Klik Like !
×

Lord Buddha

Jika Mampu, Tolong dan Bantulah Orang Lain. Jika Tidak, Setidaknya jangan mencelakan orang lain.

Altar Vihara Giri Ratana Puja

Agama saya sangat sederhana. Agama saya adalah Kebajikan.

Lord Buddha

Kita tidak akan pernah mendapatkan kedamaian diluar diri kita sendiri sampai kita damai dengan diri kita sendiri.

Lord Buddha

Jika kamu takut akan rasa sakit atau penderitaan, kamu seharusnya cari cara, apa yang dapat kamu lakukan untuk mengatasinya.

Lord Buddha

Ingat !!! Tidak mendapatkan apa yang kamu inginkan, kadang2 adalah sebuah berkah.

Friday 31 July 2015

Pelepasan Agung

BAB II
PELEPASAN AGUNG

Pangeran Siddhattha Meninggalkan Istana
Untuk menyambut kelahiran cucunya, Raja menyelenggarakan satu pesta yang besar dan meriah. Tetapi Pangeran kelihatan tidak gembira. Pangeran dengan hati-hati mendekati Raja dan mohon izin untuk mencari obat terhadap usia tua, sakit, dan mati. Hal ini menimbulkan amarah Raja.
Izin tidak diberikan seperti dapat kita ikuti dalam percakapan di bawah ini (dikutip dari buku Mahavastu II, halaman 141/2).
“Ayah, kalau tidak diberi izin saya mohon Ayah berkenan memberikan kepadaku delapan macam anugerah.”
“Tentu saja, anakku, aku lebih baik turun tahta daripada tidak meluluskan permintaanmu.”
“Kalau begitu, mohon Ayah memberikan kepadaku:
  1. Anugerah supaya tidak menjadi tua.
  2. Anugerah supaya tidak sakit.
  3. Anugerah supaya tidak mati.
  4. Anugerah supaya Ayah tetap bersamaku.
  5. Anugerah supaya semua wanita yang ada di istana bersama sama dengan kerabat lain tetap hidup.
  6. Anugerah supaya kerajaan ini tidak berubah dan tetap seperti sekarang.
  7. Anugerah supaya mereka yang pernah hadir pada pesta kelahiranku dapat memadamkan semua nafsu keinginannya.
  8. Anugerah supaya aku dapat mengakhiri kelahiran, usia tua, dan mati.”
Mendengar pernyataan di atas, Raja Suddhodana menjadi kaget dan kecewa. Raja menjawab bahwa hal-hal di atas itu berada di luar kemampuannya dan masih mencoba untuk membujuknya dengan mengatakan, “Anakku, usiaku sekarang sudah lanjut. Tunggu saja dan tangguhkan kepergianmu sampai aku sudah mangkat.”
“Ayah, relakan kepergianku justru sewaktu Ayah masih hidup. Aku berjanji bila sudah berhasil, akan kembali ke Kapilavatthu untuk mempersembahkan obat yang telah kutemukan ke hadapan Ayah.”
Raja tetap tidak memberikan izinnya dan Pangeran tetap bersikeras untuk terus melaksanakan cita-citanya.
Pangeran kemudian memasuki kamar Yasodhara dan memandangi anaknya dengan gembira dan terharu karena tidak lama lagi Beliau akan meninggalkannya berhubung tekadnya yang sudah bulat untuk mencari obat agar orang tidak menjadi tua, sakit, dan mati.
Selanjutnya Pangeran masuk ke ruangan tempat para penari sedang menari diiringi musik yang merdu. Pangeran merebahkan diri di atas bantal yang dibuat dari benang-benang emas dan karena letih, tidak lama kemudian Pangeran tertidur. Para penari menghentikan tariannya dan mereka pun ikut tidur di ruangan yang sama sambil menunggui Pangeran.
Pada tengah malam, Pangeran terbangun dan memandang ke sekelilingnya. Pangeran melihat gadis-gadis penari tergeletak tidur simpang siur di lantai dalam sikap yang beraneka ragam, ada yang terlentang, ada yang tengkurap, ada yang mulutnya menganga lebar, ada yang air liurnya meleleh keluar, ada yang menggulung tubuhnya sambil kepalanya terantuk-antuk di dadanya, ada yang mengigau, dan lain-lain. Pangeran merasa seperti di pekuburan dengan mayat-mayat yang bergelimpangan. Pemandangan ini membuat Pangeran jijik dan muak sekali, sehingga Beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan istana pada malam itu juga.
Pangeran memanggil Channa dan memerintahkan untuk menyiapkan Kanthaka, kuda kesayangannya. Pangeran kemudian pergi ke kamar Yasodhara untuk melihat istri dan anaknya sebelum pergi untuk bertapa. Istrinya sedang tidur nyenyak dan memeluk bayinya. Tangannya menutupi muka Sang bayi, sehingga muka bayi tidak dapat terlihat.
Pangeran semula ingin menggeser sedikit tangan istrinya tetapi hal itu diurungkan karena takut kalau hal ini menyebabkan Yasodhara terbangun dan rencananya untuk meninggalkan istana bisa gagal. Pangeran hanya berkata dalam hati, “Tidak, biarlah hari ini aku tidak melihat wajah anakku, tetapi nanti setelah aku memperoleh apa yang kucari, aku akan datang kembali dan dengan puas dapat melihat wajah anak dan istriku.”
Setelah itu Pangeran meninggalkan istana dengan menunggang Kanthaka yang berbulu putih diikuti oleh Channa yang memegang buntut kuda. Seolah-olah sudah diatur terlebih dulu oleh para dewa, Pangeran Siddhattha tidak mendapat kesukaran sewaktu hendak keluar dari pintu gerbang istana dan waktu hendak keluar dari pintu tembok kota.
Para pengawalnya semua sedang tidur nyenyak dan Channa dengan mudah dapat membuka pintu agar Pangeran dapat keluar dari istana dan keluar kota.
Ketika itu Pangeran dicegat oleh Dewa Mara yang jahat dan membujuknya untuk kembali ke istana dan ia berjanji bahwa dalam waktu satu minggu, Pangeran akan menjadi Raja negara Sakya. Pangeran tidak menggubris bujukan Dewa Mara, yang membuat Dewa Mara menjadi marah dan mengancam akan terus membuntutinya.
Setelah sampai di luar kota, Pangeran berhenti sejenak dan memutar kudanya untuk melihat kota Kapilavatthu untuk terakhir kali (di tempat itu kemudian didirikan sebuah cetiya yang dinamakan Kanthakanivattana-cetiya). Saat itu terang bulan di bulan Asalha dan Pangeran berusia 29 tahun.
Perjalanan diteruskan melintasi perbatasan negara Sakya, Koliya, dan Malla, kemudian dengan satu kali loncatan menyeberangi Sungai Anoma. Pangeran turun dari kuda, melepas semua perhiasannya dan memberikannya kepada Channa, mencukur kumisnya, memotong rambut di kepalanya dengan pedang dan melemparkannya ke udara (yang disambut oleh Dewa Sakka dan membawanya ke surga Tavatimsa untuk dipuja di Culamani-cetiya). Rambut yang tersisa sepanjang dua anguli (± dua inci) semasa hidupnya tetap sepanjang itu dan tidak tumbuh-tumbuh lagi.
Selanjutnya, Brahma Chatikara mempersembahkan keperluan seorang bhikkhu kepada Pangeran yang terdiri dari delapan jenis barang, yaitu: jubah luar, jubah dalam, kain bawah, ikat pinggang, mangkuk makanan, pisau, jarum, dan saringan air. Setelah menukar pakaiannya dengan jubah bhikkhu, Pangeran memerintahkan Channa untuk kembali ke istana.
“Tidak ada gunanya hamba diam terus di istana tanpa Tuanku. Perkenankanlah hamba ikut Tuanku berkelana.”
“Jangan Channa, bawa pakaian dan perhiasan ini kembali, berikan kepada Ayahku dan sampaikan pesanku untuk Ayah, Ibu, dan Yasodhara untuk jangan terlalu bersusah hati.
Aku akan mencari obat untuk menghentikan usia tua, sakit, dan mati. Segera setelah aku memperolehnya, aku kembali ke istana untuk memberikannya kepada Ayah, Ibu, Yasodhara, Rahula, dan kepada semua orang yang ada di dunia ini.”
Channa memberi hormat kepada Pangeran dan bersiap-siap untuk kembali. Tetapi Kanthaka tidak mau diajak pergi. Pangeran mendekati Kanthaka, mengusap-usap dan menepuk-nepuk lehernya dengan penuh kasih sayang sambil berkata, “Ayolah, Kanthaka, ikutlah pulang dengan Channa dan jangan menunggu aku lagi.”
Kanthaka ikut dengan Channa tetapi belum seberapa jauh berjalan, kuda itu berhenti dan menengok lagi ke belakang agar dapat melihat wajah Pangeran untuk terakhir kali. Kuda itu nampaknya sedih sekali dan matanya basah dengan air mata.
Kembalinya Channa bersama Kanthaka (tanpa Pangeran) ke Kapilavatthu disambut oleh Raja dan seluruh penghuni istana dengan ratapan dan tangisan. Yasodhara memeluk leher Kanthaka dan bertanya, “Oh, Kanthaka, kesalahan apakah yang telah kuperbuat terhadapmu dan Channa, sehingga engkau berdua membawa pergi Tuanku Pangeran sewaktu aku sedang tidur nyenyak?” Hal ini membuat Kanthaka sedih dan patah hati.
Channa menyerahkan perhiasan, pedang serta pakaian Pangeran kepada Baginda Raja, menyampaikan salam perpisahan Pangeran kepada Ibunya dan Yasodhara beserta segenap keluarga lainnya. Selanjutnya Channa memberitahukan bahwa Pangeran sekarang berada di tepi Sungai Anoma di negara Malla.
Meskipun menyesali kepergian Pangeran Siddhattha, tetapi Raja tahu bahwa kepergiannya itu sesuai dengan ramalan pertapa Asita dan Kondañña dan mengharap-harap cemas bila kiranya Pangeran akan berhasil menjadi seorang Buddha. Mulai hari itu Raja selalu mengikuti keadaan Pangeran dengan menyuruh orang menyelidiki dan melaporkan kepada Raja segala sesuatu yang dikerjakan Pangeran dan dimana Beliau berada.

