Klik Like !
×

Tuesday 21 July 2015

Melawan Lupa : Sejarah Perkembangan Agama Buddha di Pulau Lombok

Memahami sejarah perkembangan Agama Buddha di Nusa Tenggara Barat menjadi hal penting bagi umat Buddha di Pulau Lombok. Sebab melalui catatan-catatan sejarah itulah kita akan mengetahui lika-liku perkembangan Agama Buddha di Pulau Lombok. Mungkin di antara kita, masih banyak yang belum mengetahui bagaimana awal keberadaan agama Buddha di Lombok. Tapi jangan khawatir karena ada tulisan menarik yang sempat saya baca dan itu merupakan tulisan salah satu pelaku sejarah perkembangan umat Buddha di Lombok beliau adalah P.Md. Martinom.
Sebagai generasi muda sudah sepatutnya kita mengetahui sejarah Perkembangan Agama Buddha di Lombok. Jangan sampai kita menjadi generasi yang tidak mengenal sejarah, karena itu akan menjadi cikal bakal munculnya pemikiran-pemikiran cuek lalu perlahan akan berubah menjadi generasi yang MELUPAKAN SEJARAH, hingga tidak ada lagi keyakinan yang kokoh dalam diri untuk mempertahankan warisan yang sangat berharga ini. Munculnya tulisan ini di hadapan para sahabat Dhamma, dikarenakan minimnya sumber referensi serta timbulnya pertanyaan-pertanyaan dalam diri akan hal tersebut. Terutama saat saya mengingat pertanyaan koncol dari salah seorang sahabat, akan tetapi jawaban yang saya berikan tidak begitu meyakinkan akal itu. Pertanyaan itu sederhana "Sejak kapan menjadi umat Buddha?' Akan tetapi butuh pemahaman sejarah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tat kala mengingat pertanyaan itu, muncul anggapan dan keyakinan bahwa masih banyak umat Buddha di Lombok yang tidak mengetahui sejarah Perkembangan Agama Buddha di Lombok.
Apa yang akan saya tuliskan berikutnya merupakan tulisan dari pelaku sejarah yakni Tokoh Sesepuh umat Buddha, P.Md Martinom (semoga beliau selalu sehat). Generasi muda sudah saatnya kita mengingat alunan nyanyian sejarah yang mulai terlupakan.

Umat Buddha di Pulau Lombok merupakan suku sasak bagian 5 dari masyarakat Provinsi Nusan Tenggara Barat, yang heterogen. Mereka hidup berdampingan dengan masyarakat pemeluk agama lainnya seperti Islam, Kristen, dan Hindu, juga dengan masyarakat penganut keyakinan tradisi Wetu Telu. Hubungan yang harmonis senantiasa terjalin sejak dahulu hingga sekarang, belum ada terdengar perselisihan dengan mengatasnamakan agama . Sekali lagi hal ini sangat patut untuk disyukuri secara mendalam.
Umat Buddha di Provinsi Nusa Tenggara Barat, sebagian besar terdapat di Pulau Lombok bagian Utara dan Kabupaten Lombok Barat bagian SSelatan. Semaraknya penyambutan dan peringatan hari-hari besar agama dapat kita jumpai di vihara-vihara besar yang telah berhasil dibangun di wilayah-wilayah tempat bermukim umat Buddha.
Perjuangan para tokoh agama Buddha untuk mempertahankan eksistensi agama Buddha di Provinsi Nusa Tenggara Barat khususnya, patut diberikan ucapan muditacitta terutama sekali pasca terjadinya Tragedi Nasional 30 September 1965.
Pada masa itu masyarakat pemeluk Agama Buddha belum terorganisir dengan baik dan formal, belum memiliki vihara-vihara, mereka hanya melakukan pemujaan-pemujaan tradisional.

