Klik Like !
×

Tuesday 21 July 2015

Asal-usul Agama Buddha di Pulau Lombok

Artikel yang berjudul "Asal Usul Agama Buddha di Pulau Lombok" ini merupakan kelajutan dari artikel sebelumnya yang berjudul "Melawan Lupa : Sejarah Perkembangan Agama Buddha di Pulau Lombok" dan juga merupakan kelanjutan dari tulisan P.Md. Martinom. Berikut ulasanya tentang asal usul Agama Buddha di Lombok. 
Periode Abad VIII dan IX Masehi
1.  Empat buah arca Buddha yang terbuat dari perunggu ditemukan pada tahun 1960 di Lombok Timur tepatnya di sekitar lokasi Makam raja-raja Selaparang. Empat arca tersebut konon masih tersimpan di Museum Nasional Jakarta, dua di antaranya dikenal sebagai patung Dewi Tara dan Dewi Avalokitesvara. Menurut Dr. Sukanto Dept. Pendidikan dan Kebudayaan Kanwil Prov. NTB Makam Selaparang Lombok  (Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala NTB salah satu dari empat arca tersebut ada kesamaan dengan arca-arca yang terdapat di Candi Borobudur.
Merujuk kepada temuan dan pendapat Dr. Sukanto tersebut, maka ada kemungkinan agama Buddha di Pulau Lombok telah ada sejak abad VIII dan abad IX pada masa keemasan Kedatuan Sriwijaya. Tampaknya pada masa sebelumnya penyebaran Agama Islam, Kerajaan Selaparang merupakan kerajaan yang para rajanya menganut Agama Buddha. Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya tanda-tanda pada batu nisan makam raja-raja Selaparang terdapat dua ciri yang mendukung asumsi tersebut. Ada makam-makam yang pada batu nisanya terdapat gambar cakra dan sebagian lagi ada makam-makam yang batu nisanya bertulisan aksara Arab: "Allah".
2.  Nama Pulau Sumbawa oleh penduduk setempat disebut SAMAWA. Ada kemungkinan nama tersebut berasal dari bahasa Pali SAMMA dan VA. Sammava yang berarti "hanya yang benar".  Bila hal ini benar, maka ini berarti Agama Buddha pernah ada di Pulau Sumbawa.
3.  Sepanjang pantai utara Pulau Lombok, terdapat kedatuan-kedatuan kecil yang nama-namanya masih terdapat sampai sekarang, Seperti Kedatuan Bayan, Kerta Gangga, Gegelang, Bebekeq, Sokong Belimbing, dan Sokong Kembang Dangar. Istilah kedatuan dikenal pada masa kerajaan Sriwijaya.
Menilik bukti-bukti tersebut di atas dapat dapat diperkirakan bahwa sejak abad VII dan Abad IX agama Buddha telah ada di Pulau Lombok dan Sumbawa.
Periode Kedua Abad Ke XIV
        Menurut piagam Manggala, atau dikenal juga sebagai Prasasti Jeliman Ireng, umat Buddha yang ada di Tebanngo, Mambalan, Gontor Macan, Ganjar, Tendaun, dan Pengantap, tiba di Pulau Lombok pada awal abad XIV tepatnya pada tahun 1301 bersamaan dengan dilaksanakannya Sumpah Amukti Palapa Maha Patih Gajah Mada dari Keraton Majapahit.
Tebango terdiri dari Tebango Ideq (Hilir) dan Tebango Bolot (Hulu) merupakan perkampungan umat Buddha yang terletak di Kecamatan Pemenang Kabupaten Lombok Utara, sementara Ganjar dan Tendaun adalah perkampungan umat Buddha yang terletak di Kecamatan Sekotong (sekarang kecamatan Lembar) Kabupaten Lombok Barat bagian selatan. Pada saat itu ikut serta pula seorang Resi yang di Pulau Bali dikenal dengan sebutan Batara Sakti Wau Rawuh atau Dangiang Dwijendra, di Pulau Lombok dikenal dengan sebutan Pangeran Sangupati dan di Pulau Sumbawa  dikenal dengan sebutan Pangeran Pangeran Semeru. Beliau datang dengan mengikutsertakan beberapa tokoh dari pulau Bali yang nantinya menjadi leluhur dari umat Buddha di Tebango, Ganjar, dan Tendaun. Salah satu diantaranya adalah Sang Aji Demen. Dahulunya umat Buddha di Tebango memiliki tradisi merayakan Hari Raya Galungan dan Kuningan yang merupakan hari raya untuk memperingati kemenangan Dharma dari pengaruh-pengaruh Adharman seperti yang biasa dirayakan oleh Umat Hindu di Pulau Bali. Demikian pula halnya dengan di Ganjar dan Tendaun. Mereka hanya merayakan Hari Raya Kuningan saja tanpa memperingati Hari Raya Galungan.
Dari bukti yang tertulis pada Prasasti ini, periode kedua kedatangan Umat Buddha di Pulau Lombok terjadi awal abad XIV bersamaan dengan pelaksanaan misi kerajaan Majapahit.

Periode Ketiga
    Seiring dengan kemajuan di bidang ekonomi dan transportasi khususnya pelayaran, kedatangan pedagang-pedagang Cina ke Nusantara termasuk ke Pulau Lombok pada sekitar abad ke XVIII, membawa pengaruh pula terhadap perkembangan agama Buddha di Pulau Lombok. Sebagian besar dari mereka bermukim di daerah pelabuhan dan pusat perdagangan di Ampenan, Cakranegara, Labuhan Haji, dan Sumbawa Besar.
Di Ampenan terdapat sebuah Kelenteng Besar yang kemudian menajdi Vihara Bodhi Dharma yang menjadi tempat persembahyangan bagi umat Buddha yang berdiam di wilayah perkotaan.

1 comment:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com