Bertapa di Hutan Uruvela
Dari tepi Sungai Anoma, Pangeran pergi ke kebun mangga di Anupiya. Setelah tujuh hari berdiam di Anupiya, Pangeran pada suatu pagi berjalan ke arah Rajagaha untuk mulai dengan meminta-minta makanan kepada penduduk. Kedatangan Pangeran di Rajagaha ternyata mendapat perhatian dari seorang pembantu Raja Bimbisara yang terus mengikutinya sampai di Pandavapabbata, tempat Pangeran beristirahat untuk makan dari hasil perjalanan kelilingnya. Raja Bimbisara dilaporkan tentang kedatangan seorang pertapa yang paras mukanya kelihatan agung dan sekarang sedang beristirahat di Pandavapabbata.
Raja Bimbisara datang menemui pertapa Siddhattha dan kemudian menanyakan nama, nama orang tuanya dan mengapa ia menjadi seorang pertapa.
“Mengapa Anda melakukan hal ini? Apakah Anda berselisih paham dengan ayah Anda? Tinggal saja denganku di sini dan aku akan menghadiahkan Anda setengah dari kerajaanku.”
“Terima kasih banyak, Baginda. Aku sangat cinta kepada orang tuaku, istriku, anakku, Anda sendiri dan kepada semua orang. Aku hendak mencari obat untuk menghentikan usia tua, sakit, dan mati. Karena itulah aku menjadi seorang pertapa.”
“Kalau tawaranku tidak diterima, yah, apa boleh buat. Tetapi harap Anda berjanji untuk terlebih dulu mengunjungi Rajagaha apabila kelak berhasil menemukan obat tersebut.”
“Baiklah, Baginda, aku berjanji.”
Dari Rajagaha, pertapa Siddhattha meneruskan perjalanannya dan tiba di dekat tempat pertapaan Alara Kalama. Di tempat ini pertapa Siddhattha (juga disebut Pertapa Gotama) berguru kepada Alara Kalama dan dalam waktu singkat sudah dapat menyamai kepandaian gurunya.
Di tempat ini Pertapa Gotama diajar cara-cara bermeditasi dan pengertian tentang Hukum Kamma dan Tumimbal lahir.
Karena merasa bahwa dengan pengetahuan ini masih belum terjawab tentang sebab-musabab dari kelahiran dan bagaimana mengakhiri usia tua, sakit dan mati, maka Pertapa Gotama melanjutkan perjalanannya untuk mencari orang yang dapat mengajar tentang hal tersebut.
Pertapa Gotama kemudian berguru kepada Uddaka-Ramaputta, yang pada zaman itu terkenal sebagai seorang pertapa yang paling pandai.
Dari Uddaka-Ramaputta, Pertapa Gotama mendapat pelajaran tentang cara bermeditasi yang paling tinggi sehingga mencapai keadaan “Bukan-Pencerapan Pun Bukan Bukan-Pencerapan”. Karena dalam waktu singkat Pertapa Gotama sudah memahami semua pelajaran Uddaka-Ramaputta, maka gurunya minta agar ia terus berdiam di tempat tersebut untuk bersama-sama membina murid-muridnya yang banyak sekali.
Tetapi Pertapa Gotama masih belum puas sebab ia masih belum mendapat jawaban tentang bagaimana mengakhiri usia tua, sakit, dan mati.
Pertapa Gotama kemudian pergi ke Senanigama di Uruvela dan di tempat inilah Pertapa Gotama bersama-sama dengan 5 orang pertapa lain (Bhaddiya, Vappa, Mahanama, Assaji, dan Kondañña) berlatih dalam berbagai cara penyiksaan diri. Mereka melatih diri dengan menjemur diri di terik matahari pada siang hari dan pada waktu tengah malam berendam di sungai untuk waktu yang lama. Karena masih saja belum berhasil, maka Pertapa Gotama lalu melakukan latihan yang lebih berat lagi.
Ia merapatkan giginya dan menekan kuat-kuat langit-langit mulutnya sehingga keringat mengucur keluar dari ketiaknya. Demikian hebat sakit yang dideritanya sehingga dapat diumpamakan sebagai orang kuat yang gagah perkasa memegang seorang yang lemah di kepala atau lehernya dan menekan dengan sekuat tenaga.
Dengan sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnya ia berusaha agar batinnya jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta ulet dalam usahanya.
Setelah berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini tidak membawanya ke Penerangan Agung, ia berhenti dan mencoba cara yang lain. Ia kemudian sedikit demi sediki menahan nafasnya sampai nafasnya tidak lagi keluar melalu hidung atau mulut, tetapi dengan mengeluarkan suara mendesis yang mengerikan keluar melalui lubang telinga. Kemudian timbul sakit yang hebat di kepala dan di perut disusul dengan panas yang menjalar ke seluruh tubuh.
Dengan sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnya, ia berusaha agar batinnya jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta ulet dalam usahanya.
Setelah berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini tidak membawanya ke Penerangan Agung, ia berhenti dan mencoba cara yang lain.
Selanjutnya ia berpuasa dan tidak makan apa-apa sampai berhari-hari atau mengurangi makannya sedikit demi sedikit sampai makan hanya beberapa butir nasi satu hari. Tentu saja, kesehatannya memburuk dan badannya kurus sekali. Kala perutnya ditekan maka tulang punggungnya dapat dipegang dan kalau punggungnya ditekan maka perutnya dapat dipegang. Ia merupakan tengkorak hidup dengan tulang-tulang dilapisi kulit dan dagingnya sudah tidak ada lagi. Warna kulitnya beruba menjadi hitam dan rambutnya banyak yang rontok. Kalau berdiri tidak bisa diam karena kakinya gemetaran.
Seperti cara-cara yang terdahulu, ia kemudian melihat bahwa cara ini tidak membawanya ke Penerangan Agung. Secara tiba-tiba timbul dalam batinnya tiga buah perumpamaan yang sebelumnya tak pernah terpikir.
Pertama:
Kalau sekiranya sepotong kayu diletakkan di dalam air dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir, “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.”
Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari kayu yang basah itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan.
Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang masih terikat kepada kesenangan nafsu-nafsu indria dan batinnya masih ingin menikmatinya pasti tak akan berhasil.
Kedua:
Kalau sekiranya sepotong kayu basah diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir, “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.”
Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari kayu yang basah itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan.
Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indria tetapi batinnya masih ingin menikmatinya pasti juga tidak akan berhasil.
Ketiga:
Kalau sekiranya sepotong kayu kering diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir, “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.”
Orang ini pasti dapat membuat api dari kayu kering itu.
Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indria dan batinnya juga tidak terikat lagi, maka pertapa dan Brahmana itu berada dalam keadaan yang baik sekali untuk memperoleh Penerangan Agung.
Setelah merenungkan tiga perumpamaan tersebut maka Pertapa Gotama mengambil keputusan untuk berhenti berpuasa. Sehabis mandi di sungai dan ingin kembali ke gubuknya, Pertapa Gotama terjatuh dan pingsan di tepi sungai. Waktu siuman ia sudah tidak kuat lagi untuk berdiri. Untung pada waktu itu lewat seorang anak penggembala kambing bernama Nanda yang melihatnya sedang tergeletak kehabisan tenaga di tepi sungai. Dengan cepat ia memberikan pertapa itu air susu kambing sehingga dengan perlahan-lahan tenaga Pertapa Gotama pulih kembali dan ia dapat melanjutkan perjalanannya ke gubuk tempat ia bertapa. Sejak hari itu Pertapa Gotama diberi makan air tajin untuk mengembalikan kekuatan dan kesehatannya dan tidak lama kemudian Pertapa Gotama sudah dapat makan juga makanan lain, sehingga dengan demikian kesehatannya pulih kembali.
Namun lima orang kawannya yang bersama-sama bertapa merasa kecewa sekali karena dengan berhenti berpuasa, Pertapa Gotama dianggap telah gagal dalam pertapaannya dan tidak mungkin akan memperoleh Penerangan Agung. Mereka meninggalkannya dan pergi ke Taman Rusa di Benares.
Pada suatu hari serombongan penari ronggeng lewat dekat gubuk Pertapa Gotama. Sambil berjalan mereka bergurau dan bergembira dan seorang diantaranya menyanyi dengan syair sebagai berikut:
“Kalau tali gitar ditarik terlalu keras, talinya putus, lagunya hilang. Kalau ditarik terlalu kendur ia tak dapat mengeluarkan suara. Suaranya tidak boleh terlalu rendah atau keras. Orang yang memainkannyalah yang harus pandai menimbang dan mengira.”
Mendengar nyanyian itu, Pertapa Gotama mengangkat kepalanya dan memandang dengan heran kepada rombongan penari ronggeng tersebut. Dalam hatinya ia berkata,
“Sungguh aneh keadaan di dunia ini bahwa seorang Bodhisatta (calon Buddha) harus menerima pelajaran dari seorang penari ronggeng. Karena bodoh aku telah menarik demikian keras tali kehidupan, sehingga hampir-hampir saja putus. Memang seharusnya aku tidak boleh menarik tali itu terlalu keras atau terlalu kendur.”
Di dekat tempat itu tinggal pula seorang wanita muda kaya raya bernama Sujata. Sujata ingin membayar kaul kepada dewa pohon karena permohonannya supaya diberi seorang anak laki-laki terkabul. Hari itu Sujata mengirim pelayannya ke hutan untuk membersihkan tempat di bawah pohon dimana ia ingin mempersembahkan makanan yang lezat-lezat kepada dewa pohon.
Ia agak terkejut waktu pelayannya dengan tergesa-gesa kembali dan memberitahukan, “Oh, Nyonya, dewa pohon itu sendiri telah datang dari khayangan untuk menerima langsung persembahan Nyonya. Beliau sekarang sedang duduk bermeditasi di bawah pohon. Alangkah beruntungnya bahwa dewa pohon berkenan untuk menerima sendiri persembahan Nyonya.”
Sujata gembira sekali mendengar berita tersebut. Setelah makanan selesai dimasak, berangkatlah Sujata ke hutan. Sujata merasa kagum melihat dewa pohon dengan wajah yang agung sedang bermeditasi. Ia tidak tahu bahwa orang yang dikira sebagai dewa pohon sebenarnya adalah Pertapa Gotama. Dengan hati-hati makanan ditempatkan ke dalam mangkuk dan dengan hormat dipersembahkan kepada Pertapa Gotama yang dikira Sujata adalah dewa pohon.
Pertapa Gotama menyambut persembahan ini. Setelah habis makan terjadilah percakapan antara Pertapa Gotama dengan Sujata seperti di bawah ini.
“Dengan maksud apakah engkau membawa makanan ini?”
“Tuanku yang terpuja, makanan yang telah aku persembahkan kepada Tuanku adalah ucapan terima kasihku karena Tuanku telah meluluskan permohonanku agar dapat diberi seorang anak laki-laki.”
Kemudian Pertapa Gotama menyingkap kain yang menutup kepala bayi dan meletakkan tangannya di dahinya sambil memberi berkah:
“Semoga berkah dan keberuntungan selalu menjadi milikmu. Semoga beban hidup akan engkau terima dengan ringan. Aku bukanlah dewa pohon, tetapi seorang putra raja yang telah enam tahun menjadi pertapa untuk mencari sinar terang yang dapat dipakai untuk memberi penerangan kepada manusia yang berada dalam kegelapan. Aku yakin dalam waktu dekat ini aku akan berhasil memperoleh sinar terang tersebut. Dalam hal ini persembahan makananmu telah banyak membantu karena sekarang badanku menjadi kuat dan segar kembali. Karena itu dengan persembahanmu ini, engkau akan mendapat berkah yang sangat besar. Tetapi adikku yang baik, coba katakan, apakah engkau sekarang bahagia dan apakah kehidupan yang disertai cinta saja sudah memuaskan?”
“Tuanku yang terpuja, karena aku tidak menuntut banyak, maka hatiku dengan mudah mendapat kepuasan. Sedikit tetesan air hujan sudah cukup untuk memenuhi mangkuk bunga lily, meskipun belum cukup untuk membuat tanah menjadi basah. Aku sudah merasa bahagia dapat memandang wajah suamiku yang sabar atau melihat senyum bayi ini. Setiap hari dengan senang hati aku mengurus pekerjaan rumah tangga, memasak, memberi persembahan kepada para dewata, menyambut suamiku yang pulang dari pekerjaan, apalagi sekarang dengan dilahirkannya seorang anak laki-laki yang menurut buku-buku suci akan membawa berkah kalau kelak kami meninggal dunia. Juga aku tahu bahwa kebaikan datang dari perbuatan baik dan kemalangan datang dari perbuatan jahat yang berlaku bagi semua orang dan pada setiap waktu, sebab buah yang manis muncul dari pohon yang baik dan buah yang pahit keluar dari pohon yang penuh racun. Apakah yang harus ditakuti oleh orang yang berkelakuan baik kalau nanti tiba saatnya harus mati?”
Mendengar penjelasan Sujata maka Pertapa Gotama menjawab,
“Kau sudah mengajar kepada orang yang seharusnya menjadi gurumu, dalam penjelasanmu yang sederhana itu terdapat sari kebajikan yang lebih nyata dari kebajikan yang tinggi, meskipun engkau tidak belajar apa-apa namun engkau tahu jalan kebenaran dan menyebar keharumanmu ke semua pelosok. Sebagaimana engkau sudah mendapat kepuasan, semoga aku pun akan mendapatkan apa yang aku cari. Aku, yang engkau pandang sebagai seorang dewa, minta didoakan supaya aku dapat berhasil melaksanakan cita-citaku.”
“Semoga Tuanku berhasil mencapai cita-cita Tuan sebagaimana aku berhasil mencapai cita-citaku.”
Pertapa Gotama kemudian melanjutkan perjalanan dengan membawa mangkuk kosong. Ia menuju ke tepi Sungai Nerañjara dalam perjalanannya ke Gaya. Tiba di tepi sungai Pertapa Gotama melempar mangkuknya ke tengah sungai dan berkata, “Kalau memang waktunya sudah tiba, mangkuk ini akan mengalir melawan arus dan bukan mengikuti arus.” Suatu keajaiban terjadi karena mangkuk itu ternyata mengalir melawan arus.

