Memahami sejarah perkembangan Agama
Buddha di Nusa Tenggara Barat menjadi hal penting bagi umat Buddha di
Pulau Lombok. Sebab melalui catatan-catatan sejarah itulah kita akan
mengetahui lika-liku perkembangan Agama Buddha di Pulau Lombok. Mungkin
di antara kita, masih banyak yang belum mengetahui bagaimana awal
keberadaan agama Buddha di Lombok. Tapi jangan khawatir karena ada
tulisan menarik yang sempat saya baca dan itu merupakan tulisan salah
satu pelaku sejarah perkembangan umat Buddha di Lombok beliau adalah P.Md. Martinom.
Sebagai
generasi muda sudah sepatutnya kita mengetahui sejarah Perkembangan
Agama Buddha di Lombok. Jangan sampai kita menjadi generasi yang tidak
mengenal sejarah, karena itu akan menjadi cikal bakal munculnya
pemikiran-pemikiran cuek lalu perlahan akan berubah menjadi generasi
yang MELUPAKAN SEJARAH, hingga tidak ada lagi keyakinan yang kokoh dalam
diri untuk mempertahankan warisan yang sangat berharga ini. Munculnya
tulisan ini di hadapan para sahabat Dhamma, dikarenakan
minimnya sumber referensi serta timbulnya pertanyaan-pertanyaan dalam
diri akan hal tersebut. Terutama saat saya mengingat pertanyaan koncol
dari salah seorang sahabat, akan tetapi jawaban yang saya berikan tidak
begitu meyakinkan akal itu. Pertanyaan itu sederhana "Sejak kapan
menjadi umat Buddha?' Akan tetapi butuh pemahaman sejarah untuk menjawab
pertanyaan tersebut. Tat kala mengingat pertanyaan itu, muncul anggapan
dan keyakinan bahwa masih banyak umat Buddha di Lombok yang tidak
mengetahui sejarah Perkembangan Agama Buddha di Lombok.
Apa yang akan saya tuliskan berikutnya merupakan tulisan dari pelaku sejarah yakni Tokoh Sesepuh umat Buddha, P.Md Martinom (semoga beliau selalu sehat). Generasi muda sudah saatnya kita mengingat alunan nyanyian sejarah yang mulai terlupakan.
Umat
Buddha di Pulau Lombok merupakan suku sasak bagian 5 dari masyarakat
Provinsi Nusan Tenggara Barat, yang heterogen. Mereka hidup berdampingan
dengan masyarakat pemeluk agama lainnya seperti Islam, Kristen, dan
Hindu, juga dengan masyarakat penganut keyakinan tradisi Wetu Telu.
Hubungan yang harmonis senantiasa terjalin sejak dahulu hingga sekarang,
belum ada terdengar perselisihan dengan mengatasnamakan agama . Sekali
lagi hal ini sangat patut untuk disyukuri secara mendalam.
Umat
Buddha di Provinsi Nusa Tenggara Barat, sebagian besar terdapat di
Pulau Lombok bagian Utara dan Kabupaten Lombok Barat bagian SSelatan.
Semaraknya penyambutan dan peringatan hari-hari besar agama dapat kita
jumpai di vihara-vihara besar yang telah berhasil dibangun di
wilayah-wilayah tempat bermukim umat Buddha.
Perjuangan
para tokoh agama Buddha untuk mempertahankan eksistensi agama Buddha di
Provinsi Nusa Tenggara Barat khususnya, patut diberikan ucapan
muditacitta terutama sekali pasca terjadinya Tragedi Nasional 30
September 1965.
Pada masa
itu masyarakat pemeluk Agama Buddha belum terorganisir dengan baik dan
formal, belum memiliki vihara-vihara, mereka hanya melakukan
pemujaan-pemujaan tradisional.
Kebangkitan Buddha-Dhamma di Pulau Lombok
Pada
bulan Oktober di tahun 1962, datanglah seorang Samanera dari Pulau
Bali. Beliau adalah seorang keturunan Brahmana kasta tertinggi di dalam
tatanan masyarakat Hindu Bali. Nama beliau adalah Ida Bagus Giri. Beliau
dikenal dengan sebutan Samanera Giri.
Penulis
(P.Md. Martinom) bersama beberapa orang teman di Mataram seperti :
Mendiang Bp. I Gede Wenten, Mendiang Bp. I Made Djawi, Bp. Ida Komang
Adita, Mendiang Bp. I Nengah Djatha dan banyak lagi para undangan
lainnya, Berkumpul di Gedung Sekolah Guru A (SGA) Negeri Mataram
(Sekarang SMAN 5 Mataram) mendengarkan ceramah Dhamma yang pertama dari
beliau.