Kebangkitan Buddha-Dhamma di Pulau Lombok
Pada bulan Oktober di tahun 1962, datanglah seorang Samanera dari Pulau Bali. Beliau adalah seorang keturunan Brahmana kasta tertinggi di dalam tatanan masyarakat Hindu Bali. Nama beliau adalah Ida Bagus Giri. Beliau dikenal dengan sebutan Samanera Giri.
Penulis (P.Md. Martinom) bersama beberapa orang teman di Mataram seperti : Mendiang Bp. I Gede Wenten, Mendiang Bp. I Made Djawi, Bp. Ida Komang Adita, Mendiang Bp. I Nengah Djatha dan banyak lagi para undangan lainnya, Berkumpul di Gedung Sekolah Guru A (SGA) Negeri Mataram (Sekarang SMAN 5 Mataram) mendengarkan ceramah Dhamma yang pertama dari beliau.
Dengan kata-kata yang lemah lembut namun penuh kharisma, beliau berhasil menggugah hati kami dan kami tahu itulah kebenaran sejati; sehingga mulai sejak saat itu, penulis bertekat untuk mulai menghimpun masyarakat yang masih mengakui dirinya beragama Buddha yang terdapat di Pulau Lombok bagian Utara. Saat itu penulis belum tahu kalau di bagian selatan dari Pulau Lombok terdapat juga masyarakat yang mengakui agama Buddha sebagai agamanya.
Langkah Awal
1)  Mensosialisasikan Pentingnya Pendidikan dan Peningkatan Ekonomi
     Pada waktu   itu di tahun   1962, masyarakat   penganut     agama    Buddha,   dapat dikategorikan sangat terbelakang bila diukur dari segi pendidikan. Hampir 99,9% anak-anak usia sekolah tidak bersekolah. Karena kesadaran akan arti pentingnya pendidikan sangatlah rendah. Kami tidak tahu persis berapa ribu jumlah penduduk yang menganut agama Buddha di Pulau Lombok bagian Utara waktu itu tetapi yang jelas dari sekian ribu hanya 1 orang berijazah Sekolah Guru B (SGB 4 Tahun) setara SLTP dan hanya 2 orang yang berijazah Sekolah Guru A (SGA) tiga tahun setara SLTA.
Faktor penyebab inilah yang mendorong kami untuk memulai gerakan dengan memasyarakatkan pentingnya pendidikan menjadi perioritas utama.
Bersama beberapa teman seperti mendiang Bp. Sudiasim, dan Bp. Tawilam penulis sepakat untuk mengawali langkah sosialisasi kami dengan membentuk organisasi Banjar di setiap perkampungan umat Buddha. Dalam jangka waktu yang tidak terlampau panjang, kami telah mulai melihat orang tua mulai memasukkan anak-anak mereka ke sekolah yang ada. Saat itu jumlah Sekolah Dasar memang sangat langka, tetapi usaha kami sudah mulai menampakkan hasil.
Saaran kedua kami adalah di bidang ekonomi. Kami memanfaatkan potensi masyarakat yang sebagian besar adalah petani pada sawah-sawah produktif dan perkebunan kelapa. Produksi andalan saat itu adalah kacang tanah, kelapa untuk bahan baku kopra dan ketela pohon untuk bahan baku gaplek.
Kami kelola potensi itu melalui wadah semacam koperasi dan berhasil, namun sayang tidak bisa berlangsung lama karena penanganan yang tidak profesional. Namun yang jelas sejak saat itu perekonomian di kalangan umat Buddha melalui kegiatan usaha-usaha perorangan telah mulai berkembang bahkan sampai sekarang, banyak yang terangkat kesejahteraanya.

2)  Menelusuri Tradisi Masyarakat
    Untuk mencari sinkronisai dan relevansi antara nilai-nilai tradisi yang berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat penganut agama Buddha pada waktu itu dengan nilai-nilai Dhamma, kami berusaha mendekatinya dengan cara mendalami tradisi masyarakat. Seperti yang telah kami kemukakan di atas, masyarakat penganut agama Buddha di Pulau Lombok bagian utara sebagian besar memiliki mata pencaharian pokok sebagai petani. Dua kali dalam setahun mereka melakukan upacara tradisi yang disebut "Nunas Kaya" dan "Muleq Kaya". (Kaya = Kehidupan).
"Nunas Kaya", dilakukan pada saat padi di sawah telah mulai keluar buah sekitar bulan Mei atau Juni. "Muleq Kaya", dilakukan pada saat musim palawija sesudah panen padi di sawah atau di huma (ladang dengan membuka hutan) sekitar bulan September atau Oktober. Inti atau makna yang terkandung dari upacara "nunas kaya" adalah upacara memberikan persembahan kepada leluhur dengan mengharapkan padi di sawah maupun di huma memperoleh hasil yang padat dan banyak. Nunus artinya memohon.
Sedangkan "muleq kaya" adalah upacara memberikan persembahan kepada leluhur sebagai ucapan terima kasih atas panen yang berhasil. Muleq artinya mengembalikan. Sinkron dengan Katannu Katavedi. Baik pada saat Nunas kaya maupun pada saat muleq kaya, doa yang dipanjatkan oleh Belian (yang mempersembahkan persembahan) dan juga Pemangku (Pemimpin upacara) selalu dimulai dengan hitungan satu sampai hitungan tujuh dan baru kemudian menyebut Betara Guru, Betara Sakti, Betara Jeneng, Idodari Sakti, Idodari Jeneg. (Kata Betara = Sebutan untuk para dewa laki-laki, sedangkan Idodari = Sebutan untuk para dewa perempuan). Bunyi doanya sebagai beriktut:
"Saq dua telu empat lime enem, piiiiiiiituq; tabeq kula Sang Hyang Sri aturang kula tibaq Sang Hyang Tetungguran, tibaq Sang Hyang Kembulan da epeng kula, aturang kula tibaq Betara Guru, Betara Sakti, Betara Jeneng, Idodari Sakti, Idodari Jeneng; jeriji sepuluh, lekoq goro buak ngelotok da epeng kula, buat pelih salaq atus kula arep ragan pemban kula nunas jeneng, kula nunas serminang, kula nunas rahayu reseki berkat da epeng kula".

Yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya lebih kurang sebagai berikut:
"Satu dua tiga empat lima enam tuuuuujuh, hormat kepada Sang Hyang Sri persembahankanlah persembahan hamba kepada Sang Hyang Pepujan (yang patut untuk dipuja), Sang Hyang Tetungguran (yang menjadi pangkal utama), Sang Hyang Kembulan (modal utama) dialah milik hamba, persembahkanlah persembahan hamba kepada Betara Guru (yang menjadi guru), Betara Sakti (yang memiliki kehabatan dan kekuatan).
Betara Jeneng (yang melindungi), Idodari Sakti (yang memiliki kehebatan dan kekuatan), Idodari Jeneng (yang melindungi); jari sepuluh (maksudnya telapak tangan yang tercakup dengan jari-jari yang berjumlah sepuluh), sirih yang telah layu dan pinang yang telah kering dialah milik hamba bila salah sembah hamba ini, hamba mohon maaf yang sebesar-besarnya, hamba mohon perlindungan, hamba mohon senantiasi dilihat, hamba mohon kemuliaan, hamba mohon rezeki yang ada berkahnya, dialah milik hamba.

Doa ini kami masyarakatkan sinkron atau identik dengan Tisarana, dan hitungan yang selaluh tujuh kami sinkronkan dengan tujuh faktor penerangan batin, yaitu sati, dhammavicayo, virya, piti, passadhi, samadhi, dan upekkha.
Tempat upacara disebut PEPUJAN tempat memberi penghormatan. Lantai bangunan terbuat dari tanah berbentuk segi empat sama sisi (bujur sangkar) dengan sisi berukuran 2,5 meter; terdiri tiga undak, dan pada undak yang ketiga tepat di tengah-tengah didirikan sebuah batu kurang lebih 50 cm (hanya satu) tegak lurus ke atas. Ini kami sinkronkan dengan STUPA.
Kemudian pada upacara-upacara AYU (Manggala), yang dominan adalah warna kuning; selendang untuk menggendong bayi yang akan turun ke tanah atau potong rambut, baju rajut yang terbuat dari benang pintal berwatna kuning, nasi tumpeng juga berwarna kuning. Warna kuning kami sosialisasikan sebagai warna yanag disucikan dalam keyakinan agama Buddha.
Yang paling menonjolkan Hukum Kamma adalah semboyan bersikap dan bertingkah laku yang memang memasyarakat sejak dahulu di kalangan masyarakat penganut agama Buddha di Pulau Lombok, adalah:
"Lenge peaq diq gaweq man lenge peaq dik dait. 
Bagus peaq diq gaweq, man bagus peaq diq dait"
Artinya: "Jelek yang kamu lakukan, pasti jelek yang akan kamu jumpai. Bagus yang kamu lakukan, pasti bagus yang akan kamu temui." Semboyan ini kami sinkronkan dengan ajaran Buddha tentang Hukum Karma.
Melalui pendekatan tradisi ini, pada akhirnya kami berhasil memberikan dan menanamkan pemahaman awal sebagai langkah pertama mendalami Dhamma ajaran Sang Guru Agung junjungan kita Sang Buddha. Membacakan paritta, sutta dan gatha, juga dhammadesana mulai saat itu selalu kami lakukan pada setiap upacara baik upacara Ayu (Manggala) maupun upacara Ala (Awamanggala). Inilah awal kebangkitan.

