Artikel yang berjudul "Asal Usul Agama Buddha di Pulau Lombok" ini merupakan kelajutan dari artikel sebelumnya yang berjudul "Melawan Lupa : Sejarah Perkembangan Agama Buddha di Pulau Lombok" dan juga merupakan kelanjutan dari tulisan P.Md. Martinom. Berikut ulasanya tentang asal usul Agama Buddha di Lombok.
Periode Abad VIII dan IX Masehi
1.
Empat buah arca Buddha yang terbuat dari perunggu ditemukan pada tahun
1960 di Lombok Timur tepatnya di sekitar lokasi Makam raja-raja
Selaparang. Empat arca tersebut konon masih tersimpan di Museum Nasional
Jakarta, dua di antaranya dikenal sebagai patung Dewi Tara dan Dewi
Avalokitesvara. Menurut Dr. Sukanto Dept. Pendidikan dan Kebudayaan
Kanwil Prov. NTB Makam Selaparang Lombok (Proyek Pemugaran dan
Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala NTB salah satu dari empat
arca tersebut ada kesamaan dengan arca-arca yang terdapat di Candi
Borobudur.
Merujuk kepada
temuan dan pendapat Dr. Sukanto tersebut, maka ada kemungkinan agama
Buddha di Pulau Lombok telah ada sejak abad VIII dan abad IX pada masa
keemasan Kedatuan Sriwijaya. Tampaknya pada masa sebelumnya penyebaran
Agama Islam, Kerajaan Selaparang merupakan kerajaan yang para rajanya
menganut Agama Buddha. Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya tanda-tanda
pada batu nisan makam raja-raja Selaparang terdapat dua ciri yang
mendukung asumsi tersebut. Ada makam-makam yang pada batu nisanya
terdapat gambar cakra dan sebagian lagi ada makam-makam yang batu
nisanya bertulisan aksara Arab: "Allah".
2.
Nama Pulau Sumbawa oleh penduduk setempat disebut SAMAWA. Ada
kemungkinan nama tersebut berasal dari bahasa Pali SAMMA dan VA. Sammava
yang berarti "hanya yang benar". Bila hal ini benar, maka ini berarti
Agama Buddha pernah ada di Pulau Sumbawa.
3.
Sepanjang pantai utara Pulau Lombok, terdapat kedatuan-kedatuan kecil
yang nama-namanya masih terdapat sampai sekarang, Seperti Kedatuan
Bayan, Kerta Gangga, Gegelang, Bebekeq, Sokong Belimbing, dan Sokong
Kembang Dangar. Istilah kedatuan dikenal pada masa kerajaan Sriwijaya.
Menilik
bukti-bukti tersebut di atas dapat dapat diperkirakan bahwa sejak abad
VII dan Abad IX agama Buddha telah ada di Pulau Lombok dan Sumbawa.
Periode Kedua Abad Ke XIV
Periode Kedua Abad Ke XIV
Menurut piagam Manggala, atau dikenal juga sebagai Prasasti Jeliman
Ireng, umat Buddha yang ada di Tebanngo, Mambalan, Gontor Macan, Ganjar,
Tendaun, dan Pengantap, tiba di Pulau Lombok pada awal abad XIV
tepatnya pada tahun 1301 bersamaan dengan dilaksanakannya Sumpah Amukti
Palapa Maha Patih Gajah Mada dari Keraton Majapahit.
Tebango
terdiri dari Tebango Ideq (Hilir) dan Tebango Bolot (Hulu) merupakan
perkampungan umat Buddha yang terletak di Kecamatan Pemenang Kabupaten
Lombok Utara, sementara Ganjar dan Tendaun adalah perkampungan umat
Buddha yang terletak di Kecamatan Sekotong (sekarang kecamatan Lembar)
Kabupaten Lombok Barat bagian selatan. Pada saat itu ikut serta pula
seorang Resi yang di Pulau Bali dikenal dengan sebutan Batara Sakti Wau
Rawuh atau Dangiang Dwijendra, di Pulau Lombok dikenal dengan sebutan
Pangeran Sangupati dan di Pulau Sumbawa dikenal dengan sebutan Pangeran
Pangeran Semeru. Beliau datang dengan mengikutsertakan beberapa tokoh
dari pulau Bali yang nantinya menjadi leluhur dari umat Buddha di
Tebango, Ganjar, dan Tendaun. Salah satu diantaranya adalah Sang Aji
Demen. Dahulunya umat Buddha di Tebango memiliki tradisi merayakan Hari
Raya Galungan dan Kuningan yang merupakan hari raya untuk memperingati
kemenangan Dharma dari pengaruh-pengaruh Adharman seperti yang biasa
dirayakan oleh Umat Hindu di Pulau Bali. Demikian pula halnya dengan di
Ganjar dan Tendaun. Mereka hanya merayakan Hari Raya Kuningan saja tanpa
memperingati Hari Raya Galungan.
Dari
bukti yang tertulis pada Prasasti ini, periode kedua kedatangan Umat
Buddha di Pulau Lombok terjadi awal abad XIV bersamaan dengan
pelaksanaan misi kerajaan Majapahit.
Periode Ketiga
Seiring dengan kemajuan di bidang ekonomi dan transportasi khususnya
pelayaran, kedatangan pedagang-pedagang Cina ke Nusantara termasuk ke
Pulau Lombok pada sekitar abad ke XVIII, membawa pengaruh pula terhadap
perkembangan agama Buddha di Pulau Lombok. Sebagian besar dari mereka
bermukim di daerah pelabuhan dan pusat perdagangan di Ampenan,
Cakranegara, Labuhan Haji, dan Sumbawa Besar.
Di
Ampenan terdapat sebuah Kelenteng Besar yang kemudian menajdi Vihara
Bodhi Dharma yang menjadi tempat persembahyangan bagi umat Buddha yang
berdiam di wilayah perkotaan.
🙏 thank you leluhur 🙏
ReplyDelete