Dengan kata-kata
yang lemah lembut namun penuh kharisma, beliau berhasil menggugah hati
kami dan kami tahu itulah kebenaran sejati; sehingga mulai sejak saat
itu, penulis bertekat untuk mulai menghimpun masyarakat yang masih
mengakui dirinya beragama Buddha yang terdapat di Pulau Lombok bagian
Utara. Saat itu penulis belum tahu kalau di bagian selatan dari Pulau
Lombok terdapat juga masyarakat yang mengakui agama Buddha sebagai
agamanya.
Langkah Awal
1) Mensosialisasikan Pentingnya Pendidikan dan Peningkatan Ekonomi
Pada waktu itu di tahun 1962, masyarakat penganut agama
Buddha, dapat dikategorikan sangat terbelakang bila diukur dari segi
pendidikan. Hampir 99,9% anak-anak usia sekolah tidak bersekolah. Karena
kesadaran akan arti pentingnya pendidikan sangatlah rendah. Kami tidak
tahu persis berapa ribu jumlah penduduk yang menganut agama Buddha di
Pulau Lombok bagian Utara waktu itu tetapi yang jelas dari sekian ribu
hanya 1 orang berijazah Sekolah Guru B (SGB 4 Tahun) setara SLTP dan
hanya 2 orang yang berijazah Sekolah Guru A (SGA) tiga tahun setara
SLTA.
Faktor penyebab
inilah yang mendorong kami untuk memulai gerakan dengan memasyarakatkan
pentingnya pendidikan menjadi perioritas utama.
Bersama
beberapa teman seperti mendiang Bp. Sudiasim, dan Bp. Tawilam penulis
sepakat untuk mengawali langkah sosialisasi kami dengan membentuk
organisasi Banjar di setiap perkampungan umat Buddha. Dalam jangka waktu
yang tidak terlampau panjang, kami telah mulai melihat orang tua mulai
memasukkan anak-anak mereka ke sekolah yang ada. Saat itu jumlah Sekolah
Dasar memang sangat langka, tetapi usaha kami sudah mulai menampakkan
hasil.
Saaran kedua kami
adalah di bidang ekonomi. Kami memanfaatkan potensi masyarakat yang
sebagian besar adalah petani pada sawah-sawah produktif dan perkebunan
kelapa. Produksi andalan saat itu adalah kacang tanah, kelapa untuk
bahan baku kopra dan ketela pohon untuk bahan baku gaplek.
Kami
kelola potensi itu melalui wadah semacam koperasi dan berhasil, namun
sayang tidak bisa berlangsung lama karena penanganan yang tidak
profesional. Namun yang jelas sejak saat itu perekonomian di kalangan
umat Buddha melalui kegiatan usaha-usaha perorangan telah mulai
berkembang bahkan sampai sekarang, banyak yang terangkat
kesejahteraanya.
2) Menelusuri Tradisi Masyarakat
Untuk mencari sinkronisai dan relevansi antara nilai-nilai tradisi yang
berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat penganut agama Buddha
pada waktu itu dengan nilai-nilai Dhamma, kami berusaha mendekatinya
dengan cara mendalami tradisi masyarakat. Seperti yang telah kami
kemukakan di atas, masyarakat penganut agama Buddha di Pulau Lombok
bagian utara sebagian besar memiliki mata pencaharian pokok sebagai
petani. Dua kali dalam setahun mereka melakukan upacara tradisi yang
disebut "Nunas Kaya" dan "Muleq Kaya". (Kaya = Kehidupan).
"Nunas Kaya", dilakukan pada saat padi di sawah telah mulai keluar buah sekitar bulan Mei atau Juni. "Muleq Kaya", dilakukan
pada saat musim palawija sesudah panen padi di sawah atau di huma
(ladang dengan membuka hutan) sekitar bulan September atau Oktober. Inti
atau makna yang terkandung dari upacara "nunas kaya" adalah upacara
memberikan persembahan kepada leluhur dengan mengharapkan padi di sawah
maupun di huma memperoleh hasil yang padat dan banyak. Nunus artinya memohon.