3)  Mencari Hubungan dengan Pusat
     Pasca tragedi nasional 30 September 1965, merupakan masa-masa gawat dalam mempertahankan eksistensi Agama Buddha di Pulau Lombok. Banyak tulisan-tulisan yang muncul di koran-koran lokal yang menuliskan bahwa masyarakat Boda (tidak ditulis Buddha) belum memiliki agama dan masih menyembah berhala, diglongkan masyarakatan animistis, belum memiliki agama sehingga beberapa pihak mendesak kami untuk menentukan sikap. Di pulau Lombok bagian selatan selain di Ganjar dan Tendaun, ada satu desa yang namanya Pengantap. Sebagai akibat dari desakan situasi saar itu akhirnya mereka semuanya meninggalkan pengakuan mereka sebagai masyarakat pemeluk Agama Buddha. Kami dapat dikatakan tidak berdaya menghadapi situasi dan kondsi saat itu. Itulah realita dari sebuah perjalanan; perjalanan yang memang meruapakan kamma dari masyarakat yang bersangkutan.
Pada saat itu di tempat-tempat pepujan kami telah membaca paritta, sutta dan gatha yang kami pelajari dari buku-buku yang dikirim oleh Bhikkhu Girirakkhito kala itu. Mungkin karena kami belum memiliki Vihara sebagai tempat yang seharusnya untuk melaksanakan kebaktian dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya.
Mulailah kami berpikir untuk membangun sebuah vihara sebagai vihara pertama di tempat yang kami pandang terletak di tengah-tengah sehingga mudah dijangkau dari segala arah dan cetya-cetya di setiap banjar di perkampungan umat Buddha.
Pada bulan Juli 1967, kami mengundang Bhikkhu Girirakkhito untuk datang ke Lombok tepatnya ke Tanjung di Desa Lendang Bila (sekarang Tegal Maja). Untuk penginapan beliau dan untuk mengurus segala kebutuhan beliau selama di Lombok, jasa kebajikan yang tak terlupakan telah dilakukan oleh mendiang Bapak I Gede Badjra sekeluarga. Di kediaman beliau pula untuk pertama kali kami berkumpul bersama para pemuka masyarakat Buddhis Lombok Utara, umat Buddha yang bermukim di Kota Cakranegara, dan juga yang berasal dari Ganjar dan Tendaun. Keluarga mendiang Bapak I Gede Badjra sampai sekarang ini selalu menjadi tempat istirahat para Bhikkhu sebelum berkunjung ke vihara-vihara atau ketika mau kembali dari kunjungan ke Lombok ataupun juga yang kembali ke Jakarta.
Acara pokok kedatangan Bhikkhu Girrirakkhito kali ini adalah peletakan batu pertama Vihara Sangupati dan peletakan Buddha Rupang di Cetya Jaya Wijaya yang kelak menjadi cikal bakal Vihara Jaya Wijaya di Tebango Kecamatan Pemenang Lombok Utara.
Vihara pertama di pulau Lombok ini oleh Bhikkhu Girirakkitho diberi nama Vihara Sangupati artinya Bekal Kehidupan. 
Kemudian pada tahun 1971, dengan diantar oleh Bapak I Komang Gede Susena Dharma, kami bertiga yaitu : Bp. Sudiasim, Bapak Tawilam dan penulis, berangkat ke Jakarta menghadap Direktur Pembimbing Masyarakat Buddha Bapak Oka Diputhera untuk melaporkan keberadaan masyarakat Buddhis di Pulau Lombok. Pada waktu itu juga kami dipertemukan dengan Bapak Soemantri M. Saleh dan Romo Pandita Karbono. Sejak saat itu kami bergabung dalam wadah PERBUDHI, kemudian MAPANBUDHI, dalam Persamuan Agung tahu 1995 berubah nama menjadi MAGABUDHI.
Eksistensi agama Buddha di Pulau Lombok berhasil dipertahankan sampai sekarang, merupakan berkah yang luar biasa dari Sang Tiratana yang harus tetap dipelihara dan ditingkatkan pemahaman Dhamma yang diaktualisasikan dalam cara berpikir, berucap dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari.

0 komentar:

Post a Comment

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com