Penerangan Agung
Pertapa Gotama meneruskan perjalanannya dan pada sore hari tiba di Gaya. Ia memilih tempat untuk bermeditasi di bawah pohon Bodhi (Latin : Ficus Religiosa), kemudian mempersiapkan tempat duduk di sebelah Timur pohon itu dengan rumput kering yang diterima dari pemotong rumput bernama Sotthiya. Di tempat itulah Pertapa Gotama duduk bermeditasi dengan wajah menghadap ke Timur. Dengan tekad yang bulat, ia kemudian berkata dalam hati,
“Dengan disaksikan oleh bumi, meskipun kulitku, urat-uratku dan tulang-tulangku akan musnah dan darahku habis menguap, aku bertekad untuk tidak bangun dari tempat ini sebelum memperoleh Penerangan Agung dan mencapai Nibbana.”
Kemudian Pertapa Gotama melakukan meditasi Anapanasati, yaitu meditasi dengan menggunakan obyek keluar dan masuknya nafas. Tidak berapa lama pikiran-pikiran yang tidak baik mengganggu batinnya, seperti keinginan kepada benda-benda duniawi, tidak menyukai kehidupan suci yang bersih dan baik, perasaan lapar dan haus yang luar biasa, keinginan yang sangat dan melekat kepada benda-benda, malas dan tidak suka mengerjakan apa-apa, takut terhadap jin-jin, hantu-hantu jahat, keragu-raguan, kebodohan, keras kepala, keserakahan, keinginan untuk dipuji dan dihormati dan hanya melakukan hal-hal yang membuat dirinya terkenal, tinggi hati dan memandang rendah kepada orang lain.
Perjuangan hebat dalam batin Pertapa Gotama melawan keinginan dan nafsu-nafsu tidak baik, dalam buku-buku suci digambarkan sebagai perjuangan melawan Dewa Mara yang jahat, seperti dapat diikuti dalam pembabaran berikut ini.
Pada saat itu muncul Mara, dewa hawa nafsu, yang bermaksud menghalang-halangi Pertapa Gotama memperoleh Penerangan Agung, disertai bala tentaranya yang maha besar. Bala tentara itu ke depan, ke kanan dan ke kiri, lebarnya 12 league dan ke belakang sampai ke ujung cakrawala, sedangkan tingginya 9 league. Mara sendiri membawa berbagai macam senjata dan duduk di atas gajah Girimekhala yang tingginya 150 league. Melihat bala tentara yang demikian besar datang, semua dewa yang sedang berkumpul di sekeliling Pertapa Gotama, seperti Maha-Brahma, Sakka, Rajanaga Mahakala dan lain-lain cepat-cepat menyingkir dari tempat itu dan Pertapa Gotama ditinggal sendirian dengan hanya berlindung kepada sepuluh Paramita yang sejak lama dilatihnya. Semua usaha Mara untuk menakut-nakuti Pertapa Gotama dengan hujan besar disertai angin kencang dan halilintar yang berbunyi tak henti-hentinya diikuti dengan pemandangan-pemandangan lain yang mengerikan ternyata gagal semua dan akhirnya Mara menyambit dengan Cakkavudha yang ternyata berubah menjadi payung yang dengan tenang bergantung dan melindungi kepala Pertapa Gotama.
Bumi telah menjadi saksi bahwa Pertapa Gotama lulus dari semua percobaan-percobaan dan layak untuk menjadi Buddha. Gajah Girimekhala berlutut di hadapan Pertapa Gotama dan Mara menghilang dan lari bersama-sama dengan bala tentaranya. Para dewa yang menyingkir sewaktu Mara tiba dengan bala tentaranya datang kembali dan semua bersuka cita dengan keberhasilan Pertapa Gotama.
Setelah berhasil mengalahkan Mara, Pertapa Gotama memperoleh Pubbenivasanussatiñana, yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat dengan terang kelahiran-kelahiranNya yang dulu. Hal ini terjadi pada waktu jaga pertama, yaitu antara jam 18.00-22.00.
Pada waktu jaga kedua, yaitu antara jam 22.00-02.00, Pertapa Gotama memperoleh Cutupapatañana, yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat dengan terang kematian dan tumimbal lahir kembali dari makhluk-makhluk sesuai dengan tumpukan karma mereka masing-masing. Tumpukan karma yang berlainan inilah yang membuat satu makhluk berbeda dari makhluk lain. Kemampuan ini juga dinamakan Dibbacakkhuñana, yaitu kebijaksanaan dari Mata Dewa.
Pada waktu jaga ketiga, yaitu antara jam 02.00-04.00 pagi, Pertapa Gotama memperoleh Asavakkhayañana, yaitu kebijaksanaan yang dapat menyingkirkan secara menyeluruh semua Asava (kekotoran batin yang halus sekali).
Dengan demikian Ia mengerti sebab dari semua keburukan dan juga mengerti cara untuk menghilangkannya. Dengan ini Ia telah menjadi orang yang paling bijaksana dalam dunia yang dapat menjawab pertanyaan yang disampaikan kepadaNya. Sekarang Ia mendapat jawaban tentang cara untuk mengakhiri penderitaan, kesedihan, ketidakbahagiaan, usia tua dan kematian. Batin-Nya menjadi tenang sekali dan penuh kedamaian karena sekarang Ia mengerti semua persoalan hidup dan Ia telah menjadi Buddha.
Dengan muka bercahaya terang, penuh kebahagiaan, Pertapa Gotama dengan suara lantang mengeluarkan pekik kemenangan sebagai berikut:
“Anekajati samsaram
Sandhavissam anibbissam
Gahakarakam gavesanto
Dukkha jati punappunam
Gahakaraka! dittho’si
Punageham na kahasi
Sabba to phasuka bhagga
Gahakutam visamkhitam
Visamkharagatam cittam
Tanhanam khayamajjhaga.”
Artinya :
“Dengan sia-sia Aku mencari Pembuat Rumah ini
Berlari berputar-putar dalam lingkaran tumimbal lahir
Menyakitkan, tumimbal lahir yang tiada habis-habisnya
Oh, Pembuat Rumah, sekarang telah Kuketahui
Engkau tak akan dapat membuat rumah lagi
Semua atapmu telah Kurobohkan
Semua sendi-sendimu telah Kubongkar
Batin-Ku sekarang mencapai keadaan Nibbana
Dan berakhirlah semua nafsu-nafsu keinginan.”

Dikisahkan bahwa pada saat itu bumi bergetar karena gembira dan di udara sayup-sayup terdengar suara musik yang merdu, seluruh tempat itu penuh dengan kehadiran para dewa yang turut bergembira dan ingin melihat orang yang berhasil mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha, pohon-pohon mendadak berbunga dan menyebarkan bau harum ke seluruh penjuru, binatang hutan yang biasanya saling bermusuhan pada waktu itu dapat hidup berdampingan dengan damai.
Demikianlah Pangeran Siddhattha yang dilahirkan pada saat purnama sidhi di bulan Vaisak tahun 623 S.M, menikah pada usia 16 tahun, meninggalkan istana pada usia 29 tahun, setelah bertapa selama 6 tahun menjadi Buddha pada usia 35 tahun.

Tujuh Minggu Setelah Penerangan Agung
Selama minggu pertama,
Sang Buddha duduk bermeditasi di bawah pohon Bodhi dan menikmati keadaan Nibbana, yaitu keadaan yang terbebas sama sekali dari gangguan-gangguan batiniah, sehingga batin-Nya tenang sekali dan penuh kedamaian.
Selama minggu kedua,
Sang Buddha berdiri beberapa kaki dari pohon Bodhi dan memandanginya terus-menerus dengan mata tidak berkedip selama satu minggu sebagai ucapan terima kasih dan penghargaan kepada pohon yang telah memberi-Nya tempat untuk berteduh sewaktu berjuang untuk mencapai tingkat Buddha. Mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Sang Buddha dahulu, sekarang pun umat Buddha memberi penghormatan kepada pohon Bodhi.
Selama minggu ketiga,
Sang Buddha berjalan mondar-mandir di atas jembatan emas yang diciptakan-Nya di udara karena melalui mata dewa-Nya, Sang Buddha mengetahui bahwa ada dewa-dewa di surga yang masih meragukan apakah Beliau benar telah mencapai Penerangan Agung.
Selama minggu keempat,
Sang Buddha berdiam di kamar batu permata yang diciptakan-Nya. Di kamar permata itulah Sang Buddha bermeditasi mengenai Abhidhamma, yaitu ajaran mengenai ilmu jiwa dan metafisika. Batin dan badan jasmani-Nya telah menjadi demikian bersih, sehingga mengeluarkan sinar-sinar berwarna biru, kuning, merah, putih, jingga dan campuran kelima warna tersebut. Kini warna-warna tersebut diabadikan sebagai bendera umat Buddha.
Selama minggu kelima,
Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Ajapala Nigrodha (pohon beringin), tidak jauh dari pohon Bodhi. Di sinilah tiga orang anak Mara yaitu Tanha, Arati, dan Raga masih berusaha untuk mengganggu-Nya. Mereka menampakkan diri sebagai tiga orang gadis yang elok dan menggiurkan yang dengan berbagai macam tarian yang erotis (penuh nafsu birahi), diiringi nyanyian yang merdu dan bisikan yang memabukkan, berusaha untuk merayu dan menarik perhatian Sang Buddha. Tetapi Sang Buddha menutup mata-Nya dan tidak mau melihat, sehingga akhirnya tiga orang dewi hawa nafsu meninggalkan Sang Buddha.
Selama minggu keenam,
Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Mucalinda. Karena waktu itu turun hujan lebat, maka datanglah seekor ular kobra yang besar sekali dan melibatkan badannya tujuh kali memutari badan Sang Buddha dan kepalanya memayungi Sang Buddha supaya jangan sampai terkena air hujan. Waktu hujan berhenti, ular itu berubah bentuknya menjadi seorang anak muda. Pada waktu itulah Sang Buddha mengucapkan kata kata sebagai berikut:
“Berbahagialah mereka yang bisa merasa puas. Berbahagialah mereka yang dapat mendengar dan melihat kesunyataan. Berbahagialah mereka yang bersimpati kepada makhluk-makhluk lain di dunia ini. Berbahagialah yang hidup di dunia dengan tidak melekat kepada apa pun dan mengatasi hawa nafsu. Lenyapnya ‘Sang Aku’ merupakan berkah yang tertinggi.”
Selama minggu ketujuh,
Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Rajayatana. Pada hari ke-50 pagi hari, setelah berpuasa selama tujuh minggu, dua orang pedagang lewat di dekat tempat Sang Buddha sedang duduk. Mereka, Tapussa dan Bhallika, menghampiri Sang Buddha dan mempersembahkan makanan dari beras dan madu. Sang Buddha agak tertegun sejenak karena mangkuk yang Beliau terima dari Sujata telah dihanyutkan di Sungai Neranjara dan sejak zaman dahulu tidak pernah seorang Buddha menerima makanan dengan kedua tangan-Nya. Tiba-tiba empat orang dewa dari empat penjuru alam (Catumaharaja yaitu Dhatarattha dari sebelah Timur, Virulhaka dari Selatan, Virupakkha dari Barat, dan Kuvera dari Utara) datang menolong dengan membawa seorang satu mangkuk yang dipersembahkan kepada Sang Buddha. Sang Buddha menerima empat mangkuk tersebut dan dengan kekuatan gaib-Nya dijadikan satu mangkuk.
Dengan demikian Sang Buddha dapat menerima persembahan dari Tapussa dan Bhallika. Setelah Sang Buddha selesai makan kedua pedagang itu memohon agar diterima sebagai pengikut.
Mereka diterima sebagai upasaka-upasaka pertama yang berlindung kepada Sang Buddha dan Dhamma. Kemudian mereka mohon diberikan suatu benda yang dapat mereka bawa pulang, Sang Buddha mengusap kepala-Nya dengan tangan kanan dan memberikan beberapa helai rambut (Kesa Dhatu = Relik Rambut). Tapussa dan Bhallika dengan gembira menerima Kesa Dhatu tersebut dan setelah tiba di tempat mereka tinggal, mereka mendirikan sebuah pagoda untuk memuja Kesa Dhatu ini.
Setelah makan, Tapussa dan Bhallika melanjutkan perjalanannya, Sang Buddha merenung apakah Dhamma yang Beliau temukan akan diajarkan kepada khalayak ramai atau tidak.
Sebab Dhamma itu dalam sekali dan sulit untuk dimengerti sehingga timbul perasaan enggan dalam diri Sang Buddha untuk mengajar Dhamma.
Tiba-tiba Brahma Sahampati, Penguasa dunia ini, turun dari Brahmaloka dan berdiri di hadapan Sang Buddha. Setelah memberi hormat yang layak, Brahma Sahampati berkata kepada Sang Buddha,
“Semoga Sang Tathagata, demi belas kasih-Nya kepada para manusia, berkenan mengajar Dhamma. Dalam dunia ini terdapat juga orang-orang yang sedikit dihinggapi kekotoran batin dan mudah mengerti Dhamma yang akan diajarkan.”
Hingga kini permohonan Brahma Sahampati kepada Sang Buddha tetap diperingati dengan permohonan kepada seorang bhikkhu untuk mengajar Dhamma yang berbunyi sebagai berikut:
“Brahma ca lokadhipati Sahampati
Katañjali andhivaram ayacatha
Santidha sattapparajakkhajatika
Desetu Dhammam anukampimam pajam.”
Artinya:
“Brahma Sahampati, Penguasa dunia ini
Merangkap kedua tangannya dan memohon,
Ada makhluk-makhluk yang dihinggapi sedikit kekotoran batin
Ajarkanlah Dhamma demi kasih sayang kepada mereka. “
Dengan mata dewa, Sang Buddha dapat mengetahui bahwa memang ada orang-orang yang tidak lagi terikat kepada hal-hal duniawi dan mudah mengerti Dhamma.
Karena itu Sang Buddha mengambil ketetapan hati untuk mengajar Dhamma demi belas kasih-Nya kepada umat manusia. Kesediaan-Nya itu diutarakan dengan mengucapkan kata-kata sebagai berikut:
“Aparuta tesam amatassa dvara
Ye sotavanto pamucantu saddhami.”
Artinya:
“Terbukalah pintu Kehidupan Abadi
Bagi mereka yang mau mendengar dan mempunyai keyakinan.”
Perhatian-Nya kemudian ditujukan kepada Alara Kalama, tetapi para dewa segera memberitahukan bahwa Alara seminggu yang lalu telah meninggal dunia. Kemudian perhatian-Nya ditujukan kepada Uddaka Ramaputta, namun para dewa juga mengatakan bahwa kemarin malam Uddaka meninggal dunia.
Selanjutnya Sang Buddha mengalihkan perhatian-Nya kepada lima orang pertapa yang pernah bersama-sama melakukan pertapaan. Kelima orang itu sekarang berada di Taman Rusa di kota Benares ibukota negara Kasi.
Sang Buddha segera berangkat menuju ke Taman Rusa Benares. Dalam perjalanan ke Sungai Gaya, Sang Buddha bertemu dengan seorang pertapa Ajivaka bernama Upaka. Terpesona melihat Sang Buddha yang wajah-Nya demikian cemerlang, Upaka bertanya siapakah guru Sang Buddha. Sang Buddha menjawab bahwa Beliau adalah orang Yang Maha Tahu dan tidak mempunyai guru siapa pun juga. Tetapi Upaka nampaknya sama sekali tidak terkesan. Ia menggelengkan kepala dan kemudian meneruskan perjalanannya, sedangkan Sang Buddha sendiri juga melanjutkan perjalanan-Nya ke Benares

Wednesday 29 July 2015

Kisah "Taman Kuil" (Oleh Ajahn Brahm)

Kuil-kuil Buddhis di Jepang terkenal akan taman-tamannya. Beberapa tahun yang lampau, terdapatlah sebuah kuil yang membanggakan tamannya sebagai taman tercantik, diantara semuanya. Para pelancong berdatangan dari pelbagai penjuru negeri hanya untuk mengagumi penataannya yang elok, yang begitu indah dalam kesederhanaannya.

