vassa di Savatthi, maka setibanya di Savatthi, Anathapindika mencari sebidang tanah yang luas dan sunyi untuk membuat tempat tinggal bagi Sang Buddha dan para pengikut-Nya. Ia ingat kepada taman Pangeran Jeta yang memenuhi syarat yang dikemukakan Sang Buddha. Ia menghubungi Pangeran Jeta dan mengutarakan maksudnya untuk membeli tanah tersebut bagi tempat tinggal Sang Buddha dan para pengikut-Nya. Tetapi Pangeran Jeta menjawab bahwa tamannya tidak dijual, meskipun Anathapindika sanggup membayar sepuluh juta uang emas. Karena Anathapindika terus mendesak, maka akhirnya ia setuju menjual tamannya asalkan saja Anathapindika sanggup menutupi taman tersebut dengan uang emas.
Dengan tidak pikir panjang, Anathapindika segera menyuruh pelayannya untuk mengeluarkan uang emas dari gudang hartanya dan menutupi taman dengan mata uang emas. Tetapi menjelang semua tanah akan tertutup dengan mata uang emas, tiba-tiba Pangeran Jeta datang dan minta agar sisa tanah yang belum tertutup uang emas dianggap sebagai sumbangan Pangeran Jeta kepada Sang Buddha. Setelah itu Anathapindika memerintahkan untuk membuat sebuah vihara yang besar dan megah dengan biaya yang besar sekali.
Dikisahkan bahwa Sang Buddha berada di vihara Jetavanarama tersebut selama sembilan belas vassa, khususnya pada waktu Beliau sudah berusia lanjut dan di vihara inilah Sang Buddha memberikan khotbah-Nya yang terbanyak.
Anathapindika dua kali sehari mengunjungi Sang Buddha dan sering membawa banyak sahabatnya. Kalau datang ia selalu membawa hadiah-hadiah untuk para bhikkhu muda dan samanera. Tetapi anehnya, ia sendiri tidak pernah menanyakan sesuatu karena khawatir membuat Sang Buddha lelah. Di pihak lain, Sang Buddha sendiri sering memberikan uraian Dhamma kepadanya.
Tiap hari Anathapindika memberi makan kepada seratus orang bhikkhu dan menyediakan juga makanan untuk para tamu, penduduk desa dan mereka yang kebetulan datang ke rumahnya. Lima ratus tempat duduk selalu siap di rumahnya untuk menerima siapa saja yang datang.
Seisi rumahnya berpegangan teguh kepada Panca-Sila dan pada hari-hari Uposatha (tanggal 1, 8, 14/15, 22/23 menurut penanggalan bulan) mereka berpuasa.
Pada suatu waktu, ketika Sang Buddha sedang berkeliling, Anathapindika merasa sedih sekali karena tidak ada sesuatu yang dapat dipujanya. Oleh karena itu bersama-sama penduduk Savatthi lain ia minta kepada Ananda untuk membuat tempat di mana mereka dapat memuja dan memuliakan nama Sang Buddha. Atas saran Sang Buddha, satu cangkokan dari pohon Bodhi di Gaya ditanam di dekat pintu masuk Jetavanarama. Karena penanaman pohon ini dihadiri oleh Ananda, maka kemudian dikenal sebagai Anandabodhi.
Karena kedermawanannya, Anathapindika diberi gelar “Pemimpin para Dayaka”. Dayaka berarti penyokong Sang Buddha. Ketiga putrinya juga semua turut membantu ayahnya mengurus segala kebutuhan para bhikkhu.
Putri pertama dan kedua telah mencapai tingkat kesucian Sotapanna, menikah dan kemudian mengikuti suaminya.
Putri yang ketiga memperoleh tingkat kesucian Sakadagami. Ia tidak menikah dan tinggal bersama-sama ayahnya.
Putranya semula tidak tertarik mendengarkan Dhamma, namun berkat dorongan ayahnya ia kemudian sering mendengarkan khotbah Sang Buddha dan mencapai tingkat kesucian Sotapanna.
Anathapindika meninggal dunia sebelum Sang Buddha mangkat. Waktu ia sakit keras, ia mengirim pesan khusus kepada Sariputta, dan Sariputta datang mengunjunginya bersama-sama Ananda. Pada waktu itu Sariputta memberikan uraian Dhamma dan selagi Anathapindika memusatkan pikirannya kepada perbuatan-perbuatannya yang baik dan mulia, seketika itu ia sembuh dari sakitnya. Ia bangkit dari tempat tidurnya dan menyuguhkan kedua Thera tersebut dengan makanan dari pancinya sendiri.
Tidak lama kemudian, ia meninggal dunia dengan tenang dan rertumimbal lahir di surga Tusita.
Reruntuhan dari Jetavanarama, di dekat Savatthi kini masih dapat dilihat di tempat yang bernama Sabet-mahet (Nepal Selatan).

Visakha
Visakha dilahirkan di kota Bhaddiya, negara Anga, yang terletak di sebelah Timur Magadha. Ayahnya bernama Dhanajaya, putra dari Mendaka, dan ibunya bernama Sumana. Waktu Visakha berusia tujuh tahun, Sang Buddha mengunjungi kota Bhaddiya. Waktu itu Mendaka minta Visakha mengunjungi Sang Buddha dan diberi lima ratus orang pengikut, lima ratus orang budak dengan memakai lima ratus kereta.
Tiba di tempat yang dituju, mereka mendengarkan khotbah Sang Buddha dan Visakha memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna. Visakha kemudian mengundang Sang Buddha beserta murid-Nya untuk makan siang keesokan harinya di rumah kakeknya.
Selama empat belas hari berikutnya, Mendaka menjamu Sang Buddha beserta rombongan di rumahnya.
Dikisahkan bahwa Raja Pasenadi dari negara Kosala ingin sekali mempunyai seorang yang banyak jasanya tinggal di kerajaannya. Beliau mengirim permohonan kepada Raja Bimbisara, yang waktu itu memerintah kerajaan Magadha dan Anga untuk mencarikan seorang yang banyak jasanya untuk tinggal di kerajaannya. Untuk memenuhi permohonan Raja Pasenadi, Raja Bimbisara lalu memilih Dhanajaya, ayah Visakha, untuk pindah ke Savatthi.
Dalam perjalanan menuju Savatthi, Dhanajaya berhenti di satu tempat yang berada tujuh “League” dari Savatthi (1 league = 4.800 atau 5.564 m).
Melihat bahwa tempat itu menyenangkan sekali, ia mohon kepada Raja Pasenadi untuk membuat tempat tinggal di tempat tersebut. Permohonan itu dikabulkan dan Dhanajaya membuat rumah di tempat tersebut, yang kemudian berkembang menjadi kota yang dinamakan Saketa. Visakha juga ikut tinggal bersama kedua orang tuanya di Saketa.
Pada suatu hari di Saketa diadakan perayaan dan semua orang pergi ke sungai untuk mandi. Visakha, yang waktu itu berumur lima belas tahun, berdandan dan memakai baju yang bagus. Ia ingin turut menyaksikan perayaan tersebut dan bersama kawan-kawannya ia pergi ke tepi sungai.
Tiba-tiba hujan besar turun dan semua gadis kawan Visakha berlari mencari tempat untuk berteduh di sebuah bangsal. Hanya Visakha yang tidak turut berlari dan jalan saja seperti biasa. Tiba di bangsal, bajunya basah kuyup.
Di bangsal itu juga turut berteduh beberapa orang suruhan Migara, seorang jutawan dari Savatthi, yang mencari seorang gadis untuk dinikahkan dengan anaknya, Pannavaddhana. Mereka heran
melihat Visakha dengan tenang berjalan memasuki bangsal, meskipun bajunya basah kuyup dengan air hujan. Mereka bertanya, “Mengapa engkau tadi tidak lari, sekarang bajumu basah kuyup.”
Visakha menjawab, “Aku punya banyak baju di rumah. Kalau aku lari, mungkin aku terjatuh dan cedera anggota tubuhku. Hal ini akan membawa kerugian besar bagiku. Gadis sepertiku dapat diumpamakan sebagai barang dagangan yang tidak boleh mempunyai cacat.”
Jawaban Visakha ternyata mengesankan sekali orang suruhan Migara. Tambahan lagi Visakha memang seorang gadis cantik yang memiliki Lima Kecantikan (Panca-Kalyani).
Mereka segera menyerahkan sebuah karangan bunga sebagai tanda pinangan untuk menikah. Visakha menerima baik karangan bunga tersebut dan orang suruhan Migara mengikuti Visakha pulang ke rumah orang tuanya. Oleh kedua orang tuanya, pinangan ini pun diterima dengan baik.
Sekarang harus dibuat persiapan untuk merayakan pernikahan Visakha. Raja Pasenadi sendiri berkenan untuk ikut dengan rombongan yang menyertai mempelai laki-laki pergi ke Saketa. Di tempat itu mereka berdiam selama empat bulan. Selama waktu itu, lima ratus pandai emas bekerja siang dan malam untuk membuat perhiasan yang dinamakan Mahalatapasadhana. Perhiasan itu terbuat dari emas dan ditabur dengan berlian, mutiara dan batu-batu permata lainnya. Perhiasan ini berat sekali dan hanya bisa dipakai oleh orang yang tenaganya kuat.
Pada hari pernikahan, Dhanajaya membekali putrinya dengan lima ratus pedati penuh dengan uang, lima ratus pedati penuh dengan emas, perak, tembaga, kain sutra, mentega, beras dan kacang-kacangan masing-masing lima ratus pedati, alat meluku dan alat pertanian lainnya lima ratus pedati, lima ratus kereta dengan membawa tiga orang budak wanita tiap-tiap kereta disertai segala keperluan mereka. Di samping itu juga ternak yang memenuhi lapangan seluas tiga per empat “league” panjangnya dan delapan “cambuk” lebarnya, yang berdiri berhimpit-himpitan ditambah dengan enam puluh ribu sapi jantan dan enam puluh ribu sapi perah. Masih ditambah lagi dengan perhiasan Mahalatapasadhana yang mahal sekali dengan disertai sepuluh pesan yang harus ditaati oleh Visakha selama berada di rumah suaminya. Sepuluh pesan tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Api dari dalam rumah tidak boleh dibawa ke luar rumah.
2.    Api dari luar rumah tidak boleh dibawa masuk ke dalam rumah.
3.    Hanya memberi kepada orang yang memberi.
4.    Tidak memberi kepada orang yang tidak memberi.
5.    Memberi kepada orang yang memberi dan juga kepada orang yang tidak memberi.
6.    Kalau duduk, duduklah dengan tenang dan bahagia.
7.    Kalau makan, makanlah dengan tenang dan bahagia.
8.    Kalau tidur, tidurlah dengan tenang dan bahagia.
9.    Harus menjaga baik api di rumah.
10.    Harus menghormat dewa-dewa di rumah.
 