Sedangkan
"muleq kaya" adalah upacara memberikan persembahan kepada leluhur
sebagai ucapan terima kasih atas panen yang berhasil. Muleq artinya mengembalikan. Sinkron dengan Katannu Katavedi. Baik pada saat Nunas kaya maupun pada saat muleq kaya,
doa yang dipanjatkan oleh Belian (yang mempersembahkan persembahan) dan
juga Pemangku (Pemimpin upacara) selalu dimulai dengan hitungan satu sampai hitungan tujuh dan baru kemudian menyebut Betara Guru, Betara Sakti, Betara Jeneng, Idodari Sakti, Idodari Jeneg. (Kata
Betara = Sebutan untuk para dewa laki-laki, sedangkan Idodari = Sebutan
untuk para dewa perempuan). Bunyi doanya sebagai beriktut:
"Saq
dua telu empat lime enem, piiiiiiiituq; tabeq kula Sang Hyang Sri
aturang kula tibaq Sang Hyang Tetungguran, tibaq Sang Hyang Kembulan da
epeng kula, aturang kula tibaq Betara Guru, Betara Sakti, Betara Jeneng,
Idodari Sakti, Idodari Jeneng; jeriji sepuluh, lekoq goro buak ngelotok
da epeng kula, buat pelih salaq atus kula arep ragan pemban kula nunas
jeneng, kula nunas serminang, kula nunas rahayu reseki berkat da epeng
kula".
Yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya lebih kurang sebagai berikut:
"Satu
dua tiga empat lima enam tuuuuujuh, hormat kepada Sang Hyang Sri
persembahankanlah persembahan hamba kepada Sang Hyang Pepujan (yang
patut untuk dipuja), Sang Hyang Tetungguran (yang menjadi pangkal
utama), Sang Hyang Kembulan (modal utama) dialah milik hamba,
persembahkanlah persembahan hamba kepada Betara Guru (yang menjadi
guru), Betara Sakti (yang memiliki kehabatan dan kekuatan).
Betara
Jeneng (yang melindungi), Idodari Sakti (yang memiliki kehebatan dan
kekuatan), Idodari Jeneng (yang melindungi); jari sepuluh (maksudnya
telapak tangan yang tercakup dengan jari-jari yang berjumlah sepuluh),
sirih yang telah layu dan pinang yang telah kering dialah milik hamba
bila salah sembah hamba ini, hamba mohon maaf yang sebesar-besarnya,
hamba mohon perlindungan, hamba mohon senantiasi dilihat, hamba mohon
kemuliaan, hamba mohon rezeki yang ada berkahnya, dialah milik hamba.
Doa
ini kami masyarakatkan sinkron atau identik dengan Tisarana, dan
hitungan yang selaluh tujuh kami sinkronkan dengan tujuh faktor
penerangan batin, yaitu sati, dhammavicayo, virya, piti, passadhi,
samadhi, dan upekkha.
Tempat
upacara disebut PEPUJAN tempat memberi penghormatan. Lantai bangunan
terbuat dari tanah berbentuk segi empat sama sisi (bujur sangkar) dengan
sisi berukuran 2,5 meter; terdiri tiga undak, dan pada undak yang
ketiga tepat di tengah-tengah didirikan sebuah batu kurang lebih 50 cm
(hanya satu) tegak lurus ke atas. Ini kami sinkronkan dengan STUPA.
Kemudian pada upacara-upacara AYU (Manggala), yang dominan adalah warna kuning; selendang untuk menggendong bayi yang akan turun ke tanah atau potong rambut, baju rajut yang terbuat dari benang pintal berwatna kuning, nasi tumpeng juga berwarna kuning. Warna kuning kami sosialisasikan sebagai warna yanag disucikan dalam keyakinan agama Buddha.
Yang paling menonjolkan Hukum Kamma adalah semboyan bersikap dan bertingkah laku yang memang memasyarakat sejak dahulu di kalangan masyarakat penganut agama Buddha di Pulau Lombok, adalah:
Kemudian pada upacara-upacara AYU (Manggala), yang dominan adalah warna kuning; selendang untuk menggendong bayi yang akan turun ke tanah atau potong rambut, baju rajut yang terbuat dari benang pintal berwatna kuning, nasi tumpeng juga berwarna kuning. Warna kuning kami sosialisasikan sebagai warna yanag disucikan dalam keyakinan agama Buddha.
Yang paling menonjolkan Hukum Kamma adalah semboyan bersikap dan bertingkah laku yang memang memasyarakat sejak dahulu di kalangan masyarakat penganut agama Buddha di Pulau Lombok, adalah:
"Lenge peaq diq gaweq man lenge peaq dik dait.
Bagus peaq diq gaweq, man bagus peaq diq dait"
Artinya:
"Jelek yang kamu lakukan, pasti jelek yang akan kamu jumpai. Bagus yang
kamu lakukan, pasti bagus yang akan kamu temui." Semboyan ini kami
sinkronkan dengan ajaran Buddha tentang Hukum Karma.