Suatu ketika, seorang biksu tua datang berkunjung. Dia tiba pagi-pagi sekali, persis setelah fajar. Dia ingin menyelidiki mengapa taman itu dianggap sebagai yang paling mengilhami; jadi dia menyembunyikan dirinya di balik semak yang besar, dengan sudut pandang yang bagus ke arah taman.

Dia melihat seorang biksu muda muncul dari kuil dengan membawa dua keranjang anyaman untuk berkebun. Selama tiga jam, dia memerhatikan biksu muda itu, yang dengan hati-hati memungut setiap daun dan ranting yang berjatuhan dan pohon persik yang tersebar di tengah-tengah taman.

Setiap kali memungut daun dan ranting, si biksu muda menaruhnya di atas tangannya yang lembut, memeriksanya dan mempertimbangkan, dan jika dia menyukai daun dan ranting itu, dia akan meletakkannya ke dalam salah satu keranjang. Jika dia merasa daun atau ranting itu tidak berguna baginya, dia akan membuangnya ke dalam keranjang kedua, keranjang sampah.

Setelah mengumpulkan dan mencermati setiap daun dan ranting, dia mengosongkan keranjang sampah diatas gundukan di belakang kuil, dia berhenti sejenak untuk minum teh dan menata pikiran untuk tahap penting berikutnya.

Si biksu muda melewatkan waktu tiga jam lagi, dengan penuh perhatian, dengan hati-hati, dengan penuh keterampilan, menaruh setiap daun dan ranting pada tempat yang semestinya di taman itu.

Jika dia merasa tidak puas dengan posisi sebuah ranting, dia akan menggeser atau memindahkannya sedikit, dan sembari tersenyum puas, dia akan berpindah ke daun berikutnya, memilih bentuk dan warna yang tepat untuk ditaruh di taman.

Perhatiannya terhadap hal-hal rinci sungguh tak tertandingi. Penguasaannya atas seni menyusun bentuk dan warna sangat luar biasa. Pemahamannya akan keindahan alaam begitu tinggi. Saat dia menyelesaikan pekerjaannya, taman itu terlihat apik sekali.

Kemudian sang biksu tua melangkah masuk ke dalam taman. Dari balik senyum gigi ompongnya, dia memberi ucapan selamat kepada si biksu muda.

“Pekerjaan bagus! Pekerjaan sangat bagus, Yang Mulia! Saya telah mengintip Anda sepanjang pagi.

Ketekunan Anda layak dipuji setinggi langit. Dan taman Anda…Yah! Taman Anda nyaris sempurna…”

Wajah biksu muda itu berubah pucat. Tubuhnya jadi kaku serasa disengat kalajengking. Senyum kepuasannya tergelincir dari wajahnya dan jatuh terguling ke jurang besar kehampaan. Di Jepang, Anda tak akan pernah bisa yakin dengan seringai seorang biksu tua.

“Ma…mak…maksud Anda apa?” dia tergagap ketakutan.

“Ap… apa yang Anda maksud ‘nyaris sempurna’? dan dia menjatuhkan diri di kaki si biksu tua.

“Oh,Tuan! Oh,Guru! Kasihanilah saya. Anda pasti telah dikirim oleh Buddha untuk menunjukkan kepada saya bagaimana membuat taman saya benar-benar sempurna. Ajarkan saya, oh, Sang Bijak! Tunjukkanlah jalannya!”

“Anda benar-benar ingin saya menunjukkannya?” tanya sang biksu tua dengan mimik purbanya yang mengerut usil.

“Oh,ya. Mohon. Tolong, Guru!”

Lalu sang biksu tua melangkah ke tengah-tengah taman. Dia merangkulkan lengan-lengannya yang tua namun masih kuat itu ke batang pohon persik yang rimbun.

Lantas, diiringi dengan gelak membahana seorang suci, dia mengguncang-guncangkan pohon yang malang itu! Dedaunan, ranting dan kulit pohon berserakan dimana-mana, dan masih saja biksu tua itu mengguncang-guncangkan pohon itu. Ketika tak ada lagi dedaunan yang jatuh, barulah dia berhenti.

Si biksu muda terperanjat. Taman menjadi kacau balau. Kerja kerasnya sepagian jadi sia-sia belaka. Rasanya dia ingin membunuh biksu tua itu, namun sang biksu tua hanya melihat sekeliling untuk mengagumi hasil karyanya.

Lalu, dengan sebuah senyum yang meluruhkan amarah, dia berkata lembut kepada si biksu muda,

“Sekarang taman Anda barulah benar-benar sempurna.”

Dari buku :
Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya oleh Ajahn Brahmavanso

Saturday 25 July 2015

Pemimpin Menurut Perspektif Buddhis

Pemimpin Menurut Perspektif Buddhis
Oleh Willy Liu

Kita semua tahu bahwa dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat, seorang pemimpin memegang peranan yang sangat penting. Pada zaman dahulu, ketika perang dalam perebutan kekuasaan suatu kerajaan, peranan pemimpin sangat menentukan. Ketika di medan perang, kematian seorang pemimpin prajurit akan mencerai-berai pasukan dan secara otomatis dinyatakan kalah. Begitu pula raja di suatu kerajaan ketika terbunuh maka dikatakan kerajaannya telah runtuh.

Di zaman modern seperti ini, peran seorang pemimpin menjadi lebih penting dan menjadi kunci suatu keberhasilan. Apabila seorang pemimpin keluarga tidak mampu memimpin dengan baik, keluarga akan tidak harmonis. Apabila seorang pemimpin negara tidak arif dalam memimpin, suatu pemerintahan akan menjadi kacau dan terjadi ketidaktenangan dalam kehidupan bernegara. Pun, apabila pemimpin spiritual atau suatu agama tidak bersikap bijak dalam menyebarkan ajarannya, maka yang terjadi adalah umat yang penuh dengan kefanatikan dan anarkis.

Mengetahui betapa pentingnya seorang pemimpin, tentu pertanyaan besar yang muncul adalah bagaimana ciri atau karakter pemimpin yang baik menurut Ajaran Buddha? Hal-hal apa saja yang harys dilakukan oleh seorang pemimpin dalam perspektif Buddhis? Sebelum membahas lebih lanjut, kita akan melihat salah satu karakter pemimpin terbaik sepanjang sejarah umat manusia. Beliau adalah Sang Buddha, Sidhartha Gautama.

Memimpin dengan Kearifan
Kita mengetahui bahwa dalam Sang Buddha merupakan seorang figur pemimpin yang ideal. Beliau memimpin berdasarkan ajarannya yaitu berlandaskan kebijaksanaan dan cinta kasih. Sumber-sumber menunjukkan bahwa beliau memimpin penuh dengan demokrasi. Setiap aturan yang ditetapkan oleh Buddha ada alasannya. Setiap kali seorang perilaku muridnya yang kurang baik, Sang Suddha akan menetapkan aturan winaya.

Kepemimpinan Sang Buddha juga terlihat takkala Beliau menyelesaikan konflik yang terjadi pada Suku Sakya dan Suku Koliya. Kedua suku tersebut hampir berperang karena berebut air. Kedua suku tersebut dipisahkan oleh sungai Rohini. Biasanya kedua suku tersebut menggunakan air dari sungai tersebut secara bersama-sama mengairi sawah masing-masing.

Pada suatu musim kemarau, air sungai tersebut berkurang dan membuat hasil panen berkurang. Kemudian, orang-orang dari Suku Koliya mulai mengatakan bahwa air sungai tidak cukup untuk dibagi berdua sehingga mereka yang akan memakai air sungai tersebut sedangkan suku Sakya tidak boleh menggunakannya. Timbullah pertengkaran, caci-maki dan saling menghujat. Lantas yang terjadi adalah sama-sama saling berebut air. Beberapa orang mulai melakukan kekerasan dan memukul suku lainnya sehingga pada akhirnya kedua suku menyiapkan pasukan hendak berperang.

Ketika Sang Buddha datang, Beliau bertanya kepada kedua pemimpin masing-masing suku tersebut. Kedua pemimpin malah tidak mengetahui kenapa sebabnya. Selidik-menyidik, Sang Buddha bertanya langsung kepada warga pekerja dan kemudian dikatakan penyebabnya adalah karena berebut air. Kemudian, dengan kebijaksanaan dan cinta Beliau kepada setiap orang, Beliau bertanya kepada raja masing-masing suku berapakah harga air. Dijawablah bahwa harga air hampir tiada artinya. Lalu, Sang Buddha bertanya, “Berapakah nilai kehidupan rakyat anda?”. Sang Raja menjawab, “tentu saja harga nyawa tiada ternilai harganya.” Kemudian, Sang Buddha Bersabda, “Baiklah kalau begitu. Apakah tepat bahwa untuk air yang hampir tiada artinya, anda akan menghancurkan banyak kehidupan yang harganya tidak ternilai?”

Akhir cerita jelas, kedua pemimpin (raja) tersebut berdamai karena pendekatan Buddha yang arif dan lembut dalam menyelesaikan suatu konflik. Inilah salah satu contoh pemimpin ideal yang melakukan sesuatu dengan cara-cara yang terbaik bagi semua pihak.

Karakteristik Pemimpin
Menurut ajaran Buddha, seorang pemimpin yang baik selayaknya mempunyai sepuluh karakter pemimpin (Dasa Raja Dhamma). Di dalam kitab Jataka, disebutkan 10 ciri seorang pemimpin dikatakan baik, yaitu:

1.  Dana (Kedermawanan)
    Seorang pemimpin seharusnya murah hati. Pemimpin dapat menjadi contoh bagi pengikutnya. Kualitas kedermawanan ini sangat penting dan bertolak belakang dengan keserakahan, karena dengan kedermawanan seorang pemimpin akan disenangi oleh pengikutnya.

2.  Sila (Moralitas)
    Seorang  pemimpin  harus memiliki moral yang baik dan Hukum harus dipatuhi. Setiap pikiran, ucapan dan perbuatan seorang pemimpin haruslah berlandaskan kebaikan dan cinta serta kebijaksanaan.

3.  Paricagga (Pengorbanan diri)
   Ketika menjadi seorang pemimpin, ia telah berkorban untuk melayani pengikutnya. Seorang pemimpin negara (raja) harus berpandangan bahwa ia akan mengorbankan diri demi kesejahteraan rakyatnya. Kualitas ini penting karena apabila seorang pemimpin tidak mempunyai karakteristik ini, berarti ia ada pemimpin yang egois dan akan selalu mementingkan diri sendiri.

4.  Ajjava (Integritas, tulus, jujur)
Sebagai pemimpin tugas-tugasnya seharusnya dilakukan dengan tulus. Dedikasikan sepenuhnya pada apa yang seharusnya seorang pemimpin lakukan. Jujur pada diri sendiri dan orang lain akan membuat pemimpin dihargai oleh pengikutnya dan dihormati dengan tulus.

5.  Maddava (Baik hati, Bertanggung jawab)
    Siapapun orangnya dan apapun tugasnya, seseorang seharusnya memiliki tanggung jawab pada tugasnya. Pemimpin dituntut mempunyai tanggung jawab ekstra sehingga disiplin sebagai seorang pemimpin. Dengan begitu siapapun akan menghargai pemimpin tersebut sepenuh hati. Seroang pemimpin hendaknya berlaku baik, menjaga sopan santun dan tata krama sesuai norma setempat.

6.  Tapa (Sederhana)
     Sebagai  seorang  pemimpin  janganlah berlaku sombong dan berlebihan. Menurut ajaran Buddha, kesederhanaan merupakan salah satu kunci untuk melatih diri mengendalikan keserakahan. Gaya hidup mewah sebaiknya dihindari oleh seorang pemimpin. Tunjukkan bahwa kesederhanaan hidup lebih baik dan berarti daripada gaya hidup mewah dan sombong.

7.  Akkodha (Tanda kemarahan, tiada membenci)
     Jelas, andaikata seorang pemimpin sering marah-marah akan membuat ketakutan pengikutnya dan pengikutnya akan menjalankan perintah bukan berdasarkan kesadaran dan tidak akan optimal. Terkadang pemimpin memang perlu tegas namun bukannya dengan marah-marah berlebihan. Ekspresi seorang pemimpin bisa menegaskan kewibawaannya. Janganlah pemimpin juga menyimpan benci atau rasa tidak senang kepada lawannya. Cobalah bersikap bersahabat daripada membenci.

8.  Avihimsa (Tanpa kekerasan)
    Seringkali sebagian orang berpikir bahwa dengan kekerasan masalah bisa diselesaikan. Mungkin untuk beberapa kasus bisa, namun umumnya yang terjadi adalah kebencian dan dendam akan semakin kuat dan meluas. Dalam ajaran Buddha belas kasih (karuna) dan cinta universal (metta) memegang peranan aktif dari karakteristik ini.

9.  Khanti (Kesabaran)
     Banyak masalah timbul dari ketidaksabaran dan emosi negatif sesaat kita. Kemarahan adalah salah satu wujud dari ketidakmampuan kita untuk mengendalikan emosi kita, karena kita tidak berlatih sabar. Untuk itulah kesabaran menjadi salah satu karakteristik pemimpin yang penting.

10.  Avirodha (Tidak mencari permusuhan)
      Karakteristik yang ini sudah sangat jelas. Tentu saja ini bisa dilakukan apabila seorang pemimpin mempunyai moralitas yang baik, mematuhi hukum, menjaga pikiran, mengendalikan ucapan. Tanpa disiplin moral yang baik, setiap tindakan akan mengundang permusahan orang sehingga akhirnya merugikan diri sendiri juga.