Selanjutnya Dhanajaya mengangkat delapan orang kepala keluarga yang terhormat untuk menjadi wali Visakha dan meneliti tiap dakwaan yang kelak mungkin akan dituduhkan terhadap tingkah laku anaknya.
Keesokan harinya Visakha beserta rombongan berangkat menuju ke Savatthi. Semua penduduk Savatthi keluar dari rumahnya untuk menyambut kedatangan Visakha dan mempersembahkan aneka ragam hadiah. Semua hadiah diterima baik oleh Visakha untuk kemudian dibagi-bagikan lagi kepada penduduk Savatthi yang kurang mampu.
Migara (mertua Visakha) adalah pengikut para pertapa Nigantha, yaitu pertapa yang hidup bertelanjang bulat. Tidak lama setelah Visakha berada di rumahnya, Migara mengundang para pertapa Nigantha datang ke rumahnya dan memerintahkan Visakha untuk melayaninya dengan baik.
Tetapi Visakha, yang jijik melihat mereka bertelanjang bulat, menolak untuk memberi hormat. Para pertapa Nigantha mendesak Migara untuk mengirim pulang Visakha, tetapi Migara ingin menunggu saat yang tepat.
Pada suatu hari, ketika Migara sedang makan dan Visakha berdiri di sampingnya sambil mengipasinya, seorang bhikkhu datang untuk mengumpulkan makanan dan berdiri di depan pintu. Visakha minggir sedikit agar Migara dapat melihat bhikkhu tersebut, tetapi Migara tidak memperdulikannya dan terus saja makan. Visakha kemudian berkata kepada bhikkhu tersebut, “Jalan terus saja, Bhante, mertua saya sedang makan hidangan basi.”
Migara marah sekali dan mengancam untuk mengirim pulang Visakha ke rumah orang tuanya. Tetapi Visakha minta agar persoalan itu dibawa ke depan para walinya. Di hadapan para wali tersebut, Migara melontarkan beberapa dakwaan terhadap Visakha. Tetapi, setelah para wali meneliti dan mendengar segala keterangan dari yang bersangkutan dan para saksi, mereka berkesimpulan bahwa Visakha tidak bersalah.
Setelah itu Visakha memberi perintah untuk membuat persiapan pulang ke rumah orang tuanya di Saketa. Tetapi kemudian Migara melihat kesalahannya dan merasa menyesal. Ia mohon maaf kepada Visakha dan permohonan ini diterima oleh Visakha dengan syarat, Migara harus mengundang Sang Buddha dan murid-Nya makan siang di rumahnya.
Waktu Sang Buddha dan para murid-Nya tiba, Migara lalu menyingkir pergi dan memerintahkan Visakha untuk melayani-Nya. Setelah selesai bersantap, Sang Buddha memberikan uraian Dhamma dan atas permintaan Visakha, Migara turut mendengarkan dari belakang tirai. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, Migara memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna. Oleh karena itu ia memperoleh tingkat Sotapanna atas jasa dari Visakha, maka mulai hari itu ia menghormat Visakha sebagai ibunya dan mulai hari itu Visakha mendapat nama baru, yaitu “Migaramata” yang berarti “Ibu Migara”.
Sekarang Visakha bebas untuk melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan sebagaimana yang ia kehendaki. Setiap hari ia memberi makan kepada lima ratus orang bhikkhu.
Setiap sore ia datang ke vihara mengunjungi Sang Buddha dan setelah mendengarkan uraian Dhamma, pergi berkeliling dan mendatangi para bhikkhu dan bhikkhuni untuk menanyakan kebutuhannya.
Sewaktu-waktu ia diutus oleh Sang Buddha untuk mendamaikan perselisihan-perselisihan yang timbul di antara para bhikkhuni. Beberapa aturan, seperti aturan yang mengharuskan para bhikkhu memakai “baju mandi” kalau mandi, dikeluarkan atas saran Visakha.
Suatu hari Visakha mengunjungi Sang Buddha dan sebelum memasuki vihara ia membuka perhiasan Mahalatapasadhana yang dipakainya. Waktu pulang, pelayannya lupa untuk membawanya. Belakangan, waktu Visakha kembali untuk mengambilnya ternyata bahwa Ananda telah menyimpannya di ruang dalam. Visakha menolak untuk mengambilnya kembali, tetapi memerintahkan untuk menjualnya dan hasilnya digunakan untuk keperluan para bhikkhu. Tetapi, ternyata tidak ada orang yang mampu membelinya karena perhiasan itu memang sangat mahal harganya. Karena itu Visakha mengambil keputusan untuk membelinya sendiri dan uangnya digunakan untuk membuat sebuah vihara yang disebut Migaramatupasada di taman sebelah Timur (Pubbarama) Savatthi.
Selama dua puluh tahun terakhir dalam kehidupan Sang Buddha, kalau sedang berada di Savatthi, Beliau membagi waktu-Nya antara Jetavana dan Pubbarama, kalau siangnya berada di Jetavana, malamnya Beliau diam di Pubbarama atau sebaliknya.
Visakha mohon dan diberikan delapan “anugerah” oleh Sang Buddha, yaitu:
  1. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberikan jubah kepada para bhikkhu yang selesai ber-vassa.
  2. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi makanan kepada bhikkhu yang datang di Savatthi.
  3. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi makanan kepada para bhikkhu yang pergi dari Savatthi.
  4. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi makanan kepada bhikkhu yang sakit.
  5. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi makanan kepada mereka yang menjaga bhikkhu sakit.
  6. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi obat kepada bhikkhu yang sakit.
  7. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi beras untuk keperluan mendadak.
  8. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi baju mandi kepada para bhikkhuni.
Visakha mempunyai sepuluh orang putra dan sepuluh orang putri, tiap putra dan putri kembali mempunyai dua puluh orang anak dan tiap cucunya kembali mempunyai dua puluh orang anak. Waktu Visakha meninggal dunia pada usia seratus dua puluh tahun, Beliau mempunyai delapan ribu empat ratus dua puluh orang anak, cucu, dan cicit yang semuanya hidup. Meskipun sudah berusia lanjut, tetapi roman mukanya masih seperti gadis berumur enam belas tahun.
Visakha sangat terkenal sebagai orang yang dapat membawa keberuntungan. Oleh karena itu, penduduk Savatthi selalu mengundang Visakha kalau mereka mengadakan pesta atau perayaan lain. Dengan sikapnya yang luhur, tingkah laku yang halus, ucapan yang ramah, menghormat kepada orang yang lebih tua dan kebaikan hatinya kepada semua orang, Visakha mendapat tempat yang mulia dalam hati mereka yang pernah mengenalnya.
Sebagaimana halnya dengan Anathapindika, Visakha pun mendapat gelar “Pemimpin dari para Dayika”. Dayika adalah seorang wanita yang menjadi penyokong Sang Buddha. Visakha diperkirakan lebih muda sedikit dari Anathapindika, karena adik perempuannya yang bungsu, Sujata, menikah dengan anak laki-laki dari Anathapindika, yaitu Kala.
Setelah meninggal dunia, Visakha bertumimbal lahir di surga Nimmanarati dan menjadi pelayan dari raja dewa Sunimmita. (Menurut Buddhaghosa, Visakha dan Anathapindika akan menikmati hidup bahagia di alam surga selama seratus tiga puluh satu kappa, sebelum akhirnya mereka mencapai Nibbana).