Melalui
pendekatan tradisi ini, pada akhirnya kami berhasil memberikan dan
menanamkan pemahaman awal sebagai langkah pertama mendalami Dhamma
ajaran Sang Guru Agung junjungan kita Sang Buddha. Membacakan paritta,
sutta dan gatha, juga dhammadesana mulai saat itu selalu kami lakukan
pada setiap upacara baik upacara Ayu (Manggala) maupun upacara Ala
(Awamanggala). Inilah awal kebangkitan.
3) Mencari Hubungan dengan Pusat
Pasca tragedi nasional 30 September 1965, merupakan masa-masa gawat
dalam mempertahankan eksistensi Agama Buddha di Pulau Lombok. Banyak
tulisan-tulisan yang muncul di koran-koran lokal yang menuliskan bahwa
masyarakat Boda (tidak ditulis Buddha) belum memiliki agama dan
masih menyembah berhala, diglongkan masyarakatan animistis, belum
memiliki agama sehingga beberapa pihak mendesak kami untuk menentukan
sikap. Di pulau Lombok bagian selatan selain di Ganjar dan Tendaun, ada
satu desa yang namanya Pengantap. Sebagai akibat dari desakan situasi
saar itu akhirnya mereka semuanya meninggalkan pengakuan mereka sebagai
masyarakat pemeluk Agama Buddha. Kami dapat dikatakan tidak berdaya
menghadapi situasi dan kondsi saat itu. Itulah realita dari sebuah
perjalanan; perjalanan yang memang meruapakan kamma dari masyarakat yang
bersangkutan.
Pada saat
itu di tempat-tempat pepujan kami telah membaca paritta, sutta dan gatha
yang kami pelajari dari buku-buku yang dikirim oleh Bhikkhu
Girirakkhito kala itu. Mungkin karena kami belum memiliki Vihara sebagai
tempat yang seharusnya untuk melaksanakan kebaktian dan
kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya.
Mulailah
kami berpikir untuk membangun sebuah vihara sebagai vihara pertama di
tempat yang kami pandang terletak di tengah-tengah sehingga mudah
dijangkau dari segala arah dan cetya-cetya di setiap banjar di
perkampungan umat Buddha.
Pada
bulan Juli 1967, kami mengundang Bhikkhu Girirakkhito untuk datang ke
Lombok tepatnya ke Tanjung di Desa Lendang Bila (sekarang Tegal Maja).
Untuk penginapan beliau dan untuk mengurus segala kebutuhan beliau
selama di Lombok, jasa kebajikan yang tak terlupakan telah dilakukan
oleh mendiang Bapak I Gede Badjra sekeluarga. Di kediaman beliau pula
untuk pertama kali kami berkumpul bersama para pemuka masyarakat Buddhis
Lombok Utara, umat Buddha yang bermukim di Kota Cakranegara, dan juga
yang berasal dari Ganjar dan Tendaun. Keluarga mendiang Bapak I Gede
Badjra sampai sekarang ini selalu menjadi tempat istirahat para Bhikkhu
sebelum berkunjung ke vihara-vihara atau ketika mau kembali dari
kunjungan ke Lombok ataupun juga yang kembali ke Jakarta.
Acara
pokok kedatangan Bhikkhu Girrirakkhito kali ini adalah peletakan batu
pertama Vihara Sangupati dan peletakan Buddha Rupang di Cetya Jaya
Wijaya yang kelak menjadi cikal bakal Vihara Jaya Wijaya di Tebango
Kecamatan Pemenang Lombok Utara.
Vihara pertama di pulau Lombok ini oleh Bhikkhu Girirakkitho diberi nama Vihara Sangupati artinya Bekal Kehidupan.
Kemudian
pada tahun 1971, dengan diantar oleh Bapak I Komang Gede Susena Dharma,
kami bertiga yaitu : Bp. Sudiasim, Bapak Tawilam dan penulis, berangkat
ke Jakarta menghadap Direktur Pembimbing Masyarakat Buddha Bapak Oka
Diputhera untuk melaporkan keberadaan masyarakat Buddhis di Pulau
Lombok. Pada waktu itu juga kami dipertemukan dengan Bapak Soemantri M.
Saleh dan Romo Pandita Karbono. Sejak saat itu kami bergabung dalam
wadah PERBUDHI, kemudian MAPANBUDHI, dalam Persamuan Agung tahu 1995
berubah nama menjadi MAGABUDHI.
Eksistensi
agama Buddha di Pulau Lombok berhasil dipertahankan sampai sekarang,
merupakan berkah yang luar biasa dari Sang Tiratana yang harus tetap
dipelihara dan ditingkatkan pemahaman Dhamma yang diaktualisasikan dalam
cara berpikir, berucap dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari.
0 komentar:
Post a Comment