Kepemimpinan Perempuan
Seringkali pemimpin identik dengan seorang laki-laki, padahal tidaklah harus demikian. Kita bisa melihat dalam banyak kasus perempuan-perempuan dapat memimpin dengan baik. Salah satu contoh terbaik saat ini adalah Master Cheng Yen. Beliau adalah salah satu pemimpin Buddhis yang namanya tidak asing lagi. Walaupun Beliau seorang biksuni dan memimpin salah satu Organisasi Nirlaba terbesar di dunia, Yayasan Buddha Tzu Chi, Beliau tetap dapat mempunyai sepuluh karakteristik pemimpin seperti yang disebutkan.

Sang Buddha sendiri mengatakan dengan jelas bahwa baik pria maupun wanita mampu menjadi seorang pemimpin bahkan pencerahan menjadi Buddha pun bisa terjadi. Pada suatu ketika, saat Sang Buddha sedang bersama Raja Pasenadi, datanglah seorang pelayan menghampiri raja dan mengatakan, “Baginda, Ratu Malika telah melahirkan seorang anak perempuan.” Raja kemudian menjadi tidak senang mendengar berita tersebut. Sang Buddha dengan penuh perhatian menyadari dan bertanya kepada Raja Pasenadi. Setelah mengetahui sebabnya, Sang Buddha berkata:
“Seorang perempuan, O Raja,
  Bisa menjadi lebih baik daripada dari seorang laki-laki:
  Dia mungkin bijaksana dan luhur,
  Seorang istri yang berbakti, menghormati ibu-mertuanya. (408)

“Seorang putera yang dia lahirkan
Mungkin menjadi pahlawan, O penguasa wilayah,
Putera dari perempuan terberkahi seperti itu
Bahkan bisa memerintah dunia.” (409)

Samyutta Nikaya I,3 (Bagian Sagathavagga, sutta Kosalasamyutta)

Dari sutta (ucapan Sang Buddha) tersebut, kita dapat melihat bahwa Sang Buddha memandang laki-laki dan perempuan setara dan mempunyai kemampuan yang sama. Di Sutta no. 408 bahkan dikatakan seorang perempuan bisa jadi menjadi lebih baik daripada anak laki-laki. Artinya adalah bahwa dengan melatih diri, seseorang dapat menjadi lebih bijaksana, luhur, cerdas baik itu ia seorang perempuan maupun laki-laki. Jadi, dari sini terlihat bahwa perempuan pun dapat memimpin dengan baik dan bijak.

Lebih lanjut Sutta no. 409, Sang Buddha mengatakan bahwa mungkin anak dari perempuan yang dilahirkan dan didik dengan baik tersebut akan mempunyai anak yang dapat memerintah dunia. Hal tersebu mengindikasikan bahwa watak seorang anak banyak dipengaruhi ibunya. Inilah salah satu peran perempuan sebagai pemimpin anak-anaknya.

Dengan didikan yang baik dari seorang ibu (pemimpin), seorang anak (pengikut) akan menjadi bijaksana dan luhur. Jadi, peran perempuan menjadi penting untuk menghasilkan generasi yang lebih baik di masa mendatang. Sehingga sangat salah jika dikatakan bahwa perempuan tidak memerlukan pendidikan seperti laki-laki, karena untuk mendidik anak laki-laki atau perempuannya, seorang perempuan selayaknya diberi pengetahuan dan pendidikan yang sesuai.

Lebih lanjut seorang perempuan dapat menjadi seorang pemimpin yang lebih baik daripada laki-laki, begitu pula sebaliknya. Hal ini tidak berarti perempuan harus berlomba-lomba menjadi pemimpin bersaing dengan laki-laki. Perempuan dan laki-laki dapat saling melengkapi.


Referensi:
Widya, Dharma K. 2007. Dharma Ajaran Mulia Sang Buddha. Jakarta: PP MAGABUDHI.
Hansen, Sasanasena Seng. 2008. Ikhtisar Ajaran Buddha. Yogyakarta: Vidyasena Production.
Wijaya, Willy Yandi. Ulasan Sutta: Anak Perempuan.

Kisah "Dua Bata Jelek" (Oleh Ajahn Brahm)

Setelah kami membeli tanah untuk vihara kami pada tahun 1983, kami jatuh bangkrut. Kami terjerat hutang. Tidak ada bangunan atas tanah itu, bahkan sebuah gubuk pun tak ada. Pada minggu-minggu pertama, kami tidur di atas pintu-pintu tua yang kami beli murah dari pasar loak. Kami mengganjal pintu-pintu itu dengan batu bata di setiap sudut untuk meninggikannya dari tanah (tak ada matras–tentu saja, kami kan petapa hutan).
Biksu kepala mendapatkan pintu yang paling bagus, pintu yang datar. Pintu saya bergelombang dengan lubang yang cukup besar di tengahnya, yang dulunya tempat gagang pintu. Saya senang karena gagang pintu itu telah dicopot, tetapi malah jadi ada lubang persis di tengah-tengah ranjang pintu saya. Saya melucu dengan mengatakan bahwa sekarang saya tak pelu bangkit dari ranjang jika ingin ke toilet! Kenyataannya, ada saja angin masuk melewati lubang itu. Saya jadi tak bisa tidur nyenyak sepanjang malam-malam itu.
Kami hanyalah biksu-biksu miskin yang memerlukan sebuah bangunan. Kami tak mampu membayar tukang, bahan-bahan bangunannya saja sudah cukup mahal. Jadi saya harus belajar cara bertukang: Bagaimana mempersiapkan pondasi, menyemen dan memasang batu bata, mendirikan atap, memasang pipa-pipa–pokoknya semua. Saya adalah seorang fisikawan teori dan guru SMA sebelum menjadi biksu, tidak terbiasa bekerja kasar. Setelah beberpa tahun, saya menjadi cukup terampil bertukang, bahkan saya menjuluki tim saya ”BBC” (Buddhist Building Company). Tetapi, pada saat memulainya,ternyata bertukang itu sangatlah sulit.
Kelihatannya gampang, membuat tembok dengan batu bata: tinggal tuangkan seonggok semen, sedikit ketok sana, sedikit ketok sini. Ketika saya mulai memasang batu bata, saya ketok satu sisi untuk meratakannya, tetapi sisi lainnya malah jadi naik. Lalu saya ratakan kembali, sisi yang pertama jadi terangkat lagi. Coba saja sendiri!
Sebagai seorang biksu, saya memiliki kesabaran dan waktu sebanyak yang saya perlukan. Saya pastikan setiap batu bata terpasang sempurna, tak peduli berapa lama jadinya. Akhirnya saya menyelesaikan tembok batu bata saya yang pertama dan berdiri dibaliknya untuk mengagumi hasil karya saya. Saat itulah saya melihatnya, Oh tidak! Saya telah keliru menyusun dua batu bata. Semua batu bata lain sudah lurus, tetapi dua batu bata tersebut tampak miring. Mereka terlihat jelek sekali. Mereka merusak keseluruhan tembok. Mereka meruntuhkannya.
Saat itu, semennya sudah terlanjur terlalu keras untuk mencabut dua batu bata itu, jadi saya bertanya kepada kepala vihara apakah saya boleh membongkar tembok itu dan membangun kembali tembok yang baru, atau kalau perlu, meledakkannya sekalian. Saya telah membuat kesalahan dan saya menjadi gundah gulana. Kepala vihara bilang tak perlu, biarkan saja temboknya seperti itu.
Ketika saya membawa para tamu pertama kami berkunjung keliling vihara kami yang baru setengah jadi, saya selalu menghindarkan membawa mereka melewati tembok bata yang saya buat. Saya tak suka jika ada orang yang melihatnya. Lalu suatu hari, kira-kira 3-4 bulan setelah saya membangun tembok itu, saya berjalan dengan seorang pengunjung dan dia melihatnya “Itu tembok yang indah,”ia berkomentar dengan santainya.
“Pak,” saya menjawab dengan terkejut, ”Apakah kacamata anda tertinggal di mobil? Apakah penglihatan anda sedang terganggu? Tidakkah anda melihat dua batu bata jelek yang merusak keseluruhan tembok itu?”
Apa yang ia ucapkan selanjutnya telah mengubah keseluruhan pandangan saya terhadap tembok itu, berkenaan dengan diri saya sendiri dan banyak aspek lainnya dalam kehidupan. Dia berkata,”Ya, saya bisa melihat dua bata jelek itu, namun saya juga bisa melihat 998 bata yang bagus.”
Saya tertegun. Untuk pertama kalinya dalam lebih dari tiga bulan, saya mampu melihat batu bata-batu bata lainnya selain dua batu bata jelek itu. Di atas, di bawah, di kiri, dan di kanan dari dua batu bata jelek itu adalah batu bata-batu bata yang bagus, batu bata yang sempurna. Lebih dari itu, jumlah batu bata yang terpasang sempurna, jauh lebih banyak daripada dua bata jelek itu. Selama ini, mata saya hanya terpusat pada dua kesalahan yang telah saya perbuat; saya terbutakan dari hal-hal lainnya. Itulah sebabnya saya tak tahan melihat tembok itu, atau tak rela membiarkan orang lain melihatnya juga. Itulah sebabnya saya ingin menghancurkannya. Sekarang ,saya dapat melihat batu bata-batu bata yang bagus, tembok itu jadi tampak tak terlalu buruk lagi. Tembok itu menjadi, seperti yang dikatakan pengunjung itu, ”Sebuah tembok yang indah.” Tembok itu masih tetap berdiri sampai sekarang, setelah dua puluh tahun, namun saya sudah lupa persisnya di mana dua bata jelek itu berada. Saya benar-benar tak dapat melihat kesalahan itu lagi.
Berapa banyak orang yang memutuskan hubungan atau bercerai karena semua yang mereka lihat dari sisi pasangannya adalah “dua bata jelek”? Berapa banyak diantara kita yang menjadi depresi atau bahkan ingin bunuh diri, karena semua yang kita lihat dalam diri kita hanyalah “dua bata jelek”? Pada kenyataannya, ada banyak, jauh lebih banyak batu bata yang bagus–di atas, di bawah, di kiri, dan di kanan dari yang jelek–namun pada saat itu kita tak mampu melihatnya. Malahan, setiap kali kita melihatnya,mata kita hanya terfokus pada kekeliruan yang kita perbuat. Semua yang kita lihat adalah kesalahan, dan kita mengira yang ada hanyalah kekeliruan semata, karenanya kita ingin menghancurkannya. Dan terkadang, sayangnya, kita benar-benar menghancurkannya “sebuah tembok yang indah”.
Kita semua memiliki “dua bata jelek”, namun bata yang baik di dalam diri kita masing-masing, jauh lebih banyak daripada bata yang jelek. Begitu kita melihatnya, semua akan tampak tak terlalu buruk lagi. Bukan hanya kita bisa berdamai dengan diri sendiri, termasuk kesalahan-kesalahan kita, namun kita juga bisa menikmati hidup bersama pasangan kita. Ini kabar buruk bagi pengacara urusan perceraian, tetapi ini kabar baik bagi anda.
Saya telah beberapa kali menceritakan anekdot ini. Pada suatu pertemuan, seorang tukang bangunan mendatangi dan memberi tahu saya tentang rahasia profesinya.
“Kami para tukang bangunan selalu membuat kesalahan, ”katanya,” tetapi kami bilang ke pelanggan kami bahwa itu adalah “ciri unik” yang tiada duanya di rumah-rumah tetangga. Lalu kami menagih biaya tambahan ribuan dolar!”
Jadi,”ciri unik” di rumah anda, bisa jadi, awalnya adalah sesuatu kesalahan. Dengan cara yang sama,apa yang anda kira sebagai kesalahan pada diri anda, rekan anda, atau hidup pada umumnya, dapat menjadi sebuah “ciri unik”, yang memperkaya hidup anda di dunia ini, tatkala anda tidak lagi terfokus padanya.

Sumber :
Buku “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya oleh Ajahn Brahm”

Thursday 23 July 2015

Ketetapan Baru STI tentang Salam Buddhis dan Penerapan Istilah Lainnya

Semoga Sahabat Dhamma selalu dalam keadaan sehat. Pada kesempatan kali ini admin berbagi informasi terkait dengan kesepakatan Sangha Theravada Indonesia mengenai salam Buddhis dan Salam Umum bagi umat Buddha, ungkapan rasa empati, ungkapan rasa kebahagiaan dan perbedaan antara anumodana dan terima kasih. Informasi ini bersumber dari salah satu akun facebook sahabat Dhamma yang bernama Dhamma Vijja. Semoga dengan datangnya berita ini dapat menjawab kebingungan selama ini terkait dengan Salam Buddhis umat Buddha, selain itu juga dapat dijadikan referensi dalam menambah wawasan terkait dengan Buddhis.

1.  Salam Buddhis dan Salam Umum
   Ditujukan  kepada  sesama umat Buddha, kata salam   Buddhis  yang  digunakan adalah: “Buddhanubhavena Sotthi Hotu”, berarti dengan kekuatan nilai-nilai luhur Buddba, semoga kesejahteraan ada pada Anda/-sekalian, atau dapat disingkat menjadi “Sotthi Hotu”, berarti semoga kesejahteraan ada pada Anda/-sekalian.
Ditujukan kepada masyarakat umum, kata salam umum yang digunakan adalah: “Sotthi Hotu”, berarti semoga kesejahteraan ada pada Anda/-sekalian.
Ditujukan kepada seseorang/orang-orang yang dituakan atau dihormati, kata salam Buddhis dan salam umum menggunakan “Namas Te”, berarti penghormatan (saya/kami) kepada Anda.
Keterangan:
Secara harfiah kata “Sotthi” berarti keadaan/keberadaan baik, dari kata “su” berarti baik, dan “Danatthi” berarti keberadaan.