Maha Pajapati Gotami
Pada tahun kedua setelah mendapat Penerangan Agung, Sang Buddha diam di Nigrodharama, Kapilavatthu, waktu itu Putri Pajapati Gotami, istri Raja Suddhodana menjadi seorang Sotapanna, setelah mendengarkan khotbah-khotbah Sang Buddha.
Tiga tahun kemudian, pada tahun kelima Sang Buddha mendapat Penerangan Agung, Raja Suddhodana sakit keras. Sang Buddha, yang waktu itu berada di balairung Kutagarasala, Vesali, datang ke Kapilavatthu dengan terbang melalui udara. Raja Suddhodana kelihatannya sudah lemah sekali, Sang Buddha kemudian memberikan khotbah kepada ayahnya yang berada di tempat tidur, di bawah payung kerajaan yang berwarna putih. Raja Suddhodana mencapai tingkat Arahat setelah mendengarkan khotbah tersebut dan masih dapat menikinati berkah dan kedamaian Nibbana selama tujuh hari sebelum mangkat. Waktu itu Putri Pajapati sudah mengambil keputusan untuk menjadi bhikkhuni dan menunggu waktu yang tepat untuk mohon ditahbiskan oleh Sang Buddha.
Tidak lama kemudian timbul perselisihan antara negara Sakya dan negara Koliya perihal air Sungai Rohini, yang menjadi perbatasan antara kedua negara. Sang Buddha kembali mengunjungi Kapilavatthu dan memberi nasehat kepada kedua belah pihak untuk tidak menyelesaikan sengketa tersebut dengan berperang, tetapi sebaiknya sengketa tersebut diselesaikan melalui perundingan. Sesudah itu Sang Buddha menarik diri di Nigrodharama, Kapilavatthu.
Setelah sengketa tersebut dapat didamaikan, Sang Buddha kemudian memberikan uraian Dhamma yang dikenal sebagai Kalahavivadasutta. Setelah mendengar khotbah tersebut, lima ratus orang Sakya yang masih muda ditahbiskan menjadi bhikkhu.
Waktu inilah yang dianggap tepat oleh Putri Pajapati. Bersama-sama lima ratus wanita muda yang suaminya telah diterima menjadi bhikkhu, Putri Pajapati pergi ke Nigrodharama dan mohon agar mereka semua ditahbiskan menjadi bhikkhuni. Permohonan ini tiga kali ditolak dan kemudian Sang Buddha meninggalkan Kapilavatthu kembali ke Vesali.
Tetapi Putri Pajapati dan lima ratus wanita muda itu tidak putus asa dan mengikuti perjalanan Sang Buddha ke Vesali, setelah terlebih dulu memotong rambutnya dan memakai jubah kuning. Mereka mengikuti dengan berjalan kaki, sehingga waktu tiba di Vesali kaki mereka luka-luka dan bengkak serta badan penuh debu.
Ananda menemui para wanita tersebut yang sedang menangis di depan pintu dan kemudian meneruskan permohonan mereka untuk dapat diterima menjadi bhikkhuni. Kembali Sang Buddha menolak sampai tiga kali. Kemudian Ananda mengubah cara mengemukakannya dan bertanya,
“Kalau seorang wanita, oh Bhagava, dari kehidupan berkeluarga memasuki kehidupan seorang bhikkhuni dan menjalankan dengan tekun ajaran dan tata tertib yang ditetapkan oleh Sang Tathagata, apakah mungkin orang itu mencapai tingkat kesucian Sotapanna, Sakadagami, Anagami atau Arahat?” “Seorang wanita dapat mencapainya, Ananda.”
“Kalau begitu, oh Bhagava, Maha Pajapati Gotami, bibi Sang Bhagava, telah besar pahalanya. Beliau adalah pengasuh-Nya, bu tiri-Nya dan yang pernah memberikan-Nya air susu, waktu ibu-Nya sendiri meninggal dunia, Beliau mengasuh dan menyusui-Nya dari dadanya sendiri. Karena itu, oh Bhagava, alangkah baiknya wanita itu dapat diterima menjadi bhikkhuni.”
“Kalau, Ananda, Maha Pajapati bersedia menerima delapan “aturan keras” (Garudhamma), maka Beliau dapat ditahbiskan.” Kemudian Ananda diberitahukan tentang delapan “aturan keras” tersebut:
  1. Seorang bhikkhuni, meskipun sudah ditahbiskan selama seratus tahun, harus menyambut dengan sopan, berdiri dari tempat duduknya, memberi hormat dengan kedua tangan dirangkapkan di dada kepada seorang bhikkhu yang baru saja ditahbiskan. Dan aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.
  2. Seorang bhikkhuni tidak boleh menjalankan vassa di tempat, dimana tidak terdapat seorang bhikkhu. Aturan ini pun harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.
  3. Setiap setengah bulan, seorang bhikkhuni harus memohon dua hal dari Sangha para bhikkhu, yaitu (tanggal dan) hari untuk melakukan latihan dan hari untuk mendapatkan nasehat-nasehat (teguran-teguran). Aturan ini pun harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.
  4. Setelah vassa, seorang bhikkhuni harus mohon kepada Sangha para bhikkhu dan Sangha para bhikkhuni untuk mendapat teguran dan peringatan tentang apa yang dilihat, didengar, dan dicurigai. Aturan ini pun harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.
  5. Seorang bhikkhuni yang melakukan pelanggaran harus menjalani hukuman (manatta) selama setengah bulan lamanya di Sangha para bhikkhu dan di Sangha para bhikkhuni. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.
  6. Selesai menjalankan masa percobaan selama dua tahun, seorang calon bhikkhuni harus mohon ditahbiskan menjadi bhikkhuni dari Sangha para bhikkhu dan dari Sangha para bhikkhuni. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya
  7. Seorang bhikkhu tidak boleh dicaci-maki atau dihina dengan cara apa pun juga oleh seorang bhikkhuni. Aturan ini pun harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.
  8. Mulai hari ini seorang bhikkhuni dilarang memperingati (menegur) seorang bhikkhu, sebaliknya seorang bhikkhu tidak dilarang untuk memperingati (menegur) seorang bhikkhuni. Aturan ini pun harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.
Setelah itu Ananda pergi menemui Maha Pajapati dan memberitahukan tentang delapan “aturan keras” tersebut yang harus diterima, sebelum ia dapat ditahbiskan menjadi bhikkhuni.
Dengan gembira Maha Pajapati menerima delapan “aturan keras” tersebut dan kemudian ditahbiskan menjadi bhikkhuni pertama. Setelah ditahbiskan, Maha Pajapati memberi hormat kepada Sang Buddha dan kemudian berdiri di satu sisi. Sang Bhagava memberikan uraian Dhamma dan kemudian memberikan kepadanya obyek untuk melakukan meditasi (Kammatthana). Beliau melatihnya dengan tekun dan tidak lama kemudian mencapai tingkat Arahat.
Pengikut Maha Pajapati yang berjumlah lima ratus orang juga ditahbiskan menjadi bhikkhuni dan kemudian setelah mendengarkan Nandakovadasutta, semuanya mencapai tingkat Arahat.
Dengan demikian berdirilah Bhikkhuni Sangha yang dipimpin oleh Maha Pajapati Gotami dan berkembang terus di desa-desa, kota-kota, dan bahkan di istana raja-raja. Yasodhara (ibu Rahula) dan Rupananda (anak Maha Pajapati) juga turut memasuki Bhikkhuni Sangha.
Pada satu kesempatan di hadapan Bhikkhu Sangha dan Bhikkhuni Sangha, Sang Buddha menyatakan bahwa Maha Pajapati adalah pemimpin dari para bhikkhuni yang terkemuka (Rattannu). Yasodhara, yang sewaktu-waktu juga disebut sebagai Rahulamata, Bimba, Bimbadevi, Bhaddakacca adalah yang terkemuka dari mereka yang memiliki kekuatan gaib (Mahabhinnappatta) dan Rupananda adalah yang terkemuka dari mereka yang memiliki kekuatan meditasi (Jhayi). Dalam Bhikkhuni Sangha pun terdapat dua orang murid utama, yaitu Khema dan Uppalavanna, sebagaimana Sariputta dan Moggallana menjadi murid utama dalam Bhikkhu Sangha.
Kemudian sewaktu Maha Pajapati sedang berada di Vesali, Beliau mengetahui bahwa hidupnya di dunia ini sudah tidak lama lagi. Beliau pamit dari Sang Buddha dan meninggal dunia pada usia seratus dua puluh tahun.

Jadwal Kegiatan Sehari-hari
Kegiatan Sang Buddha tiap hari adalah sebagai berikut:
Pagi hari (pukul 04.00-pukul 12.00)
Sang Buddha bangun pukul 04.00 pagi, setelah mandi lantas duduk bermeditasi selama satu jam.
Dari pukul 05.00 pagi, selama satu jam, Sang Buddha melihat dengan mata dewa ke seluruh dunia, barangkali ada orang yang memerlukan pertolongan Beliau.
Pukul 06.00 pagi memakai jubah-Nya dan pergi ke desa atau kota untuk mengumpulkan makanan atau pergi mengunjungi orang yang memerlukan pertolongan Beliau.
Tiba di desa atau kota, Sang Buddha berjalan dari rumah ke rumah dengan mata ditujukan ke tanah dan menerima makanan apa saja yang dimasukkan ke dalam mangkuk-Nya dengan tidak mengucapkan sesuatu kata pun. Kalau pergi bersama-sama dengan murid-Nya, mereka merupakan barisan yang panjang karena berjalan satu per satu. Pada waktu Sang Buddha menerima juga undangan makan di rumah seorang umat. Sehabis bersantap, Beliau selalu memberikan khotbah Dhamma. Kalau ada orang yang minta diterima sebagai murid/pengikut, maka Beliau mentahbiskannya di tempat tersebut.
Siang hari (pukul 12.00-pukul 18.00)
Waktu ini biasanya digunakan untuk menjawab pertanyaan dari para bhikkhu. Sang Buddha menjawab semua pertanyaan dengan disertai nasehat dan petunjuk mengenai meditasi. Kalau mereka pulang, maka Sang Buddha beristirahat di kamar-Nya dan dengan mata dewa melihat ke seluruh dunia, barangkali ada orang yang memerlukan pertolongan-Nya. Kalau Beliau melihat ada yang memerlukan pertolongan, maka Beliau segera mengunjunginya.
Kalau hari itu tidak ada orang yang memerlukan pertolongan Beliau, maka Beliau keluar dari kamar untuk bertemu dengan ratusan orang yang berkumpul di ruang khotbah (Dhammasala).
Di Dhammasala, Sang Buddha memberikan khotbah dengan cara yang khas, sehingga tiap orang merasa bahwa khotbah itu ditujukan kepada dirinya. Dengan demikian Sang Buddha memberikan kegembiraan kepada orang yang bijaksana, mempertinggi pengetahuan orang biasa dan memberi penerangan. kepada orang yang sedang dihinggapi kegelapan batin.
Waktu jaga pertama (pukul 18.00-pukul 22.00)
Waktu ini para bhikkhu kembali datang untuk mendengar khotbah Dhamma atau untuk bertanya tentang hal-hal yang masih mereka ragukan. Selain para bhikkhu juga umat biasa banyak yang datang menemui Sang Buddha.
Waktu jaga kedua (pukul 22.00-pukul 02.00)
Para dewa datang untuk mendengarkan Dhamma yang khusus ditujukan kepada mereka. Mereka tidak dapat dilihat dengan mata biasa.
Waktu jaga ketiga (pukul 02.00-pukul 04.00)
Dari pukul 02.00 sampai pukul 03.00, Sang Buddha berjalan mondar-mandir di luar kamar (melakukan meditasi berjalan) sambil menghirup udara pagi.
Pukul 03.00 pagi, Sang Buddha tidur selama satu jam dan bangun pada pukul 04.00 pagi.

Empat Puluh Lima Tahun Mengajar Dhamma
Tahun ke-1
Setelah memperoleh Penerangan Agung, Sang Buddha menjalankan vassa (istirahat musim hujan) di Isipatana.
 
Tahun ke-2
Sang Buddha menjalankan vassa di Veluvana, Rajagaha.
 
