Keberadaan
umat Buddha di Lombok tidak terlepas dari tradisi-tradisi yang secara
turun-temurun diwariskan oleh nenek moyang kepada generasi penerusnya.
Dalam artikel kali ini, yang diulas adalah tentang tradisi yang di
kalangan umat Buddha di Lombok Utara. Artikel ini pun merupakan
kelanjutan dari artikel sebelumnya yang berjudul "Melawan Lupa : Sejarah Perkembangan Umat Buddha di Lombok".
Oleh karena itu, tulisan ini di ambil dari tulisan P.Md. Martinom.
Beliau termasuk salah satu tokoh Umat Buddha di Lombok, beliau juga
merupakan salah seorang pelaku sejarah dalam perkembangan Agama Buddha
di Lombok. Berbagai bentuk tradisi itu pun hingga saat ini masih ada
yang terjaga dengan baik.
Tradisi Upacara Ayu (Manggala)
Upacara tradisional yang bertahan sampai sekarang, antara lain:
1. Upacara Kelahiran
a) Upacara Nawarin
Upacara Nawarin dilakukan pada saat kandungan genap tujuh bulan. Bedak
yang terbuat dari tepung berwarna kuning yang telah dilarutkan dengan
air di atas cawan putih kemudian dipercikkan dengan mempergunakan daun
sirih ke badan wanita yang sedang mengandung bayinya mulai dari telapak
tangan kanan nauk ke bahu kemudian turun melalui bahu kiri dan berakhir
di telapak tangan kiri.
b) Upacara Embuang Au
Sejak bayi lahir biasanya di dalam rumah dinyalakan api. Abu dari api tersebut dibuang pada saat sang bayi boleh keluar rumah.
c) Upacara Potong Rambut (menunang)
Menunang artinya menurunkan. Setelah upacara menunang ini,
barulah bayi boleh diturunkan ke tanah setelah rambutnya digunduli.
d) Upacara Mengasak
Mengasak
artinya mengasah. Upacara ini dilakukan bagi anak yang telah mencapi
umur remaja. Pada upacara ini para remaja putra maupun putri mengikuti
upacara mengasah, yaitu upacara potong gigi. Setelah upacara mengasak,
barulah remaja putra dan putri yang telah matang usianya untuk berumah
tangga, barulah boleh melangsungkan perkawinan.
2. Upacara Nunas Kaya dan Muleq Kaya
Menurut pengamatan penulis, upacara-upacara Tradisi Nunas Kaya dan Tradisi Muleq Kaya, pada hakekatnya adalah Pattidana.
Persembahan
untuk Sang Hyang Pepujan, Sang Hyang Tetungguran, Sang Hyang Kembulan,
Betara dan Idodari diletakkan di bangunan utama. Di samping itu kiri
bangunan utama terdapat lagi bangunan berbentuk bujur sangkar dengan
sisi 2,5 meter dan tinggi 2 meter. Di atas bangunan ini diletakkan
persembahan khusus untuk nenek moyang (leluhur), yang pada keesokan
harinya setelah upacara melusut (menurunkan) di bagi-bagi kepada khalayak yang hadir pada hari itu.
Tradisi Upacara Ayu (Awamanggala)
1. Upacara Peringatan Kematian
Upacara peringatan kematian terdiri dari upacara tiga hari dan tujuh hari terhitung sejak yang bersangkutan meningga.
2. Upacara Menyoyang
Menyonyang berasal dari asal kata soyang dari kata sawe'an yang berarti terakhir, maksudnya adalah upacara yang terakhir bagi mendiang yang bersangkutan.
Kata soyang juga berasal dari kata siung artinya
hari seribu mendiang yang bersangkutan meninggal dunia yang pada umunya
upacara ini dilakukan setelah 3 tahun mendiang meninggal dunia.
0 komentar:
Post a Comment