2.  Istilah “Namo Buddhaya”

  Istilah “Namo Buddhaya” setara dengan frase “Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa”, “Namatthu Buddhasa”, “Namo Ranatattayaya”, dan beberapa lainnya.
Istilah-istilah tersebut umumnya digunakan pada waktu seseorang sedang menyampaikan uraian berciri keagamaan, berpidato, atau menyatakan ungkapan hati dengan penuh kesungguhan, misalnya: bertekad dan bersumpah.

3.  Istilah “Samvegacitta”
     Untuk kepentingan mengungkapkan rasa empati kepada kerabat dan kenalan sesama umat Buddha yang sedang berada dalam suasana duka, kalimat yang diucapkan adalah:
“Turut ber-samvegacitta atas kewafatan mendiang Ibu/Bapak/Saudara/Saudari . . . . ., Ibunda/Ayahanda/Putri/Putra/Kakak/Adik . . . . ., Sugatim va sanggam lokam uttarim va upajjatu.”
Keterangan:
Kalimat “Sugatim va saggam lokam uttarim va upapajjatu”, berarti semoga mendiang terlahir di alam surga menyenangkan atau lebih dari itu.
Jika yang meninggal lebih dari satu orang, kata “upapajjatu” diubah menjadi “upapajjantu.”
Samvegacitta merupakan pikiran disertai hal-hal batiniah yang kuat muncul sebagai tanggapan atas kejadian menggugah hati, mengarahkan ke perenungan pada pengetahuan kebenaran alamiah, misalnya pada saat kejadian orang yang dicintai/dihormati meninggal dunia.
Ada sebuah kronologi, pada waktu Guru Agung Buddha Parinibbana, para amam menangis berderai air mata, sedangkan para aryasavaka memasuki pemikiran yang diwarnai oleh samvega (hal-hal batiniah yang kuat).
Hal-hal batiniah (cetasika) di atas mengacu ke nilai-nilai positif, seperti: Panna (kebijaksanaan), metta (cinta kasih), karuna (welas asih), upekkha (keseimbangan batin), dan lain-lain, khususnya adalah panna dan upekkha.

4.  Istilah “Anumodana” dan “Terima Kasih”
     Penggunaan kata “Anumodana” berbeda sedikit dengan kata  “Terimakasih”
Kata ‘anumodana’ berarti sikap turut bersuka cita atas perbuatan baik yang telah dilakukan seseorang. Ini berbeda sedikit dengan kata ‘terimakasih’ yang berarti sikap menghargai/senang atas barang atau jasa yang orang lain berikan kepada dirinya. Perbedaanya terletak pada penekatan di sisi perbuatan untuk makna kata anumodana, dan penekanan disisi hal-hal terkait dengan perbuatan itu yaitu berupa barang atau jasa yang diberikan untuk kata terimakasih.
Perbedaan dalam bentuk praktiknya adalah, jika ada seseorang yang melakukan kebaikan berupa memberi namun barang yang diberikan tersebut bukan ditujukan untuk diri penerima secara pribadi, atau melakukan kebaikan dalam bentuk lain, misalnya bertekad melaksanakan uposathasila atau berlatih meditasi, sikap yang kita tunjukkan kepadanya adalah turut bersuka cita atas perbuatan yang dilakukan, yaitu kita mengucapkan kata ‘anumodana’. Sedangkan, jika ada seseorang yang melakukan kebaikan, khususnya berupa memberi, dan pemberian itu ditujukan kepada diri kita secara pribadi, sikap yang kita tujukkan kepadanya adalah menghargai/senang atas barang atau jasa yang diberikan itu, yaitu kita mengucapkan kata ‘terima kasih’.
Contoh Kasus : 
  1. Kumara mendengarkan cerita Taruna, temannya, bahwa Taruna baru saja mendanakan tanahnya kepada sebuah lebaga yatim piatu.
  2. Kumara mendegarkan cerita Bhante Tissa, gurunya, bahwa beliau baru saja memberikan uraian Dhamma kepada anak-anak di sebuah lembaga yatim piatu.
  3. Kumara yang menjabat sebagai bendahara sebuah vihara atau perkumpulan Buddhis menerima sumbangan dana dari Taruna untuk biaya operasional vihara atau perkumpulan itu.
  4. Taruna menerima pemberian buku Dhamma dari Kumara.
  5. Taruna, sebagai pimpinan pujabakti, bersama dengan teman-temannya menerima wejangan Dhamma dari Bhante Tissa.
  6. Taruna memberi obat kepada ibunya Kumaraa dengan cara menyerahkan obat itu kepada Kumara untuk diberikan kepada Ibunya. Kumara menerima obat itu.
  7. Bhante Tissa menerima pemberian jubah dari Bhante Punna untuk dirinya. Bhante Punna juga memberikan jubah bagi para samanera murid Bhante Tissa yang diberikan melalui Bhante Tissa.
Untuk kasus 1, 2, dan 3, kata yang diucapkan adalah anumodana. Sedangkan untuk kasus 4 hingga 7 di atas, kata yang diucapkan adalah ‘terimakasih’. Untuk kasus 6, Kumara mengucapkan terima kasih untuk mewakili Ibunya. Demikian pula kasusu 7.
Contoh kasus lain:
Bhante Tissa menerima dana tiket kereta api untuk perjalanan beliau ke Vihara dari Taruna.
Untuk kasus di atas, kata yang diucapkan adalah ‘anumodana kerna Bhante Tissa termasuk juga pada umumnya para bhikkhu, dalam hubungan dengan umat lebih menitikberatkan pada sisi perbuatannya alih-alih barang atau jasa yang umat berikan.
Walau demikian, dalam situasu yang persisi sama seperti itu, para bhikkhu bisa juga mengucapkan ‘terimakasih’.
Keterangan:
Istilah ‘anumodami’ atau ‘sadhu, anumodami’ dapat pula digunakan sebagai varian istilah anumodana.
Kata anumodana adalah kata benda, berarti tindak turut bersuka cita. Sedangkan, kata ‘anumodami’ adalah kata kerja, berarti ‘saya tururt bersuka cita’, kata ‘Sadhu’ ditambah sebagai pemanis dalam berbahasa, berarti ‘bagus’, atau bisa juga semoga kebajikan yang telah Anda lakukan menghasilkan buah sesuai harapan. Jika diucapkan mewakili diri sendiri dan orang lain, yaitu dalam bentuk jamak, kata di atas diubah menjadi ‘anumodama, atau ‘sadhu, anumodama’.

5.  Ungkapan Bahagia atas Keberhasilan
    Untuk kepentingan mengungkapkan rasa bahagia atas keberhasilan yang telah dicapai, digunakan kata “abhithuti ratanattayagunesu ca me katakusalesu”, berarti gembira ria saya atas nilai-nilai luhur Tiratana dan kebajikan-kebajikan yang telah saya lakukan. Penggunaan secara keseharian memungkinkan untuk disingkat “abhithuti”.
Semoga artikel ini bermanfaat untuk para sahabat semua! sadhu sadhu sadhu

Wednesday 22 July 2015

Masa Berkeluarga


BAB I
MASA BERKELUARGA
(Sumber : Riwayat Hidup Buddha Gotama;
Penyusun : Maha Pandita Sumedha Widyadharma)

Pendahuluan
Pada zaman dahulu, daerah Majjhima desa (daerah tengah dari Jambudipa ~sekarang India~) dihuni oleh suku bangsa Ariyaka yang datang dari Utara Pegunungan Himalaya. Di daerah lereng Pegunungan Himalaya inilah terletak sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Sakka (pada waktu itu di daerah tersebut banyak sekali terdapat pohon sakka). Sejarah kerajaan tersebut menurut buku-buku kuno adalah sebagai berikut :
Seorang raja bernama raja Okkaka yang memerintah daerah tersebut mempunyai empat orang putra (Okkamukha, Karanda, Hatthinika, dan Sinipura) dan lima orang putri. Pada suatu hari, Ratu (yang juga adalah saudaranya) meninggal dunia dan Raja menikah lagi dengan seorang gadis yang kemudian melahirkan seorang anak laki-laki. Merasa gembira sekali, Raja telah melepaskan kata-kata dan berjanji kepada Ratu (yang baru) bahwa beliau akan meluluskan semua permintaan Ratu, apapun juga yang akan dimintanya.
Dalam kesempatan yang baik itu, Ratu memohon kepada Raja agar anaknya yang baru dilahirkan diangkat menjadi Putra Mahkota.
Mendengar permintaan tersebut Raja menjadi kaget dan menolak untuk meluluskan permohonan tersebut. Tetapi Ratu terus-menerus merengek-rengek serta mengingatkan Raja akan janjinya. Raja menjadi serba salah. Karena malu untuk tidak menepati janji yang pernah diberikannya, maka akhirnya Raja memanggil keempat orang putranya dan memerintahkan untuk membawa saudara-saudara perempuannya pergi ke suatu daerah lain untuk membangun sebuah negara baru.
Keempat putra Raja tersebut, tidak lama kemudian mohon diri dari ayahandanya dan bersama dengan saudari-saudarinya berangkat menuju sebuah hutan disertai dengan rombongan ahli-ahli dalam berbagai bidang untuk membangun sebuah negara baru.
Mereka memilih sebuah hutan yang banyak ditumbuhi pohon-pohon sakka di lereng Gunung Himalaya, di dekat tempat yang sejak lama dihuni oleh seorang pertapa bernama Kapila. Sebab itulah, maka kota yang kemudian mereka bangun diberi nama Kapilavatthu (vatthu = tempat).
Di tempat itulah mereka menikah diantara mereka bersaudara, terkecuali putri yang tertua yang menikah dengan Raja dari Devadaha. Empat pasangan yang tersebut duluan merupakan leluhur dari Dinasti Sakya dan pasangan yang belakangan merupakan leluhur dari Dinasti Koliya.
Pada suatu waktu, Raja yang memerintah di kota Kapilavatthu adalah Raja Jayasena yang mempunyai seorang putra bernama Sihahanu dan seorang putri yang bernama Yasodhara.
Setelah Raja Jayasena meninggal dunia, Pangeran Sihahanu menjadi Raja di Kapilavatthu dan menikah dengan Putri Kencana, yaitu adik dari Raja Anjana dari Devadaha. Mereka diberkahi dengan lima orang putra yang diberi nama Suddhodana, Sukkodana, Amitodana, Dhotodana, dan Ghanitodana dan dua orang putri yang diberi nama Pamita dan Amita. Adik dari Raja Sihahanu, yaitu Putri Yasodhara, menikah dengan Raja Anjana dari Devadaha dan diberkahi dengan dua orang putra yang diberi nama Suppabuddha dan Dandapani, dan dua orang putri yang diberi nama Maya dan Pajapati (atau Gotami).
Setelah Raja Sihahanu mangkat, Pangeran Suddhodana menduduki tahta Kerajaan Sakya dan kemudian menikah dengan Putri Maya.
Pernikahan Raja Suddhodana dan Ratu Maya inilah yang diberkahi dengan kelahiran seorang putra tunggal yang di kemudian hari menjadi terkenal dengan nama Buddha Gotama. Adik Raja Suddhodana yang bernama Sukkodana mempunyai seorang putra yaitu Ananda. Amitodana mempunyai dua orang putra yaitu Mahanama dan Anuruddha dan seorang putri bernama Rohini. Sedangkan adik perempuannya yang bernama Amita mempunyai seorang putra yaitu Devadatta dan seorang putri bernama Yasodhara, yang kelak menjadi istri dari Pangeran Siddhatta.

Lahirnya Pangeran Siddhattha
Meskipun Raja Suddhodana dan Ratu Maya sudah lama menikah, namun anak yang sangat mereka dambakan belum juga mereka peroleh, sampai pada suatu waktu Ratu Maya mencapai umut sekitar 45 tahun.