Tahun ke-3
Atas permintaan Raja Suddhodana, Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu. Di Nigrodharama, untuk pertama kalinya Sang Buddha memperlihatkan kekuatan gaib-Nya yang disebut Yamakapatihariya, yaitu Mukjizat Ganda, yang hanya dapat dilakukan oleh seorang Buddha. Hal ini dilakukan untuk meyakinkan keluarganya dan orang Sakya lain bahwa Beliau memang benar telah mencapai tingkat Buddha.
Dalam perjalanan kembali dari Kapilavatthu ke Rajagaha, Sang Buddha bertemu dengan Anathapindika dan menyetujui untuk menjalankan vassa yang akan datang di Savatthi.
 
Tahun ke-4
Sang Buddha ber-vassa di Veluvana, Rajagaha.
 
Tahun ke-5
Sang Buddha ber-vassa di Kutagarasala, Vesali. Waktu itu Raja Suddhodana sakit. Sang Buddha mengunjungi Raja di Kapilavatthu dan memberikan khotbah Dhamma kepada ayah-Nya, setelah mendengar khotbah tersebut, Raja Suddhodana mencapai tingkat Arahat dan meninggal dunia tujuh hari kemudian.
Sangha bhikkhuni di bawah pimpinan Maha Pajapati terbentuk di tahun ini.
 
Tahun ke-6
Ber-vassa di Mankulapabbata (Lereng Mankula). Di tahun ini, untuk kedua kalinya Sang Buddha memperlihatkan Yamakapatihariya, yaitu Mukjizat Ganda di bawah pohon Gandamba di Savatthi, meskipun sebelumnya Beliau melarang murid-muridNya untuk memperlihatkan kekuatan gaib di depan umum. Hanya Beliau yang boleh memperlihatkan kekuatan gaib di depan umum, tetapi murid-muridNya dilarang melakukan hal-hal tersebut.
 
Tahun ke- 7
Sang Buddha mengunjungi surga Tavatimsa. Ibu-Nya, almarhum Ratu Maya, bersama para dewa lainnya diberi pelajaran Abhidhamma, selama tiga bulan Sang Buddha ber-vassa di surga tersebut.
Akhir vassa, Beliau berjalan turun dari surga Tavatimsa melalui tangga yang terbuat dari batu pualam, di Sankassa, tiga puluh “league” dari Savatthi. Waktu itu orang yang berkumpul di sekitar Savatthi dan para dewa yang berada di surga Tavatimsa dapat melihat satu sama lain dengan jelas, berkat kekuatan gaib Sang Buddha.
Waktu itu kemasyhuran Sang Buddha mencapai titik tertinggi dan waktu itu pula golongan pertapa yang merasa terdesak hebat, berusaha untuk menjatuhkan nama Sang Buddha dengan menggunakan seorang wanita bernama Cinca-manavika yang melancarkan fitnahan keji terhadap diri Sang Buddha. Kisahnya adalah sebagai berikut:
Para pertapa dari golongan paribbajika merasa sangat terdesak dengan adanya Sang Buddha yang semakin lama semakin masyhur namanya. Karena itu, mereka merencanakan satu tipu muslihat untuk menjatuhkan nama Sang Buddha dengan menggunakan Cinca sebagai umpan. Cinca adalah seorang wanita cantik yang banyak akalnya. Wanita ini dibujuk oleh para pertapa dari golongan paribbajika untuk pura-pura mengunjungi Sang Buddha di vihara Jetavana.
Pada suatu malam, Cinca pergi ke vihara Jetavana dan sengaja berjalan di tempat-tempat yang mudah dilihat oleh khalayak rumai. Malam itu ia tidur di emper vihara dekat kamar Sang Buddha. Pagi harinya ia berjalan meninggalkan vihara dengan juga dilihat oleh banyak orang. Ketika ditanya, Cinca menjawab bahwa ia tadi malam tidur bersama-sama Sang Buddha.
Beberapa bulan kemudian dengan berpura-pura hamil (ia mengikat sepotong kayu di bagian perutnya) Cinca pergi mengunjungi Sang Buddha yang sedang berkhotbah di hadapan umat. Ketika itulah Cinca dengan tiba-tiba membuat onar dengan menuduh Sang Buddha sebagai orang yang tidak bertanggung jawab dan tebal muka karena tidak mau memberi bekal untuk persalinannya.
Mendengar tuduhan itu, Sang Buddha tidak berkata apa-apa dan hanya diam saja. Tetapi Dewa Sakka menjadi marah sekali. Beliau memerintahkan seekor tikus untuk menggigit tali yang nengikat kayu di sekitar perut Cinca.
Tali itu putus dan kayu menimpa jari kaki Cinca hingga terluka. Khalayak ramai lalu menyeretnya ke luar vihara. Waktu kakinya menginjak tanah di luar pagar vihara, kakinya terus amblas dan seluruh badannya masuk ke tanah untuk kemudian terlahir di alam neraka.
Waktu Sang Buddha kemudian ditanya, mengapa Beliau sampai mendapat fitnahan seperti itu, Beliau menerangkan bahwa itu adalah akibat dari perbuatan-Nya juga, yaitu bahwa dalam salah satu kehidupannya yang lampau, Beliau pernah mencaci-maki seorang Pacceka Buddha. Jadi saat ini Beliau difitnah adalah akibat dari perbuatan-Nya yang tersebut di atas.
Di kemudian hari terjadi lagi fitnahan yang serupa oleh seorang wanita bernama Sundari, didalangi oleh golongan pertapa paribbajika yang masih penasaran. Kisahnya adalah sebagai berikut:
Seorang wanita bernama Sundari dibujuk oleh para pertapa paribbajika untuk memperlihatkan diri sedang pergi ke Jetavana dengan berdandan rapi dan memakai wangi-wangian, dan membawa buah-buahan dan beberapa barang lain lagi. Kalau ada yang menegur ia harus menjawab bahwa ia akan menemui Sang Buddha dan akan bermalam di kamarnya. Tetapi sebenarnya, ia hanya melewati saja kamar Sang Buddha dan pergi bermalam di vihara kaum paribbajika yang berdekatan. Besok pagi-pagi sekali ia harus kembali dan supaya dilihat orang banyak berjalan dari jurusan Jetavana. Beberapa hari kemudian para pertapa tersebut memberi upah kepada beberapa orang bajingan untuk membunuh Sundari dan menyembunyikan mayatnya di tempat sampah dekat Jetavana.
Setelah Sundari dibunuh, dengan menangis mereka menghadap Raja Pasenadi untuk melaporkan tentang hilangnya Sundari. Pencarian kemudian dilakukan oleh petugas-petugas raja dan tidak lama kemudian mereka menemukan mayat Sundari di dekat Gandhakuti (kamar) Sang Buddha.
Dengan menggotong mayat Sundari di atas sebuah usungan, mereka mengaraknya melewati jalan-jalan di kota sambil meneriakkan tuduhan, “Hal ini kami berterima kasih kepada bhikkhu-bhikkhu dari suku Sakya!”
Akibatnya, para bhikkhu yang mengumpulkan makanan dihina habis-habisan oleh penduduk kota. Selama tujuh hari Sang Buddha diam saja di kamar-Nya dan tidak pergi ke kota untuk mengumpulkan makanan, sehingga Ananda mengusulkan untuk pindah saja ke kota lain. Tetapi Sang Buddha menolak usul tersebut dan mengatakan bahwa merupakan satu kesalahan besar untuk pergi menyingkir ke tempat lain hanya atas dasar laporan palsu. Kemudian Beliau mengatakan bahwa dalam tujuh hari persoalan ini sudah dapat dijernihkan.
Setelah mayat Sundari ditemukan di dekat Gandhakuti Sang Buddha, Raja Pasenadi tidak mau menerima begitu saja tuduhan atas diri Sang Buddha.
Raja lalu mengirim banyak petugas ke seluruh penjuru untuk menyelidiki dengan cermat, siapa sesungguhnya yang menjadi pembunuh Sundari.
Di suatu kedai arak, seorang penyelidik mendengar beberapa orang yang terlalu banyak minum arak sedang bertengkar tentang pembagian upah membunuh Sundari. Mereka segera ditangkap dan dibawa menghadap Raja Pasenadi. Di depan Raja, mereka mengakui perbuatan mereka membunuh Sundari atas suruhan para pertapa paribbajika. Raja kemudian memerintahkan petugas menangkap para pertapa paribbajika. Setelah diperiksa, akhirnya para pertapa ini mengakui semua perbuatan mereka dan menarik kembali tuduhan palsu yang pernah mereka lontarkan terhadap diri Sang Buddha. Kemudian mereka dijatuhi hukuman sesuai dengan perbuatannya.
Ketika Sang Buddha kemudian ditanya mengenai peristiwa tersebut, Beliau menceritakan kisah di bawah ini:
“Ketika itu Sang Bodhisatta bemama Munali dan terkenal sebagai orang yang senang berfoya-foya. Pada suatu hari ia melihat Surabhi (seorang Pacceka Buddha) sedang memakai jubahnya di sebelah luar tembok kota, sedangkan di dekatnya berjalan seorang wanita. Secara senda gurau, Munali mengeluarkan kata-kata, ‘Lihat, pertapa ini bukanlah orang yang hidup membujang, tetapi ia sebenarnya adalah seorang cabul.’ Akibat dari ucapan yang salah inilah yang membuat Sang Buddha dalam kehidupan ini mendapat fitnahan dari Sundari.”
 
Tahun ke-8 .
Tahun ini Beliau berada di wilayah kaum Bhagga. Ketika diam di Bhesakalavana dekat Gunung Sumsumara, Sang Buddha bertemu dengan Nakulapita dan istrinya, yang di kehidupan lampau pernah menjadi ayah dan ibu-Nya sampai lima ratus kali.
 
Tahun ke-9
Tahun ini Sang Buddha ber-vassa di Kosambi.
 
Tahun ke-1 0
Di tahun ini terjadi perselisihan diantara para bhikkhu di Kosambi. Karena letih menghadapi perselisihan yang tak mau didamaikan, Sang Buddha ber-vassa di hutan Parileyyaka. Di hutan, Sang Buddha dijaga dan dilayani oleh seekor gajah yang baik hati. Sehabis vassa, Sang Buddha pergi ke Savatthi. Ketika itu para bhikkhu di Kosambi sudah insyaf dan datang mengunjungi Sang Buddha untuk minta maaf. Mereka semua dimaafkan dan dengan demikian perselisihan itu didamaikan.
 