Ketika itu, Ratu Maya memperoleh mimpi yang aneh sekali. Ratu bermimpi bahawa empat orang Dewa Agung telah mangangkatnya di bawah pohon Sala di (lereng) Manosilatala.  Kemudian para istri Dewa-dewa Agung tersebut memandikannya di Danau Anotatta, menggosoknya dengan minyak wangi dan kemudian memakaikannya pakaian-pakaian yang biasa dipakai para dewata. Selanjutnya Ratu bermimpi masuk ke sebuah istana emas dan direbahkan di sebuah dipan yang bagus sekali. Di tempat itulah seekor gajah putih dengan memegang sekuntum bunga teratai di belalainya memasuki kamar, mengelilingin dipan sebanya tiga kali untuk kemudian memasuki perut Ratu Maya dari sebelah kanan.
Ratu memberitahukan mimpi ini kepada Raja dan Raja lalu memanggil para Brahmana untuk menanyakan arti mimpi tersebut.
Para Brahmana menerangkan bahwa Ratu akan mengandung seorang bayi laki-laki yang kelak akan menjadi seorang Cakkavati (Raja dari semua Raja) atau seorang Buddha.
Memang sejak hari itu Ratu mengandung, dan Ratu Maya dapat melihat dengan jelas bayi dalam kandungannya yang duduk dalam sikap meditasi dengan muka menghadap ke depan.
Sepuluh bulan kemudian di bulan Vaisak, Ratu mohon perkenan dari Raja untuk dapat bersalin di rumah ibunya di Devadaha.
Dalam perjalanan ke Devadaha, tibalah rombongan ratu di Taman Lumbini (sekarang Rumminde di Pejwar, Nepal) yang indah sekali.
Di kebun itu Ratu memerintahkan rombongan berhenti untuk beristirahat. Dengan gembira Ratu berjalan-jalan di taman dan berhenti di bawah pohon Sala. Pada waktu itulah Ratu merasa perutnya agak kurang enak. Dengan cepat dayang-dayang membuat tirai di sekeliling Ratu. Ratu berpegangan pada dahan pohon Sala dan dalam sikap berdiri itulah Ratu melahirkan seorang bayi laki-laki. Ketika itu tepat di bulan Vaisak tahun 623 SM.
Empat Maha Brahma menerima Sang bayi dengan jala emas dan kemudian dari langit turun air dingin dan panas untuk memandikan Sang bayi sehingga menjadi segar.
Sang bayi sendiri sdah bersih karena tiada darah atau noda-noda lain yang melekat pada tubuhnya.
Bayi itu kemudian berdiri tegak dan berjalan tujuh langkah di atas tujuh kuntum bunga teratai ke arah Utara.
Setalah berjalan tujuh langkah, bayi itu lalu mengucapkan kata-kata sebagai berikut:
“Aggo ‘ham asmi lokassa,
Jettho ‘ham asmi lokassa,
Settho ‘ham asmi lokassa,
Ayam antima jati,
Natthi dani punabbhavo.”

Artinya:
“Akulah Pemimpin dalam dunia ini,
Akulah Tertua dalam dunia ini,
Akulah teragung dalam dunia ini,
Inilah kelahiranku yang teralhir,
Tak akan ada tumimbal lahir lagi.”

Seorang pertapa bernama Asita (yang juga disebut Kaladevala) sewaktu bermeditasi di Pegunungan Himalaya, diberitahukan oleh para dewa dari alam Tavatimsa bahwa seorang bayi telah lahir yang kelak akan menjadi Buddha. Pada hari itu juga petapa Asita berkunjung ke istana Raja Suddhodana untuk melihat bayi tersebut.
Setelah melihat Sang bayi dan memperhatikan adanya 32 tanda dari seorang Mahapurisa (‘orang besar’), petapa Asita memberi hormat kepada Sang bayi, yang kemudian diikuti juga oleh Raja Suddhodana. Setelah memberi hormat, petapa Asita tertawa gembira tetapi kemudian menangis.
Menjawab pertanyaan Raja Suddhodana, petapa Asita menerangkan bahwa Sang bayi kelak akan menjadi Buddha, namun karena usianya sudah lanjut maka ia sendiri tidak lagi dapat menunggu bayi itu kelak memulai memberikan Ajaran-Nya.
Selanjutnya peta Asita mengatakan bahwa Pangeran kecil itu kelak tidak boleh melihat empat peristiwa, yaitu:
1.    Orang tua
2.    Orang sakit
3.    Orang mati
4.    Pertapa suci
Kalau pangeran kelak melihat empat peristiwa tersebut, maka beliau segera akan meninggalkan istana dan bertapa untuk menjadi Buddha.
Pada hari yang sama lahir (timbul) dalam dunia ini:
•    Putri Yasodhara, yang kemudian juga dikenal sebagai Rahulamata (ibu dari Rahula).
•    Ananda, yang kelak menjadi pembantu tetap Sang Buddha.
•    Kanthaka, yang kelak menjadi kuda Pangeran Siddhattha.
•    Channa, yang kelak menjadi kusir Pangeran Siddhattha.
•    Kaludayi, yang kelak mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kapilavatthu.
•    Seekor gajah istana.
•    Pohon Bodhi, di bawah pohon ini Pangeran Siddhattha kelak mendapatkan Penerangan Agung.
•    Nidhikumbhi, kendi temapt harta pusaka.

Lima hari setalah lahirnya Sang bayi, Raja Suddhodana memanggil sanak keluarganya berkumpul, bersama-sama dengan seratus delapan orang Brahmana untuk merayakan kelahiran anak pertamanya dan juga untuk memilih nama yang baik. Diantara para Brahmana, terdapat 8 orang Brahmana yang mahir dalam meramal nasib, yaitu : Rama, Dhaja, Lakkhana, Manti, Kondanna, Bhoja, Suyama, dan Sudatta. Para peramal tersebut, kecuali Kondanna, meramalkan bahwa Sang bayi kelak akan menjadi seorang Cakkavati (Raja dari semua Raja) atau akan menjadi Buddha. Hanya Kondanna (Brahmana yang trmuda) sajalah yang dengan pasti mengatakan bahwa Sang bayi kelak akan menjadi Buddha. Nama yang kemudian dipilih adalah Siddhattha yang berarti “Tercapailah segala cita-citanya”.
Tujuh hari setelah Pangeran Siddhattha dilahirkan, Ratu Maya meninggal dunia dan terlahir kembali di surga Tusita.
Raja Suddhodana menyerahkan perawatan Sang bayi kepada Putri Pajapati (adik Ratu Maya) yang juga dinikahinya.
Dari pernikahan ini kemudian lahir seorang putra, yaitu Nanda dan seorang putri, yaitu Rupananda.
Perayaan Membajak
Setelah Pangeran berumur beberapa tahun, Raja Suddhodana mengajaknya untuk turut pergi ke perayaan membajak bersama-sama para petani dengan menggunakan sebuah alat bajak yang terbuat dari emas.
Sewaktu perayaan berlangsung dengan meriah, dayang-dayang yang ditugaskan untuk menjaga Pangeran merasa tertarik sekali dengan jalannya perayaan itu. Mereka ingin menyaksikan perayaan tersebut dan meninggalkan Pangeran kecil di bawah bayangan pohon jambu. Setelah kembali mereka merasa heran sekali melihat Pangeran sedang bermeditasi dan duduk bersila.
Dengan cepat mereka melaporkan peristiwa tersebut kepada Raja. Raja dengan diiringi para petani berbondong-bondong datang untuk menyaksikan peristiwa ganjil tersebut. Benar saja mereka menemukan Pangeran kecil sedang bermeditasi dengan kaki bersila dan tidak menghiraukan kehadiran orang-orang yang sedang memperhatikannya. Karena Pangeran saat itu telah mencapai Jhana, yaitu suatu tingkatan pemusatan pikiran, maka sama sekali tidak terganggu oleh suara-suara yang berisik. Ada lagi satu keajaiban lain. Bayangan pohon jambu tidak mengikuti jalannya matahari tetapi tetap memayungi Pangeran kecil yang sedang bermeditasi. Melihat keadaan yang ganjil ini untuk kedua kalinya Raja Suddhodana memberi hormat kepada anaknya.
Masa Kanak-Kanak
Setelah Pangeran berusia tujuh tahun, Raja memerintahkan untuk menggali tiga kolam di halaman istana. Di kolam-kolam itu ditanami berbagai jenis bunga teratai (lotus). Satu kolam dengan bunga teratai yang berwarna biru (Upala), satu kolam dengan bunga yang berwarna merah (Paduma), dan satu kolam lagi dengan bunga yang berwarna putih (Pundarika). Selain tiga kolam tersebut, Raja juga memesan wangi-wangian, pakaian dan tutup kepala dari negara Kasi, yang waktu itu terkenal karena menghasilkan barang-barang tersebut dengan mutu yang terbaik.
Pelayan-pelayan diperintahkan untuk melindungi Pangeran pergi, baik siang maupun malam hari sebagai lambang dari keagungannya.

Setelah tiba waktunya untuk bersekolah, Raja memerintahkan seorang guru bernama Visvamitta untuk memberikan pelajaran kepada Pangeran dalam berbagai ilmu pengetahuan. Ternyata Pangeran cerdas sekali. Semua pelajaran yang diberikan, dengan cepat dapat dipahami sehingga dalam waktu singkat tidak ada lagi hal-hal yang dapat diajarkan kepada Pangeran kecil.
Sejak kanak-kanak, Pangeran terkenal sebagai anak yang penuh kasih sayang terhadap sesama mahluk hidup seperti terlihat dari kisah di bawah ini.
Pada suatu hari Pangeran sedang berjalan-jalan di taman dengan saudara sepupunya, Devadatta, yang pada waktu itu membawa busur dan panah. Devadatta melihat serombongan belibis hutan terbang di atas mereka. Dengan cekatan Devadatta membidikkan panahnya dan berhasil menembak jatuh seekor belibis. Pangeran dan Devadatta berlari-lari ke tempat belibis itu jatuh. Pangeran tiba terlebih dahulu dan memeluk belibis itu yang ternyata masih hidup. Pangeran dengan hati-hati dan penuh kasih sayang mencabut panah dari sayap belibis tersebut, kemudian meremas-remas beberapa lembar daun hutan dan dipakaikan sebagai obat untuk menutupi luka bekas kena anak panah. Devadatta minta agar belibis tersebut diserahkan kepadanya karena ia yang menembaknya jatuh. Namun Pangeran tidak memberinya dan mengatakan, “Tidak, belibis ini tidak akan aku serahkan kepadamu. Kalau ia mati, maka ia benar adalah milikmu. Tetapi sekarang ia tidak mati dan ternyata masih hidup. Karena aku yang menolongnya, maka ia adalah milikku.” Devadatta tetap menuntutnya dan Pangeran tetap pada pendiriannya dan tidak mau menyerahkannya. Akhirnya atas usul Pangeran, mereka berdua pergi ke Dewan Para Bijaksana dan mohon agar Dewan memberikan keputusan yang adil dalam persoalan tersebut. Setelah mendengarkan keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dari kedua belah pihak, Dewan lalu memberikan keputusan sebagai berikut :
” Hidup itu adalah milik dari orang yang mencoba menyelamatkannya. Hidup tidak mungkin menjadi milik dari orang yang mencoba menghancurkannya. Karena itu menurut norma-norma keadilan yang berlaku, maka secara sah, belibis harus menjadi milik dari orang yang ingin menyelamatkan jiwanya yaitu Pangeran Siddhatta.”
Masa Remaja
Sewaktu Pangeran meningkat usianya menjadi 16 tahun, Raja memerintahkan untuk membuat tiga buah istana yang besar dan indah, satu istana untuk musim dingin (Ramma), satu istana untuk musim panas (Suramma) dan satu istana untuk musim hujan (Subha). Kemudian Raja mengirim undangan kepada para orang tua yang mempunyai anak gadis untuk mengirimkan anak gadisnya ke pesta, dimana Pangeran akan memilih seorang gadis untuk dijadikan istrinya. Namun para orang tua tersebut ternyata tidak mengacuhkannya. Mereka mengatakan bahwa Pangeran tidak paham kesenian dan ilmu peperangan, maka bagaimana ia kelak dapat memelihara dan melindungi istrinya.