Tahun ke-11
Tahun ini Sang Buddha diam di Desa Ekanala dan mentahbiskan Kasi-bharadvaja. Kisahnya ini adalah sebagai berikut (S.1-171):
Sang Buddha mengunjungi Bharadvaja pada upacara menanam padi dan berdiri di dekat tempat pembagian makanan para petani yang ikut menanam padi. Melihat Sang Buddha, Bharadvaja menegur agar Sang Buddha pun harus ikut membajak dan menanam padi, sebagaimana ia sendiri juga turut bekerja untuk dapat makan hasilnya. Percakapan yang menarik itu dapat kita ikuti seperti di bawah ini (S.1-171):
“Pertapa, aku membajak dan menanam bibit. Setelah bekerja, aku makan. Apakah Anda juga membajak dan menanam bibit dan setelah membajak dan menanam bibit lalu makan?”
“Betul, Aku juga membajak dan menanam bibit, dan setelah membajak dan menanam bibit, Aku makan.”
“Tetapi kami tidak pernah melihat regu Guru Gotama, bajaknya, pengunjam bajak, cambuk atau sapinya. Meskipun demikian Guru Gotama masih berani mengatakan bahwa, ‘Aku juga membajak dan menanam bibit, dan setelah membajak dan menanam bibit Aku makan’.”
Sang Buddha menjawab,
“Keyakinan adalah bibit-Ku dan hujan adalah tata tertib-Ku.
Pandangan terang adalah bajak-Ku disertai kayu lengkung yang sesuai.
Tahu malu (hiri) adalah tiang bajak-Ku dan pikiran adalah talinya.
Pemusatan pikiran adalah pengunjam bajak-Ku dan cambuk-Ku.
Waspada dalam perbuatan, waspada dalam ucapan.
Dan sederhana dalam makan dan minum.
Aku mencabut rumput dengan Kesunyataan dan menyelesaikan tugas,
Adalah apa yang Aku selalu dambakan.
Kemauan keras adalah regu penopang beban-Ku,
Yang menarik bajak-Ku menuju pelabuhan yang aman,
Selalu maju dan tak pernah mundur.
Dan di tempat yang dilalui tak akan ada lagi yang menangis.
Itulah cara-Ku membajak.
Buah yang akan dipetik adalah makanan abadi.
Siapa saja yang melaksanakan cara membajak seperti ini,
Akan terbebas dari penderitaan dan kesedihan.”
Bharadvaja merasa gembira sekali dan segera menghaturkan sebuah mangkuk besar berisi nasi campur susu.
Tetapi Sang Buddha menolak pemberian tersebut dengan mengatakan bahwa seorang Buddha tidak pernah menerima imbalan untuk berkhotbah. Atas saran Sang Buddha, Bharadvaja membuang makanan tersebut ke sungai karena tidak ada orang yang dapat nencernakan makanan yang pernah dipersembahkan kepada Sang Buddha. Ketika makanan itu menyentuh air sungai, terdengar suara gemercak dan api serta asap terlihat di atas air.
Bharadvaja menjadi kagum sekali dan sambil berlutut di kaki Sang Buddha menyatakan dirinya sebagai pengikut Sang Buddha untuk seumur hidup. Tidak lama kemudian, ia menjadi bhikkhu dan berhasil mencapai tingkat kesucian Arahat.
 
Tahun ke-12
Ber-vassa di Veranja atas permohonan seorang Brahmana bernama Veranja. Ketika itu berjangkit kekurangan makanan di tempat tersebut, sehingga Sang Buddha dan rombongan-Nya harus makan makanan yang disediakan oleh lima ratus orang pedagang kuda. Moggallana menawarkan diri untuk menyediakan makanan yang layak dengan menggunakan kekuatan gaib, tetapi ditolak oleh Sang Buddha.

Tahun ke-13
Tahun ini Sang Buddha ber-vassa di Calikapabbata dan dilayani oleh seorang bhikkhu bernama Meghiya. Melihat sebidang kebun mangga di dekat sungai, Meghiya merasa tertarik sekali dan mohon izin dari Sang Buddha untuk bermeditasi di tempat tersebut. Sang Buddha minta ia menunggu kedatangan seorang bhikkhu lain, tetapi karena terus didesak akhirnya Sang Buddha memberi izin juga.
Meghiya pergi bermeditasi sendiri di kebun mangga, tetapi tidak lama kemudian ia dihinggapi oleh pikiran penuh hawa nafsu, kemauan tidak baik dan jahat, sehingga dengan sangat kecewa ia kembali menemui Sang Buddha.
Ketika itu Sang Buddha memberi ia nasehat seperti berikut:
Meghiya, untuk membebaskan pikiran yang belum matang diperlukan lima hal yang berguna sekali untuk membuat ia matang:
  1. Seorang sahabat baik (kalyana mitta).
  2. Tingkah laku yang baik dibimbing oleh sila-sila yang penting sebagai latihan.
  3. Nasehat yang baik yang menuju kepada pengekangan hawa nafsu, ketenangan, pembebasan, Penerangan Agung, dan Nibbana.
  4. Daya upaya untuk menyingkirkan pikiran yang tidak baik dan memperoleh pikiran yang baik.
  5. Memperoleh pandangan terang tentang timbul dan lenyapnya kembali benda-benda.
Tahun ke-14
Sang Buddha ber-vassa di Jetavanarama, Savatthi. Di tempat ini Rahula memperoleh upasampada dan menjadi bhikkhu. Menurut Vinaya, seseorang hanya diperkenankan menjadi bhikkhu apabila telah mencapai usia dua puluh tahun dan Rahula pada waktu itu telah mencapai usia tersebut.
 
Tahun ke-15
Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu dan tahun itu bekas mertuanya, Suppabuddha meninggal dunia. Dalam keadaan mabuk, Suppabuddha tidak mengizinkan Sang Buddha berjalan di jalanan Kapilavatthu, sebab ia masih mempunyai perasaan dendam bahwa Sang Buddha telah menyia-nyiakan kehidupan anaknya, Yasodhara.
 
Tahun ke-16
Kejadian penting selama Sang Buddha diam di Alavi di tahun ini adalah penaklukan dari yakkha Alavaka yang menteror kota Alavi.
Kisahnya adalah sebagai berikut (SN.I-10):
Ketika itu yakkha Alavaka menghampiri Sang Buddha dan membentak, “Pergilah, oh Pertapa!”
Sang Buddha berjalan pergi dan berkata, “Baiklah, sahabat.”
Yakkha Alavaka kembali membentak, “Masuklah, oh Pertapa.”
Sang Buddha lalu masuk dan menjawab, “Baiklah, sahabat.”
Untuk kedua kalinya yakkha Alavaka berkata, “Pergilah, oh Pertapa!”
Sang Buddha berjaJan pergi dan berkata, “Baiklah, sahabat.” “Masuklah, oh Pertapa!”
Sang Buddha masuk sambil menjawab, “Baiklah, sahabat.”
Untuk ketiga kalinya yakkha Alavaka berkata, “Pergilah, oh Pertapa!”
Sang Buddha berjalan pergi sambil berkata, “Baiklah, sahabat.” “Masuklah, oh Pertapa!”
Sang Buddha masuk kembali sambil berkata, “Baiklah, sahabat.”
“ Untuk keempat kalinya yakkha Alavaka berkata, “Pergilah, oh Pertapa!”
Sang Buddha menjawab, “Aku tidak akan pergi, engkau boleh berbuat apa yang engkau kehendaki.”
“Akan kuajukan sebuah pertanyaan, Pertapa. Apabila Anda tidak dapat menjawab pertanyaanku, akan kukacaukan pikiranmu atau kucabut jantungmu atau akan kupegang kakimu dan kulemparkan ke seberang sungai.”
“Sahabat, Aku tidak melihat suatu makhluk pun di dunia ini, termasuk para Mara, para Brahma atau di dunia ini dari para pertapa, para Brahmana, dan para dewa, dan para manusia yang sanggup mengacaukan pikiran-Ku atau mencabut jantung-Ku atau memegang kaki-Ku dan melempar Aku ke seberang sungai. Tetapi sahabat, engkau dapat mengajukan pertanyaan apa saja yang engkau kehendaki.
Yakkha tersebut kemudian bertanya,
“Apakah harta termulia bagi seorang manusia dalam dunia ini?
Perbuatan manakah yang membawa kebahagiaan?
Apakah yang paling manis dari semua rasa?
Cara hidup bagaimanakah yang disebut termulia?”
Sang Buddha menjawab,
“KEYAKINAN merupakan harta termulia bagi manusia dalam dunia ini.
DHAMMA, jika ditaati dengan sungguh-sungguh akan membawa kebahagiaan.
KESUNYATAAN adalah yang paling manis dari semua rasa Hidup dengan diberkahi KEBIJAKSANAAN disebut hidup yang termulia.”
Yakkha bertanya lagi,
“Bagaimanakah orang menyeberangi arus (penjelmaan)? Bagaimanakah orang menyeberangi lautan (tumimbal lahir)? Bagaimanakah orang mengatasi derita?
Bagaimanakah orang menyucikan diri ?”
Sang Buddha menjawab,
“Orang menyeberangi arus dengan Keyakinan.
Orang menyeberangi lautan dengan Kewaspadaan.
Orang mengatasi derita dengan Keuletan.
Orang menyucikan dirinya dengan Kebijaksanaan. ”
Yakkha bertanya lagi,
“Bagaimanakah orang mencapai Kebijaksanaan?
Bagaimanakah orang memperoleh Kekayaan?
Bagaimanakah orang memperoleh Kemasyhuran?
Bagaimanakah orang mengikat sahabat-sahabat?
Setelah meninggalkan alam sini, tiba di alam sana (setelah mati), bagaimanakah orang tidak usah menyesal?”
Sang Buddha menjawab,
“Memiliki keyakinan kepada para Arahat dan Dhamma untuk mencapai Nibbana,
Dan dengan pengendalian diri orang yang rajin, tekun, dan penuh perhatian memperoleh Kebijaksanaan.
Barang siapa berbuat apa yang benar,
Barang siapa bertekad teguh, sadar, la memperoleh Kekayaan.
Kemasyhuran diperoleh dengan mencintai hal-hal yang benar (sacca).
Barang siapa suka memberi akan mengikat Sahabat-sahabat.
Orang berkeluarga yang memiliki sifat-sifat:
mencintai hal-hal yang benar, pengendalian diri, kesabaran/dapat memaafkan kesalahan orang lain dan kedermawanan, tidak akan menyesal setelah mati.
Ayolah! Tanyakan kepada para pertapa lain dan para Brahmana,
Apakah ada watak lain yang lebih agung dari mencintai hal-hal yang benar, pengendalian diri, kesabaran/dapat memaafkan kesalahan orang lain dan kedermawanan ?”
Yakkha menjawab,
“Mengapa aku harus bertanya kepada para pertapa dan Brahmana lain? Hari ini aku merasa beruntung dapat mengetahui sesuatu untuk kebaikan diriku di kemudian hari.
Dengan sesungguhnya aku mengatakan bahwa Sang Buddha datang ke Alavi untuk keuntunganku. Hari ini dapat kuketahui pemberian kepada siapa yang dapat membawa pahala terbesar.
Mulai hari ini aku akan berkelana dari desa ke desa, dari kota ke kota untuk menghormat kepada Yang Maha Suci Buddha dan kepada Dhamma Yang Maha Sempurna.”
 
Tahun ke-17
Tahun ini Sang Buddha berada di Savatthi, tetapi mengunjungi Alavi lagi karena merasa kasihan kepada seorang petani miskin, yang kemudian menjadi seorang Sotapanna setelah mendengar khotbah Sang Buddha.
Juga di tahun ini seorang pelacur terkenal bernama Sirima, kakak dari tabib Jivaka, meninggal dunia. Sang Buddha menghadiri pemakaman Sirima.
Ketika itu Sang Buddha minta kepada Raja untuk mengumumkan siapa diantara yang hadir ingin membeli mayat dari Sirima, sebab ketika hidupnya banyak laki-laki yang tertarik dan mengagumi Sirima.
Ternyata tidak seorang pun yang mau membelinya, bahkan diberi dengan cuma-cuma juga mereka tidak sudi. Pada kesempatan itulah Sang Buddha memberikan penerangan kepada khalayak ramai dengan mengucapkan syair seperti berikut:
“Lihatlah lukisan ini yang berupa khayalan,
Badan yang penuh dengan luka, dirangkai menjadi satu,
Tempat tumpukan penyakit, tempat timbunan pikiran,
Dimana tak terdapat kekekalan dan kelanggengan.”
(Dhammapada, 147)
Sang Buddha kemudian ber-vassa di Veluvanarama, Rajagaha.
 
Tahun ke-18
Di tahun ini Sang Buddha kembali mengunjungi Alavi untuk kepentingan anak perempuan seorang penenun. Tiga tahun yang lampau gadis ini mendengar khotbah Sang Buddha tentang pentingnya bermeditasi terhadap kematian. Dalam pertemuan tersebut, Sang Buddha mengajukan pertanyaan kepada gadis tersebut dan semua pertanyaan dapat dijawabnya dengan baik. Jawabannya mengandung arti filsafat tinggi, sehingga para hadirin yang lain, yang tidak memperhatikan khotbah Sang Buddha dengan baik, tidak dapat mengerti jawaban gadis tersebut.
Waktu itu Sang Buddha memujinya dengan mengucapkan syair seperti berikut:
“Dunia ini diselubungi kegelapan,
Hanya sedikit saja yang dapat melihatnya dengan terang,
Seperti juga burung yang ingin melepaskan diri dari jaring,
Hanya sedikit saja yang pergi ke alam bahagia.”
(Dhammapada, 174)
Ketika Sang Buddha mendengar bahwa gadis itu sakit keras. maka dengan melakukan perjalanan sejauh tiga puluh “league” (1 league = 4.800 atau 5.564 m), Sang Buddha berkunjung ke rumahnya dan masih sempat memberikan uraian Dhamma, sehingga waktu meninggal dunia, gadis itu mencapai Sotapatti phala.
Tahun ini Sang Buddha ber-vassa di Calikapabbata.
 
Tahun ke-19
Sang Buddha ber-vassa di Calikapabbata.
 