Ketika hal ini diberitahukan kepada Pangeran, maka Pangeran mohon kepada Raja agar segera mengadakan satu sayembara, dimana berbagai ilmu peperangan dipertandingkan. Dalam sayembara itu, Pangeran bertanding melawan pangeran-pangeran lain yang datang dari segenap penjuru negara Sakya, bahkan juga pangeran-pangeran dari negara lain.
Semua pertandingan seperti naik kuda, menjinakkan kuda liar, menggunakan pedang, dan memanah ternyata dimenangkan oleh Pangeran. Khusus dalam hal memanah, Pangeran tidak ada tandingannya. Untuk membentangkan busur yang dipakai oleh Pangeran saja mereka tidak mampu karena busur itu besar dan berat, sehingga untuk membawanya ke tempat pertandingan harus digotong oleh empat orang.
Dengan mendapat sambutan yang meriah sekali dari para hadirin, Pangeran dinyatakan sebagai pemenang mutlak dari sayembara tersebut.
Dalam sebuah pesta besar yang kemudian diselenggarakan dan dihadiri oleh tidak kurang dari empat puluh ribu orang gadis cantik, pilihan Pangeran jatuh kepada seorang gadis bernama Yasodhara yang ada ikatan keluarga dengan Pangeran karena ia adalah anak pamannya yang bernama Raja Suppabuddha dari negara Devadaha dan bibinya, Ratu Amita (adik Raja Suddhodana).
Setelah Pangeran Siddhatta menikah dengan Putri Yasodhara, maka kekhawatiran Raja Suddhodana agak berkurang sebab Raja selalu ingat dengan ramalan dari pertapa Asita bahwa Pangeran kelak akan menjadi Buddha.
Dengan pernikahan ini, Raja berharap Pangeran akan lebih diikat kepada hal-hal duniawi. Sekarang tinggal menjaga supaya Pangeran jangan melihat empat peristiwa tentang kehidupan, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati, dan pertapa suci.
Karena itu Raja memerintahkan pengawal-pengawalnya agar Pangeran dijaga jangan sampai melihat empat hal tersebut. Apabila ada dayangnya yang sakit maka dayang itu akan segera disingkirkan. Semua dayang dan pengawalnya adalah orang-orang muda belia. Selanjutnya Raja memerintahkan untuk membuat tembok tinggi mengelilingi istana dan kebun dengan pintu-pintu yang kokoh kuat, dan dijaga siang dan malam oleh orang-orang kepercayaan Raja.
Dengan demikian Pangeran Siddhatta dan Putri Yasodhara memadu cinta di tiga istananya yang mewah sekali dan selalu dikelilingi oleh penari-penari dan dayang-dayang yang cantik-cantik
Raja merasa puas dengan apa yang telah dikerjakannya dan berharap bahwa Pangeran kelak dapat menggantikannya sebagai Raja negara Sakya.
Melihat Empat Peristiwa
Pangeran tidak bahagia dengan cara hidup yang dianggap seperti orang tawanan dan terpisah sama sekali dari dunia luar.
Pada suatu hari Pangeran mengunjungi ayahnya dan berkata, “Ayah, perkenankanlah aku berjalan-jalan ke luar istana untuk melihat tata cara kehidupan penduduk yang kelak akan kuperintah.”
Karena permohonan ini wajar, maka Raja memberikan izin. “Baik, anakku, engkau boleh keluar dari istana untuk melihat bagaimana penduduk hidup di kota. Tetapi sebelumnya aku harus membuat persiapan sehingga segala sesuatunya baik dan patut untuk menerima kedatangan anakku yang baik.”
Setelah rakyat selesai menghias kota seperti diperintahkan oleh Raja, maka Raja memanggil Pangeran untuk menghadap. “Anakku, sekarang engkau boleh pergi melihat-lihat kota sepuas hatimu.”
Sewaktu Pangeran sedang berjalan-jalan di kota, dengan tiba-tiba seorang tua keluar dari sebuah gubuk kecil. Rambut orang itu panjang dan sudah putih semua, kulit mukanya kering dan keriput, matanya sudah hampir buta, pakaiannya compang-camping dan kotor sekali. Giginya sudah ompong, badannya kurus kering dan dengan susah payah serta terbungkuk-bungkuk ditopang oleh sebuah tongkat berjalan tanpa menghiraukan orang-orang di sekelilingnya yang sedang bergembira. Dengan suara lemah dan perlahan sekali ia meminta-minta makanan dan mengatakan kalau tidak diberi makanan, ia pasti akan mati hari itu juga karena ia lapar sekali dan sudah beberapa hari tidak makan. Melihat orang tua itu, Pangeran terkesan sekali karena hal seperti ini baru pertama kali dilihatnya.
“Apakah itu, Channa? Itu tidak mungkin seorang manusia. Mengapa ia bungkuk sekali? Mengapa ia gemetar sewaktu berjalan? Mengapa rambutnya putih dan bukan hitam seperti rambutku? Apa yang salah dengan matanya? Dan giginya dikemanakan? Apakah ada orang yang terlahir seperti itu? Coba katakan, oh Channa yang baik. Apakah artinya semua ini?”
Channa menerangkan kepada Pangeran bahwa semua itulah keadaan seorang tua, tetapi bukan keadaannya sewaktu dilahirkan. “Sewaktu masih muda, orang itu seperti kita dan karena sekarang ia sudah tua sekali maka keadaannya telah berubah seperti yang Tuanku lihat. Sebaiknya Tuanku lupakan saja orang tua tersebut. Setiap orang kalau sudah terlalu lama hidup di dunia akan menjadi seperti orang itu. Hal itu tidak dapat dielakkan.”
Tetapi Pangeran tidak puas dengan jawaban Channa. Pangeran memerintahkan untuk segera kembali ke istana karena pemandangan orang tua yang baru saja ia lihat telah membuatnya sedih sekali, dan ia ingin merenungkan persoalan ini dengan lebih mendalam. Mengapa sebagai seorang Pangeran dan juga orang-orang lain pada suatu hari harus menjadi tua, lemah dan sedih, dan tidak ada seorangpun yang dapat mencegahnya, meskipun ia kaya, terpandang atau berkuasa?
Malam itu diselenggarakan sebuah pesta besar untuk menghibur Pangeran. Tetapi Pangeran acuh tak acuh saja, dan tidak kelihatan gembira sewaktu berlangsungnya pesta makan dan tari-tarian. Ia sedang sibuk merenung dan dalam hati berkata kepada mereka yang hadir, “Pada suatu hari engkau semua akan menjadi tua, tanpa ada yang terkecuali dan begitu pula engkau yang tercantik.”
Setelah pesta usai dan Pangeran masuk ke kamar tidur, pikiran itu masih tetap saja mengganggunya. Di tempat tidur, ia masih merenung bahwa suatu hari semua orang akan menjadi tua, rambutnya putih, kulitnya keriput, ompong dan buruk seperti tukang minta-minta yang baru saja ia lihat. Ia ingin tahu apakah ada orang yang telah menemukan cara untuk menghentikan hal yang menyeramkan itu, yaitu usia tua.
Setelah persoalan ini dilaporkan kepada Raja, maka Raja menjadi sedih sekali dan ia merasa khawatir bahwa hal ini dapat menyebabkan Pangeran meninggalkan istana. Karena itu, Raja memerintahkan kepada dayang-dayangnya untuk lebih sering mengadakan pesta-pesta makan dan tari-tarian.
Berselang beberapa hari, Pangeran kembali memohon kepada Raja agar diperkenankan lagi melihat-lihat kota Kapilavatthu, tetapi sekarang tanpa terlebih dahulu memberitahukannya kepada para penduduk.
Dengan berat hati Raja memberikan izinnya, karena Beliau tahu, tidak ada gunanya melarang sebab hal itu tentu akan membuat Pangeran sangat sedih.
Pada kesempatan ini, Pangeran pergi bersama-sama Channa dan berpakaian seperti anak keluarga bangsawan karena ia tidak ingin dikenal sewaktu sedang berjalan-jalan.
Hari itu pemandangan kota berlainan sekali. Tidak ada penduduk berkumpul untuk mengelu-elukannya, tidak ada bendera-bendera, tunggul-tunggul, bunga-bunga, dan penduduk yang berpakaian rapi. Tetapi hari itu Pangeran melihat penduduk yang sedang sibuk bekerja.
Seorang pandai besi dengan badan penuh keringat sedang membuat pisau. Seorang pandai emas sedang membuat kalung, gelang, kerabu, dan cincin dari intan, emas, dan perak.
Seorang tukang celup pakaian sedang mencelup pakaian dalam beraneka ragam warna yang bagus-bagus dan kemudian menjemurnya. Tukang kue sedang sibuk memanggang roti dan kue, lalu menjualnya kepada langganannya yang kemudian memakannya selagi masih panas.
Pangeran memperhatikan orang-orang kecil ini yang sederhana dan semua orang kelihatan sibuk sekali, bahagia dan senang dengan pekerjaannya. Tetapi Pangeran juga melihat seorang yang sedang merintih-rintih dan bergulingan di tanah dengan kedua tangannya memegangi perutnya. Di muka dan badannya terdapat bercak-bercak berwarna ungu, matanya berputar-putar dan nafasnya megap-megap.
Untuk kedua kalinya dalam hidupnya, Pangeran melihat sesuatu yang membuat Beliau sangat sedih. Pangeran yang dikenal sebagai orang yang penuh kasih sayang, dengan cepat menghampiri orang itu, mengangkatnya, meletakkan kepalanya di pangkuannya dan dengan suara menghibur menanyakan, “Mengapakah engkau, engaku mengapakah?” Orang sakit itu sudah tidak dapat menjawab. Ia menangis tersedu-sedu.
“Channa, katakanlah, mengapakah orang ini? Apakah yang salah dengan nafasnya? Mengapa ia tidak bicara?”
“Oh, Tuanku, jangan sentuh orang itu lama-lama. Orang itu sakit dan darahnya beracun. Ia diserang demam pes dan seluruh badannya terasa terbakar. Oleh karena itulah ia merintih-rintih dan tidak lagi dapat bicara.”
“Tetapi adakah lagi orang lain seperti dia?”
“Ada, dan Tuanku mungkin orangnya kalau Tuanku memegangnya seperti itu. Mohon dengan sangat agar Tuanku meletakkannya kembali di tanah dan jangan menyentuhnya lagi sebab pes itu sangat menular. Nanti Tuanku juga akan sakit.”
“Channa, masih banyakkah hal-hal buruk seperti ini selain sakit pes?”
“Memang,Tuanku, ada ratusan penyakit yang sama hebatnya seperti sakit pes.”
“Apakah tidak ada orang yang dapat menolongnya? Apakah semua orang dapat diserang penyakit? Apakah penyakit datang secara mendadak?”
“Betul, Tuanku, semua orang dalam dunia dapat terserang penyakit. Tidak ada orang yang dapat mencegahnya, dan itu dapat terjadi setiap saat.”
Mendengar ini, Pangeran menjadi semakin sedih dan kembali ke istana untuk merenungkan hal ini. Raja merasa sedih karena melihat Pangeran pada waktu akhir-akhir ini seperti kurang gembira sehubungan dengan kejadian-kejadian yang telah dilihatnya.
Berselang beberapa hari, Pangeran kembali mohon kepada Raja agar diperkenankan kembali melihat-lihat kota Kapilavatthu.
Raja menyetujuinya karena beranggapan tidak ada gunanya lagi sekarang untuk melarang.
Pada kesempatan ini Pangeran yang berpakaian sebagai anak seorang bangsawan dengan diiringi Channa, berjalan-jalan di kota Kapilavatthu. Tidak lama kemudian mereka berpapasan dengan serombongan orang yang sedang menangis mengikuti sebuah usungan dipikul oleh empat orang.
Di atas usungan itu berbaring seorang yang sudah kurus sekali dalam keadaan tidak bergerak. Kemudian rombongan membawa usungan itu ke tepi sebuah sungai dan meletakkannya di atas tumpukan kayu yang kemudian dinyalakan api. Orang tersebut tetap diam saja dan tidak bergerak meskipun api telah membakarnya dari semua sudut.
“Channa, apakah itu? Mengapa orang itu berbaring di sana dan membiarkan orang lain membakar dirinya?”
“Dia tidak tahu apa-apa lagi, Tuanku. Orang itu sudah mati.”
“Mati! Channa, apakah ini yang dinamakan mati? Dan apakah semua orang pada suatu waktu akan mati?”
“Betul, Tuanku, semua makhluk hidup pada suatu waktu harus mati. Tidak ada seorangpun yang dapat mencegahnya.”
Pangeran heran dan kaget sekali, sehinggan tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Pangeran berpikir bahwa sangat mengerikan keadaan yang disebut ‘mati’ itu yang harus dialami oleh setiap orang, meskipun ia seorang Raja atau anak dari seorang Raja. Apakah benar tidak ada jalan untuk menghentikannya? Pangeran pulang, dan di kamarnya ia merenungkan persoalan ini sepanjang hari.
“Semua orang di dunia ini pada suatu waktu harus mati, belum ada orang yang tahu bagaimana cara untuk menghentikannya. Aku harus mencarinya dan menolong dunia ini.”
Sewaktu Pangeran mengunjungi Kapilavatthu untuk keempat kalinya, di sebuah taman, Pangeran berhenti dan duduk beristirahat di bawah pohon jambu. Tiba-tiba Pangeran melihat seorang pertapa berjubah kuning dengan membawa mangkuk di tangan menghampirinya.
Pangeran memberi salam kepada pertapa tersebut dan menanyakan kegunaan mangkuk yang sedang dipegangnya.
Pertapa itu menjawab, “Pangeran yang mulia, aku ini seorang pertapa. Aku menjauhkan diri dari keduniawian, meninggalkan sanak keluarga untuk mencari obat agar orang tidak menjadi tua, sakit, dan mati. Mangkuk ini aku bawa untuk mengharapkan makanan dari mereka yang berbelas kasih. Selain dari itu, aku tidak menginginkan hal-hal dan barang-barang duniawi.”
Pangeran terkejut karena ternyata pertapa ini mempunyai pikiran dan cita-cita yang sama dengan dirinya.
“Oh, Pertapa suci, di manakah obat itu harus dicari?”
“Pangeran yang mulia, aku mencarinya dalam ketenangan dan kesunyian hutan-hutan yang lebat, jauh dari gangguan dan keramaian dunia. Sekarang maafkan, aku harus meneruskan perjalanan. Penerangan dan kebahagiaan sedang menunggu.” Kemudian pertapa itu berlalu dan terus menghilang. Konon diceritakan bahwa pertapa itu adalah seorang dewa yang ingin membantu Pangeran Siddhatta. Pangeran merasa gembira sekali dan berkata di dalam hati, “Aku juga harus menjadi pertapa seperti itu!”
Tidak lama kemudian, datanglah dayang-dayang yang khusus mencari Pangeran untuk memberitahukan bahwa Putri Yasodhara telah melahirkan bayi laki-laki yang sehat. Mendengar berita ini, Pangeran bukannya bergembira tetapi mukanya justru menjadi pucat. Pangeran mengangkat kepalanya menghadap langit yang tinggi dan kemudian berkata,
“Rahulajato, bandhanam jatam.”
Yang berarti :
“Satu jerat telah terlahir, satu ikatan telah terlahir.”

Karena ucapan ini maka bayi yang baru lahir kemudian diberi nama “Rahula”. Dalam perjalanan pulang ke istana, Pangeran bertemu dengan Kisa Gotami yang karena kagumnya mengucapkan kata-kata sebagai berikut :
“Nibbuta nuna sa mata,
Nibbuta nuna so pita,
Nibbuta nuna sa nari,
Yassa yam idiso pati.”
Yang berarti :
“Tenanglah ibunya,
Tenanglah ayahnya,
Tenanglah istrinya,
Yang mempunyai suami seperti Anda.”

Pangeran terkejut dan tergetar hatinya mendengar perkataan “Nibbuta” yang berarti: “tenang, padam semua nafsu-nafsu”, sehingga Beliau menghadiahkan Kisa Gotami sebuah kalung emas yang sedang dipakainya.

Bentuk file pdf dapat didownload dengan diklik DI SINI.
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com