Tahun ke-20
Di tahun ini Ananda ditunjuk sebagai pembantu tetap Sang Buddha dan selama dua puluh lima tahun Ananda menjadi pembantu tetap, yaitu sampai saat Sang Buddha mangkat di Kusinara.
Di tahun ini pula Sang Buddha menaklukkan seorang penyamun ganas bernama Angulimala.
Kisahnya adalah sebagai berikut:
Angulimala adalah anak seorang penasehat raja negara Kosala. Ayahnya bernama Bhaggaya dan ibunya Mantani. Nama aslinya adalah Ahimsaka. Hari ia dilahirkan, semua senjata di seluruh negeri, termasuk yang ada di istana, mengeluarkan cahaya gemerlapan. Raja menjadi takut sekali dan keesokan harinya memanggil penasehatnya untuk ditanyakan tentang sebab mengapa semua senjata mengeluarkan cahaya.
Bhaggaya menjawab, “Istriku baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki, Baginda.”
Raja Kosala bertanya, “Tetapi, mengapa senjata-senjata itu ialu mengeluarkan cahaya gemerlapan?”
“Baginda, anakku itu kelak akan menjadi seorang penyamun, seorang penyamun yang luar biasa.”
Kembali Raja bertanya, “Apakah ia akan merampok seorang diri atau dengan berkawan?”
Bhaggava menjawab, “Ia akan bekerja seorang diri, Baginda.”
Raja kemudian berkata, “Kalau begitu, kenapa kita tidak sekarang saja membunuhnya?”
Bhaggava menjawab, “Karena ia akan bekerja seorang diri, maka kita dengan mudah dapat menangkapnya.”
Ketika Ahimsaka mencapai umur untuk bersekolah, maka ayahnya mengirim Ahimsaka ke sebuah sekolah di Takkasila. Ahimsaka merupakan murid yang terkuat, terpintar dan juga yang terpatuh dari semua murid di sekolah tersebut.
Karena itu anak-anak yang lain merasa iri hati kepada Ahimsaka.
Mereka sedikit demi sedikit menghasut guru mereka, sehingga akhirnya guru tersebut juga membenci Ahimsaka.
Setelah selesai belajar di sekolah tersebut, gurunya memanggil Ahimsaka dan berkata, “Sekarang engkau sudah tamat belajar di sekolah ini, tetapi sebelum engkau pulang, terlebih dulu engkau harus membayar uang sekolah kepadaku.”
“Berapakah yang harus kubayar, Guru?”
“Engkau tidak usah membayar dengan uang. Cukup, jika engkau memberiku seribu buah jari tangan kanan manusia.” jawab gurunya.
Meskipun hal ini sangat sulit sekali, namun sebagai murid yang sangat patuh, Ahimsaka berjanji kepada gurunya untuk melaksanakan apa yang diminta oleh gurunya. Sebelum pergi. gurunya kembali berpesan, “Ingat, jangan membawa dua buah jari tangan dari orang yang sama.”
Sampai hari itu Ahimsaka belum pernah menyakiti orang lain dan karena itu ia tidak tahu bagaimana harus memotong jari orang. Karena ingin mematuhi perintah gurunya, maka Ahimsaka membawa pedangnya dan pergi ke hutan Jalini di negara Kosala. Di hutan itu ia mencegat para pelancong yang lewat, membunuhnya dan mengambil jari tangan kanannya. Sesudah itu ia membuat kalung dari jari-jari tersebut dan menggantung kalung itu di lehernya.
Karena kalung dari jari-jari tersebut, ia kemudian mendapat nama baru sebagai Angulimala (Anguli = jari, mala = kalung).
Sekarang Angulimala menjadi seorang pembunuh kejam yang ditakuti. Kalau ingin melewati hutan Jalini, para pedagang atau pelancong jalan berkelompok, berdua, berempat, bersepuluh. berdua puluh, dan bertiga puluh. Tetapi, begitu mereka mendengar. “ Aku Angulimala, jangan lari!” Mereka menggigil dan gemetaran. dan tidak dapat melarikan diri lagi. Dengan mudah Angulimala membunuh orang-orang tersebut dan memotong jari tangan kanannya. Karena itu tidak ada lagi orang yang berani lewat hutan tersebut.
Angulimala kemudian memindahkan tempat kerjanya dan di tempat yang baru ia kembali mencegat dan membunuh orang yang lewat.
Karena itu, Raja Kosala mempersiapkan tentara yang besar untuk menangkap Angulimala. Ibunya, Mantani, mendengar tentang persiapan yang dilakukan Raja Kosala. Ia berkata kepada suaminya, “Anak kita yang tercinta sekarang telah menjadi seorang pembunuh. Sekarang Raja sedang membuat persiapan untuk menangkap dan membunuhnya. Apakah kamu tidak dapat pergi menemui anak kita dan membujuknya supaya berhenti membunuh?”
“Istriku tercinta, anak itu sekarang sudah terlalu ganas. Ia mungkin sudah berubah seluruhnya dan kalau aku pergi menemuinya, mungkin aku pun akan dibunuhnya. Aku tidak mau mati percuma.”
Tetapi ibunya adalah seorang wanita yang halus budi pekertinya dan mempunyai hati yang baik. Apalagi ia mencintai anaknya lebih dari dirinya sendiri. Ia pikir, “Aku harus pergi seorang diri ke hutan untuk menyelamatkan anakku.” Kemudian ia berjalan pergi ke hutan dengan membawa bekal makanan seperlunya.
Ketika itu Angulimala sudah membunuh 999 orang. Berbulan-bulan lamanya ia berada di hutan tanpa memperoleh cukup makan, tidur, mandi, dan pakaian yang bersih. Badannya sudah berbau busuk. Ia benci sekali dengan hidup seperti itu. Tetapi bagaimanapun juga, ia masih harus membunuh seorang lagi untuk memenuhi permintaan gurunya berupa seribu buah jari tangan kanan manusia.
Ia berpikir, “Sekarang, meskipun ibuku sendiri yang datang, aku akan membunuhnya, memotong jari tangannya untuk mencukupi jmlah seribu yang diminta guruku.”
Pagi hari itu, sebagaimana biasa, Sang Buddha melihat ke seluruh penjuru dunia untuk mencari orang yang mungkin dapat ditolong-Nya dalam bidang kerohanian. Ketika itu Sang Buddha melihat Angulimala, yang meskipun sudah jemu dengan perbuatan membunuh dan ingin kembali menjadi orang yang baik, masih kekurangan satu orang lagi yang akan dijadikan korban. Dan korban yang terakhir ini justru adalah ibunya sendiri.
Karena merasa kasihan, Sang Buddha lalu bertekad untuk menolong Angulimala, ibunya dan juga khalayak ramai. Karena itu, dengan membawa mangkuk-Nya Sang Buddha berjalan menuju ke hutan tempat Angulimala bersembunyi menunggu mangsanya yang terakhir.
Penduduk desa yang melihat Sang Buddha berjalan menuju hutan, berusaha mencegah-Nya dengan mengatakan,
“Bhikkhu, sebaiknya Anda jangan pergi ke hutan itu. Di sana bersembunyi seorang penyamun yang bernama Angulimala. Ia telah membunuh ratusan orang. Ia adalah orang yang kejam, buas, dan jahat. Ia juga pasti akan membunuh Anda. Banyak orang yang sudah meninggalkan rumah dan desanya, sedangkan kami sendiri hari ini juga akan meninggalkan tempat ini, sebab siapa tahu mungkin saja hari ini ia akan datang ke tempat ini. Karena itu, sebaiknya Anda jangan berjalan terus. Kembalilah sekarang juga ke tempat darimana Anda datang.”
Mereka menasehati Sang Buddha sampai tiga kali. Tetapi Sang Buddha hanya tersenyum, mengucapkan terima kasih dan melanjutkan perjalanan-Nya memasuki hutan.
Ketika itu ibu Angulimala sudah terlebih dulu memasuki hutan. Angulimala melihat ibunya datang dan berpikir, “Alangkah kasihannya wanita ini. Ia datang seorang diri. Aku memang kasihan kepadanya, tetapi apa yang dapat aku lakukan? Aku harus memegang janjiku dan membunuhnya.”
Ia menghunus pedangnya dan berlari mendekati ibunya. Tiba-tiba Sang Buddha berdiri di antara Angulimala dan ibunya. Angulimala berpikir, “Baik juga pertapa ini berdiri di depan ibuku. Dengan demikian aku tidak usah membunuh ibuku. Aku tidak akan mengganggunya, tetapi membunuh pertapa ini dan memotong jari tangannya. “
Dengan pedang terhunus, ia berlari mendekati Sang Buddha. Sang Buddha berjalan saja dengan tenang. Angulimala berlari-lari untuk menyergap dan membunuh Sang Buddha, tetapi meskipun badannya penuh dengan keringat ia tetap tak dapat menyentuh badan Sang Buddha yang sedang berjalan dengan tenang. Angulimala kemudian menjadi letih, sehingga semua sendi-sendinya merasa sakit sekali dan tidak kuat lagi untuk berlari. Ia berpikir, “Tidak pernah aku seletih ini, meskipun dulu aku berlari-lari menangkap gajah, kuda, kereta perang, rusa atau binatang lainnya. Tetapi sekarang, sungguh mengherankan. Aneh sekali aku tak dapat mengejar pertapa ini.”
Kemudian ia berteriak, “Hai berhenti, berhenti Bhikkhu!”
Sang Buddha menjawab, “Aku berhenti, Angulimala! Tetapi, apakah engkau sendiri berhenti?”
Angulimala tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Sang Buddha dan berpikir, “Seorang bhikkhu tidak boleh bohong. Bhikkhu ini, meskipun berjalan lebih cepat dari aku, mengatakan bahwa ia berhenti. Aku sekarang memang sangat letih. Tentu ada maksud tertentu dalam ucapan tersebut.”
Kemudian ia bertanya kepada Sang Buddha, “Bagaimana Anda mengatakan berhenti, padahal Anda berlari lebih cepat dari aku?”
Sang Buddha mengucapkan syair seperti di bawah ini:
“Sebagaimana biasa, Angulimala, Aku berhenti,
Karena Aku berbelas kasih terhadap semua makhluk hidup,
Tetapi kamu tidak mempunyai belas kasih terhadap makhluk hidup,
Karena itu Aku berhenti dan kamu tidak berhenti.”
Angulimala rupanya sangat terkesan dengan syair yang diucapkan Sang Buddha. la membuang pedangnya dan berlutut di hadapan Sang Buddha.
Sang Buddha memberi berkah dan kemudian mengajaknya pergi ke vihara. Di vihara ia ditahbiskan menjadi bhikkhu. Ibu Angulimala yang menyaksikan seluruh peristiwa ini dari dekat, merasa kagum sekali kepada Sang Buddha, yang dalam waktu demikian singkat dapat menaklukkan Angulimala dan mengubahnya menjadi orang baik.
Raja Kosala, sebelum memasuki hutan untuk menangkap Angulimala, terlebih dulu datang mengunjungi Sang Buddha untuk mohon restu Beliau. Ia datang berkunjung dengan membawa lima ratus orang prajurit berkuda.
Sang Buddha bertanya, “Oh, Baginda Yang Agung, apakah Baginda mendapat kesukaran? Apakah Raja Bimbisara menyatakan perang kepada Anda atau Pangeran dari Licchavi atau mungkin dari kerajaan lain?”
“Bukan, Yang Mulia. Ada seorang penyamun yang ganas sekali di kerajaanku. Namanya Angulimala. Aku hendak pergi menangkapnya.”jawab Raja Kosala.
Sang Buddha lalu berkata, “Oh, Baginda Yang Agung. Umpamanya Baginda melihat Angulimala sekarang sudah bercukur gundul, memakai jubah kuning, meninggalkan kehidupan sebagai seorang penyamun dan berhenti membunuh, apakah yang Baginda akan lakukan?”
Raja Kosala menjawab, “Kalau demikian halnya, aku akan berlutut di hadapannya.”
Kemudian Sang Buddha memanggil Angulimala untuk keluar.
Ketika Angulimala memasuki ruangan, semua prajurit Raja melarikan diri. Tetapi dicegah oleh Sang Buddha. Setelah itu Sang Buddha memberikan khotbah Dhamma.
Suatu hari ketika sedang mengumpulkan makanan, Angulimala diserang oleh orang-orang yang sedang berkelahi. Sang Buddha kemudian memberitahukan Angulimala agar jangan mempunyai rasa dendam dan harus menganggap kejadian ini sebagai hukuman atas kejahatan yang pernah ia lakukan. Setelah berlatih dengan tekun, Angulimala kemudian mencapai tingkat Arahat.
Dikisahkan sewaktu Angulimala sudah mencapai tingkat Arahat, ia mendengar seorang wanita sedang merintih-rintih kesakitan waktu hendak bersalin. Hal ini menggugah hatinya, sehingga ia berkeinginan menolong wanita tersebut. Sewaktu ia menceritakan peristiwa tersebut kepada Sang Buddha dan menanyakan cara untuk menolong penderitaan wanita tersebut, Sang Buddha memberinya petunjuk untuk memberi wanita itu air, setelah terlebih iulu dibacakan kalimat-kalimat:
“Yatoham bhagini ariyaya ;
Jatiya jato
Nabhijanami sancicca
Panam jivita voropeta
Tena saccena sotthi te
Hotu sotthi gabbhassa. “
Yang berarti:
“Saudari, sejak dilahirkan sebagai seorang Ariya
Aku tidak ingat dengan sengaja Membunuh suatu makhluk hidup
Dengan pernyataan yang benar ini, semoga Anda
Dan bayi dalam kandungan selamat. “
Dan benar saja, setelah diberi air tersebut, wanita itu segera bersalin dengan selamat.
Sampai hari ini kalimat-kalimat tersebut dikenal sebagai Angulimala-sutta dan dipakai untuk membuat air guna memudahkan persalinan.
Penaklukan Angulimala sering kali dicatat sebagai satu dari sekian banyak perbuatan Sang Buddha yang menolong manusia karena rasa belas kasih yang sangat besar terhadap umat manusia.
Kisah ini pun dapat dipakai sebagai contoh untuk membuktikan bahwa kamma (perbuatan) baik yang orang lakukan dapat memusnahkan kamma buruk yang pernah ia lakukan.
Demikianlah kisah mengenai Angulimala.
Tahun itu Sang Buddha ber-vassa di Veluvanarama, Rajagaha.
Tahun ke-21 sampai dengan tahun ke-44
Selama tahun-tahun tersebut di atas, tidak dapat dipastikan secara berurutan, tempat-tempat mana yang telah dikunjungi oleh Sang Buddha dan dimana Sang Buddha ber-vassa.
Tetapi dapat diketahui bahwa delapan belas vassa dijalankan di Jetavanarama dan lima vassa di Pubbarama, Savatthi, sedangkan vassa ke-44 dijalankan di Beluva, sebuah desa kecil yang mungkin terletak di dekat Vesali.
Satu hal pasti yang dapat ditemukan dalam sutta-sutta ialah tentang mangkatnya Raja Bimbisara, delapan tahun sebelum Sang Buddha sendiri mencapai Parinibbana. Ketika itulah Devadatta dengan paksa ingin mengambil alih pimpinan Sangha dari Sang Buddha.
Kisahnya adalah sebagai berikut:
Devadatta adalah anak dari Pangeran Suppabuddha dan Amita, adik dari Raja Suddhodana. Saudara perempuannya bernama Yasodhara atau Bhaddakaccana dan menikah dengan Pangeran Siddhattha, yang kemudian menjadi Buddha.
Devadatta ditahbiskan menjadi bhikkhu bersama-sama dengan Ananda, Bhagu, Kimbila, Bhaddiya, Anuruddha dan Upali di Anupiya, sewaktu Sang Buddha dalam perjalanan dari Kapilavatthu menuju ke Rajagaha, pada tahun ketiga setelah memperoleh Penerangan Agung.
Pada vassa berikutnya, Devadatta berhasil memperoleh Puthujjanika-iddhi, yaitu kekuatan gaib tertinggi yang dapat dicapai oleh orang yang belum mencapai tingkat kesucian. Untuk beberapa waktu lamanya, Devadatta mendapat tempat terhormat dalam Sangha, bahkan Sang Buddha sendiri pernah memujinya sebagai orang yang mempunyai kekuatan gaib yang tinggi. Tetapi di kemudian hari, Devadatta mempunyai maksud yang tidak baik terhadap Sang Buddha karena ia merasa iri atas kemasyhuran Sang Buddha.
Pertama ia mencoba untuk mempengaruhi Pangeran Ajatasattu. Ia bersalin rupa menjadi anak kecil dengan memakai kalung dari beberapa ekor ular. Tiba-tiba ia jatuh di atas pangkuan Ajatasattu, sehingga membuat Ajatasattu ketakutan. Kemudian anak kecil itu lenyap dan Devadatta berdiri di depan Ajatasattu. Peristiwa tersebut memberi kesan yang dalam sekali di hati Ajatasattu, sehingga Beliau sangat menghormat pada Devadatta.
Tiap pagi dan petang hari, Ajatasattu mengunjungi Devadatta dengan diiringi lima ratus kereta, di samping memberikan lima ratus piring makanan setiap hari. Kejadian ini menggembirakan sekali hati Devadatta, sehingga timbul niat jahatnya untuk mengambil alih kedudukan Sang Buddha sebagai Ketua Sangha.
Seorang murid Moggallana, yang bertumimbal lahir sebagai Manomayakayikadeva, mengetahui niat jahat Devadatta tersebut dan memberitahukan kepada Moggallana. Moggallana menceritakan hal tersebut kepada Sang Buddha, tetapi Sang Buddha menjawab bahwa persoalan itu tidak perlu dibicarakan sekarang, karena kelak sebelum waktunya, Devadatta akan membocorkannya sendiri.
Tidak lama kemudian, di hadapan pertemuan para bhikkhu. Devadatta mohon kepada Sang Buddha agar Sang Buddha menunjuknya sebagai Ketua Sangha, berhubung Sang Buddha sekarang sudah lanjut usianya. Atas permohonan itu Sang Buddha menjawab, “Aku tidak akan mengalihkan Pimpinan Sangha kepada Sariputta atau Moggallana, maka mustahil Aku akan mengalihkannya kepada engkau, seorang yang hina-dina.” Devadatta merasa tersinggung sekali dikatakan sebagai orang yang hina-dina.
Pada waktu itulah Ajatasattu dihasut oleh Devadatta untuk membunuh ayahnya, sedangkan ia sendiri akan membunuh Sang Buddha.
Ajatasattu menyetujui dan memerintahkan beberapa orang pemanah istana untuk membantu Devadatta membunuh Sang Buddha. Para pemanah istana tersebut ditempatkan di berbagai tempat dan diatur sedemikan rupa, sehingga akhirnya tidak ada seorang pun yang masih hidup untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Tetapi, saat Sang Buddha mendekati pemanah pertama yang harus membunuhnya, pemanah tersebut demikian terpesona dengan keagungan Sang Buddha, sehingga seluruh badannya menjadi kaku. Sang Buddha menegurnya dengan kata-kata yang ramah-tamah, sehingga pemanah tersebut membuang panahnya dan mengaku kepada Sang Buddha, apa yang sebenarnya menjadi tugasnya.
Sang Buddha memberikan uraian Dhamma kepada orang tersebut dan kemudian menyuruhnya pulang dengan mengambil jalan tertentu. Kawan-kawannya yang letih menunggu, kemudian satu persatu meninggalkan tempat penjagaannya.
Mereka semua datang ke tempat Sang Buddha, karena tertarik oleh kekuatan gaib dari Sang Buddha. Sewaktu mereka sudah berkumpul, Sang Buddha lalu memberikan uraian Dhamma kepada para pemanah tersebut. Pemanah yang pertama pergi melapor kepada Devadatta dan mengatakan bahwa ia tidak sanggup membunuh Sang Buddha, karena Sang Buddha mempunyai kekuatan gaib yang luar biasa tingginya.
Devadatta lalu mengambil keputusan untuk membunuh sendiri Sang Buddha. Suatu hari, sewaktu Sang Buddha sedang berjalan di lereng Gunung Gijjhakuta, ia mendorong sebuah batu besar yang dimaksudkan untuk menimpa mati Sang Buddha. Tiba-tiba dua tonggak besar muncul dari dalam tanah untuk menahan jatuhnya batu tersebut.
Meskipun demikian, pecahan batu tersebut masih dapat melukai kaki Sang Buddha. Sang Buddha kemudian diusung ke Ambavana, yaitu tempat tabib Jivaka untuk mendapat pengobatan seperlunya. Setelah kejadian ini, siang dan malam para murid-Nya menjaga tempat tinggal Sang Buddha. Tetapi Sang Buddha menerangkan bahwa hal tersebut tidak perlu, berhubung tidak ada seorang pun di dunia ini yang mampu membunuh seorang Buddha.
Setelah usahanya kembali gagal, Devadatta lalu membujuk seorang pawang gajah untuk melepaskan seekor gajah (yang terlebih dulu dibuat mabuk dengan memberinya minuman arak) di jalan yang akan dilalui Sang Buddha. Gajah itu besar dan buas dan terkenal dengan nama Nalagiri.
Dengan cepat berita ini tersiar dan Sang Buddha pun diberi tahu. Namun Sang Buddha menolak untuk membatalkan perjalanan-Nya. Sewaktu gajah mabuk tersebut dilepas dan memburu ke arah Sang Buddha, Ananda lari ke depan dan menempatkan dirinya antara Sang Buddha dan gajah dengan maksud untuk melindungi dan menjadi tameng dari Guru Junjungannya, meskipun terlebih dulu telah dipesan dan diperingati dengan keras oleh Sang Buddha untuk tidak berbuat apa-apa. Hanya dengan menggunakan “iddhi”, yaitu dengan membuat bumi mengerut, Sang Buddha berhasil berada di depan Ananda dan dengan pancaran cinta kasih dapat menjinakkan kembali gajah tersebut.
Setelah ketiga usahanya gagal semua, Devadatta kemudian berusaha untuk memecah belah Sangha. Ia minta kepada Sang Buddha untuk menyetujui bahwa semua bhikkhu harus mentaati peraturan seperti di bawah ini:
  1. Semua bhikkhu harus tinggal di hutan.
  2. Semua bhikkhu tidak boleh menerima undangan makan di rumah umat, tetapi mereka hanya boleh makan makanan yang diperoleh dengan jalan minta-minta.
  3. Semua bhikkhu harus memakai jubah dari kain bekas pembungkus mayat dan tidak boleh menerima persembahan jubah dari umat.
  4. Di hutan, semua bhikkhu harus tidur di bawah pohon dan tidak boleh tidur di dalam rumah.
  5. Semua bhikkhu dilarang keras makan daging dan ikan.
Sang Buddha menjawab bahwa para bhikkhu yang ingin mengikuti peraturan tersebut boleh melakukannya, kecuali “tidur di bawah pohon” selama musim hujan. Tetapi Beliau menolak untuk membuat peraturan ini berlaku bagi semua bhikkhu.
Penolakan ini membuat Devadatta gembira karena sekarang ia mempunyai alasan untuk menyebar luaskan berita bahwa Sang Buddha dan murid-murid-Nya masih terlalu terikat kepada kemewahan dan kehidupan yang serba cukup. Meskipun sudah diperingati oleh Sang Buddha tentang akibat yang menyedihkan untuk orang yang memecah belah Sangha, namun Devadatta memberitahukan Ananda bahwa ia akan mengadakan pertemuan uposatha tersendiri tanpa dihadiri oleh Sang Buddha. Devadatta berhasil membujuk lima ratus orang bhikkhu yang baru ditahbiskan untuk menyertainya pergi ke Gayasisa.
Diantaranya terdapat bhikkhuni Thullananda yang terus-menerus memuji Devadatta dan seorang dari suku Sakya bernama Dandapani.
Sang Buddha kemudian memerintahkan Sariputta dan Moggallana pergi ke Gayasisa untuk bicara dengan para bhikkhu yang terkena bujukan.
Ketika Sariputta dan Moggallana tiba di Gayasisa, mereka diterima dengan gembira oleh Devadatta, sebab Devadatta mengira bahwa Sariputta dan Moggallana berdua juga ingin bergabung dengannya.
Malam itu Devadatta berkhotbah sampai larut malam. Waktu merasa sudah letih sekali, Devadatta minta Sariputta untuk meneruskan khotbahnya, sedangkan ia sendiri pergi tidur. Sariputta berkhotbah di depan para bhikkhu dan menerangkan bahwa Devadatta sekarang sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Sang Buddha. Pada akhir khotbahnya, lima ratus orang bhikkhu tersebut bersedia kembali kepada Sang Buddha dan meninggalkan Devadatta bersama-sama Sariputta dan Moggallana.
Pengikut Devadatta yang setia, Kokalika, membangunkan Devadatta dari tidurnya dan menceritakan apa yang telah terjadi.
Mendengar berita tersebut, Devadatta muntah darah dan kemudian sakit keras selama sembilan bulan.
Sewaktu Devadatta mengetahui bahwa ia tidak lama lagi dapat hidup di dunia ini, ia minta murid-muridnya membawa ia menghadap Sang Buddha.
Ketika berita ini disampaikan kepada Sang Buddha, Beliau mengatakan bahwa hal itu tidaklah mungkin dalam kehidupan ini.
Devadatta dibawa dengan sebuah usungan. Waktu tiba di dekat Jetavanna, ia minta rombongannya berhenti sebentar karena ia ingin membersihkan badan terlebih dulu di sebuah telaga yang terdapat di pinggir jalan.
Sewaktu turun dari usungan dan kakinya menyentuh tanah, tanah itu membuka dan ia terjerumus masuk ke dalam tanah. Ketika ia hampir hilang masuk ke dalam tanah, ia masih sempat menyatakan bahwa ia hanya mencari perlindungan kepada Sang Buddha.
Ia masuk ke neraka Avici dan akan berada di alam tersebut selama seratus ribu kappa untuk kemudian lahir kembali ke dunia dan menjadi seorang Pacceka Buddha.

Tahun ke-45
Di tahun ini Sang Buddha mangkat dan mencapai Parinibbana di Kusinara pada saat purnama sidhi di bulan Vaisak (Mei) sebelum waktu ber-vassa.
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com